![]() |
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
Alhamdulillāh, dengan memohon taufiq Allah subḥānahu wataʿālā, saya persembahkan Seri 1 tulisan ini—sebuah telaah berbagai referensi ilmiah tentang sejarah, definisi, dan polemik Perayaan Tabuik Pariaman. Semoga pembaca mendapatkan gambaran faktual sebelum memasuki pembahasan hukum syar’i.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
MUDZAKARAH SYAR’IYAH MUI KOTA PARIAMAN 14 SHAFAR 1441 HIJIRIAH:
PERAYAAN TABUIK PARIAMAN DALAM TIMBANGAN DINUL ISLAM
حَـفْلـَـــــــةُ تَابُــــــــوْتِ بَرْيَامَـــــن فِيْ مِيْـــــــــزَاِنِ دِيْــــــــنِ الْإِسْـــــــــــلاَمِ
Oleh: Zulkifli Zakaria
الْحَمْدُ للهِ وَحْدَهُ, وَالصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ عَلَي مَنْ لاَنَبِيَ بَعْدَهُ
PEMBUKA
Seiring kemajuan teknologi informasi, belakangan kembali muncul polemik tentang status hukum merayakan Tabuik Pariaman, terutama pada jaringan sosial dunia maya yang bisa diakses oleh siapa saja dan di mana saja. Sebagai pemegang amanah wilayah Kota Pariaman, maka Majelis Ulama Indoensia (MUI) Kota Pariaman mendapat amanah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat untuk membahas perayaan Tabuik Pariaman dalam timbangan hukum syari’at Islam. Maka penulis adalah salah seorang yang diamanahkan untuk menulis bahasan ini.
Di dalam makalah ini, penulis berusaha mencari hukum dimaksud dengan membangun konstruksi hukum dari dua sumber hukum utama: Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mencantumkan wajhu ad-dalaalah (sisi pengambilan), serta mengutip keterangan ahlul ilmi dari beberapa kitab referensi. Kepada Allah ta’ala memohon pertolongan.
Kita mulai dengan melihat defenisi dua kata yang termasuk sering kita dapati dalam internet perihal perayaan Muharram, yaitu: Tabuik Pariaman dan Al-Husainiyat Syi’ah.
DUA KUTIPAN DARI WIKIPEDIA
PERTAMA: TABUIK
Tabuik (Indonesia: Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu Muhammad (shallallaahu ‘alaihi wasallam, Pen.), yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatra Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembali Pertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol.
Tabuik merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Di Bengkulu dikenal pula dengan nama Tabot.
Upacara melabuhkan tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak 1831. Upacara ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di Sumatra bagian barat.
Tahapan
Ritual pembuatan tabuik dimulai dengan pengambilan tanah dari sungai pada tanggal 1 Muharram. Tanah tersebut diletakkan dalam periuk tanah dan dibungkus dengan kain putih, kemudian disimpan dalam lalaga yang terdapat di halaman rumah tabuik. Lalaga adalah tempat berukuran 3x3 meter yang dipagari dengan parupuk, sejenis bambu kecil. Tanah yang dibungkus dengan kain putih adalah perumpamaan kuburan Husain. Tempat Ini akan diatapi dengan kain putih berbentuk kubah. Tanah tersebut akan dibiarkan disana sampai dimasukkan ke dalam tabuik pada tanggal Muharram.
Pada tanggal 5 Muharram dilakukan proses menebang batang pisang dengan cara sekali tebas pada malam hari. Ini melambangkan perumpamaan keberanian salah satu putra Imam Husain yang menuntut balas kematian bapaknya. Prosesi dilanjutkan pada tanggal 7 dan 8 Muharram yang disebut Maatam dan Maarak sorban. Maatam merupakan personifikasi membawa jari-jari Husain yang berserakan ditebas pasukan Raja Yazid. Sedangkan Maarak Sorban melambangkan diaraknya bekas sorban untuk menyiarkan keberanian Husain memerangi musuh.
Pada tanggal 10 Muharram pagi, diadakan prosesi Tabuik naik pangkat, yaitu pemasangan bagian atas tabuik. Kemudian Tabuik diarak hingga akhirnya dibuang ke laut.
Festival Tabuik
Festival Tabuik merupakan bagian dari cara masyarakat merayakan tradisi Tabuik secara tahunan. Ketika upacara adat ini sudah diakui oleh pemerintah sebagai bagian berharga dari kehidupan berbangsa, maka festival Tabuik pun menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Festival Tabuik sudah berlangsung sejak puluhan tahun, disebutkan bahwa festival ini sudah berlangsung sejak abad ke-19 Masehi. Festival Tabuik ini kini tidak hanya menjadi bagian dari adat masyarakat setempat semata melainkan juga menjadi salah satu bagian dari komoditi pariwisata daerah.
Fetival Tabuik dilaksanakan dalam satu rangkaian untuk menghormati atau sebagai hari perayaan peringatan wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yang bernama Hussein bin Ali. Peringatan ini selalu dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram sesuai dengan hari wafatnya cucu nabi Muhammad SAW Hussein Bin Ali yang meninggal dalam perang di padang Karbala.
Festival Tabuik sendiri merujuk pada penggunaan bahasa arab ‘tabut’ yang berarti peti kayu. Nama tersebut mengacu kepada legenda paska kematian cucu nabi, muncul makhluk seekor kuda bersayap dengan kepala manusia. Makhluk itu disebut Buraq. Dalam legenda itu dikisahkan bahwa peti kayu yang dibawa oleh kuda berkepala manusia itu berisi potongan jenazah Hussein.
Berdasarkan legenda tersebutlah, maka dalam festival Tabuik selalu muncul makhluk tiruan buraq untuk mengusung peti kayu ‘tabut’ di atas punggungnya. Ritual ini sendiri baru muncul sekitar tahun 1826-1828 Masehi. Tabuik pada tahun-tahun tersebut kental dengan pengaruh Timur Tengah yang dibawa oleh keturunan India penganut Syiah. Kemudian pada tahun 1910 terjadi perubahan bentuk perayaan guna menyesuaikan dengan adat istiadat masyarakat Minangkabau.
Oleh karenanya, festival Tabuik menjadi seperti yang anda lihat saat ini. Festival Tabuik awalnya hanya ada satu yakni tabuik pasa. Perubahan itu terjadi sekitar tahun 1915 ketika ada segolongan masyarakat mengajukan supaya terwujud tabuik dalam bentuk lain. terjadilah kesepakatan tabuik di buat di dua daerah, satu di daerah Pasa sehingga disebtu dengan tabuik Pasa dan Tabuik Subarang yang dilaksanakan di seberang Sungai Pariaman.
Tabuik Pasa berada di sisi selatan sungai yang membelah kota sampai ke tepian Pantai Gandoriah. Wilayah Pasa dianggap sebagai asal muasal tradisi Tabuik dibentuk.
Sedangkan Tabuik Subarang yang terletak di seberang utara Sungai Pariaman disebut sebagai kampung Jawa karena penduduk di sana merupakan pendatang dari Jawa.
Dalam sebuah riwayat yang bertarikh tahun 1916 dan sekitar tahun 1930-an disebutkan bahwa Tabuik Subarang dalam tata cara pelaksanaannya tidak mengikuti tata cara Tabuik yang dilaksanakan di wilayah Pasa.
Meski demikian, acara tetap berlangsung karena memiliki satu tujuan yang sama yakni memuliakan arwah cucu Nabi Muhammad SAW, Hussein Bin Ali. Festival Tabuik mulai masuk ke dalam kalender pariwisata tahunan Kabupaten Pariaman mulai tahun 1982.
Oleh karenanya, pelaksanaan Festival Tabuik di dua wilayah tersebut dipromosikan juga ke luar daerah untuk mendatangkan turis domestik dan asing. Tujuannya agar pelaksanaan festival bukan hanya sekadar untuk tradisi dan upacara adat, melainkan juga agar nilai adat ini menjadi dikenal secara lebih luas.
Pantai Gandoriah menjadi titik pusat acara festival Tabuik. Titik puncak acara festival ini berupa arak-arakan tabut sampai ke pantai dan dilarung. Kemeriahan acara dan tata upacara ini menarik perhatian masyarakat luas, dan kini menjadi salah satu dari agenda wisata budaya tahunan Kabupaten Pariaman.
Prosesi Upacara dan Makna
Dalam setiap upacara adat di Indonesia, pasti ada makna di balik setiap rangkaian upacaranya. Rangakaian upacara Tabuik memiliki prosesi atau ritual yang disebut dengan Maarak Jari-jari. Makna dari ritual ini pernah dijelaskan oleh tokoh tetua Tabuik Nagari Subarang Nasrun Jon Travel.Tempo.co.
Dikutip dari sumber, makna dari ritual Maarak Jari-Jari ialah pengumpamaan jasad cucu Nabi Muhammad SAW yang wafat karena terbunuh. Dalam prosesi tersebut diadakan replika atau bentuk tiruan jari-jari manusia yang dimasukkan ke dalam panja atau wajah. Tiruan ini kemudian diarak ke seluruh wilayah kota. Upacara ini dilanjutkan dengan upacara pertemuan atau prosesi yang disebut dengan ritual Basalisiah. Acara ini merupakan pertemuan kedua belah pihak antar pelaksana Tabuik.
Jadi, dalam pelaksanaan ritual Tabuik akan ada dua belah pihak, katakanlah pihak selatan dan utara dari satu wilayah. Keduanya akan saling bertarung dalam saat Basalisiah berlangsung. Kedua kubu akan saling menyerang, mereka melemparkan gendang tasa sampai terjadi bentrokan.
Tradisi ini sebagai pengingat perang yang pernah terjadi dan menewaskan Hussein bin Ali cucu Nabi Muhammad SAW. Dalam pelaksanaan Basiliah sekilas seolah-olah masyarakat saling mendendam karena terjadi bentrokan. Sesungguhnya tidaklah demikian, karena pelaksanaannya hanyalah bagian dari upacara untuk menggambarkan cerita kematian Hussein.
Sebelum Ritual Maarak Jari-jari dilaksanakan, sehari sebelumnya dilaksanakan Prosesi ritual maradai. Prosesi ini berisikan kegiatan masyarakat dalam meminta sumbangan. Dalam ritual ini masyarakat Tabuik akan melibatkan masyarakat untuk memberikan sumbangan seikhlasnya. Sumbangan yang didapatkan kemudian digunakan untuk pelaksanaan acara sampai selesai.
Urutan Upacara Tabuik
Dalam pelaksanaan upacara Tabuik ada urutan upacara yang harus dilaksanakan. Pertama, ritual mengambil tanah atau disebut juga dengan maambiak tanah. Ritual ini dimulai tanggal 1 muharram.
Dalam prosesi ini, tetua upacara Tabuik akan mengambil segumpal tanah dari sungai. Aktivitas ini dilaksanakan di sore hari dan harus pada tanggal 1 Muharram. Upacara ini dimulai dengan arak-arakan yang diiringi dengan gendang tasa. Ritual mengambil tanah di sungai ini dilaksanakan oleh kedua kelompok Tabuik, baik itu Tabuik Pasa maupun Tabuik Subarang. Masing-masing tetua pelaksanaan upacara Tabuik mengambil tanah di wilayah yang berlawanan.
Pemimpin upacara Tabuik Pasa mengambil dari sisi selatan sungai, sedangkan pemimpin dari Tabuik Subarang mengambil dari sisi utara sungai. Terkait dengan lokasi sungai, Tabuik Pasa mengambil sungai kecil yang berlokasi di Galombang. Sedangkan Tabuik Subarang mengambil tanah sungai yang Batang Piaman yang berlokasi di daerah Pauh.
Pengambilan tanah dilakukan oleh pemimpin upacara yang disebut dengan Tuo Tabuik. Di adalah seorang laki-laki yang mengenakan jubah putih. Jubah warna putih dipilih sebagai lambang kejujuran dan kesucian Husein. Waktu pengambilan tanah di sungai ialah sebelum shalat maghrib kemudian tanah dimasukkan yang dalam Daraga yang merupakan simbol Kuburan Husein. Pengambilan tanah ini memiliki makna berupa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah.
Seperti yang sudah disebutkan, dalam prosesi ini ada sebuah wadah yang disebut dengan Daraga. Daraga ini dibuat oleh warga sebelum dilaksanakan prosesi Maambiak Tanah. Kedua kelompok pelaksanaan Tabiak melaksanakan ritual membuat Daraga terlebih dahulu. Daraga adalah sebuah tempat yang dilingkari oleh pagar bambu. Pagar tersebut berbentuk segi empat dengan luas urang lebih 5 meter. kemudian dililit dengan kain putih.
Prosesi kedua, setelah mengambil tanah atau disebut dengan ritual maambiak tanah, dilaksanakan prosesi kedua yang berupa menebang Batang Pisang atau disebut juga dengan istilah Manabang Batang Pisang. Pelaksanaan ritual menebang batang pisang dipersepsikan sebagai ketajaman pedang yang digunakan selama perang. Menebang batang pisang juga menjadi simbol untuk menuntut kematian Husein tersebut. Ritual menebang batang pohon pisang ini dilakukan oleh seorang pria dengan pakaian silat. Batang pisang harus ditebang dalam sekali tebas. Tidak boleh dilakukan dengan dua sampai tiga kali tebas. Ada versi makna lain dari aktivitas menebas pohon ini bahwa ritual ini diibaratkan sebagai simbol tentara Yazid yang telah mengambil nyawa dan harga Husain. Batang pisang yang sudah ditebang kemudian disimpan di dalam Daraga.
Setelah proses kedua dilaksanakan, dilanjutkan proses ketiga yang berupa bacakak, ini berupa ritual tari perkelahian yang dilakukan oleh dua kelompok tabuik. Ritual ini sebagai representasi dua kelompok yang saling berperang. Upacara ini akan diiringi oleh gendang tasa.
Tarian perkelahian ini merupakan simbol perang yang terjadi di Karbala, tempat di mana Husein terbunuh. Tarian yang menjadi simbol peperangan ini kemudian diakhiri di sore hari dan dilanjutkan dengan upacara selanjutnya yang disebut dengan Maatam yang jatuh tanggal 7 Muharram.
Prosesi Maatam akan dilaksanakan setelah shalat dhuzur. Upacara Maatam dilaksanakan oleh para perempuan. mereka akan berjalan mengelilingi daraga sambil membawa peralatan ritual yang terdiri dari jari-jari, sorban, pedang, dan sesaji. Mereka mengiringi daraga sambil menangis dan meratap. Ritual ini sebagai simbol kesedihan dan meratapi kematian korban perang, tidak hanya kematian Husein yang diratapi tetapi juga seluruh keluarga yang telah ikut berperang dan gugur.
Di samping itu, pada tanggal 7 muharram dilaksanakan upacara Maarak Jai-jari. Upacara ini disebut juga dengan Maarak panja. Upacara ini berupa tiruan jari-jari tangan yang menjadi simbol tubuh dan jari-jari tangan Husein serta pejuang lain yang tercincang. Hal ini juga menjadi simbol bukti kekejaman raja zalim.
Upacara ini akan diiringi dengan hoyak tabuik lenong dan iringan bunyi gendang tasa. Hoyak tabuik lenong sendiri merupakan tabuik berukuran kecil yang diletakkan di atas kepala para laki-laki. Setelah upacara ini selesai akan dilaksanakan upacara Maarak saroban yang diadakan di petang hari tanggal 8 Muharram.
Ritual ini merupakan momen di mana para pelaksana upacara akan menginformasikan ke masyarakat kalau Husein sudah terbunuh dalam perang Karbala. Upacara ini juga diiringi dengan miniature tabuik lenong dan diiringi dengan gemuruh bunyi gendang tasa.
Selanjutnya, hampir memasuki prosesi terakhir, di mana pelaksana upacara melaksanakan ritual tabuik naik pangkat yang dilaksanakan pada dini hari tanggal 10 Muharram. Upacara ini dilaksanakan menjelang fajar, di mana ada dua bagian tabuik yang sudah dibangun mulai disatukan menjadi tabuik utuh. Acara ini disebut sebagai tabuik naik pangkat karena tabuik yang sudah disatukan kemudian diusung ke jalan untuk dibawa ke pantai.
Sebelumnya akan ada pesta hoyak tabuik yang dilaksanakan tepat ketika matahari terbit di tanggal 10 muharram. Dimulai sekitar pukul 09.00 Wib, para pelaksana tabuik akan membawa tabuik sepanjang jalan diiringi oleh bunyi gendang.
Peristiwa ini akan mengundang masyarakat yang belum terlibat upacara dapat terlibat secara langsung. Acara ini hoyak tabuik akan berlansung sampai sore hari karena perjalanan menuju pantai akan berlangsung sampai turunnya matahari. Tepat saat itulah akan terjadi prosesi upacara tabuik dibuang ke laut. Pelaksanaannya tepat pada tanggal 10 muharram petang. Tabuik akan dilepas ke laut oleh kelompok nagari Pasa dan Subarang di antara warga yang menyaksikan yang sekaligus menjadi peserta upacara tabuik.
Upacara terakhir ini bermakna, orang yang meninggal akan memiliki tempat kembali, masyarakat harus melepaskan mereka yang sudah meninggal dengan rela.
Alat Musik Gendang Tabuik
Dalam setiap upacara adat selalu ada alat pengiring untuk mengiringi tiap ritual. Hal yang sama juga ada di dalam upacara adat Tabuik. Alat yang digunakan untuk mengiringi upacara adat ini adalah alat musik gendang tasa atau dikenal secara luas sebagai gendang tabuik. Alat upacara ini digunakan untuk mengiringi acara yang berlangsung sejak tanggal 1 sampai 10 Muharam.
Setiap kali acara dimulai, gendang tabuik atau gendang tasa akan ditabuh secara terus menerus. Ada formasi khusus selama gendang ditabuh, formasinya terdiri atas 7 orang penabuh dan formasinya berlapis karena gendang harus dibunyikan. Jika salah satu lelah, akan digantikan secara terus menerus oleh orang lain. formasi ini menimbulkan suara riuh. Ketukan gendang disesuaikan dengan prosesi upacara. Misalnya, jika ritual peperangan sedang berlangsung maka gendang akan ditabuh seolah-olah benar-benar terjadi peperangan besar di sekitar mereka.
Gendang ini tidak hanya merefleksikan semangat dan keberanian Husein tetapi juga mengantarkan mereka menuju medan perang agar tidak pernah menyerah.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Tabuik)
KEDUA: HUSAINIYAH
Husainiyah (bahasa Arab: الحسينية) adalah tempat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan mazhab Syiah. Husainiyah lebih sering digunakan untuk mengadakan kegiatan dalam rangka memperingati kesyahidan Imam Husain as dan syuhada Karbala.
Pada sebagian besar kantong Muslim Syiah, baik di kota-kota maupun desa-desa, minimal ada satu husainiyah. Dikatakan bahwa di Lucknow, India pada pertengahan tahun 1210 kira-kira terdapat 2000 husainiyah dan di Teheran pada akhir tahun 1961 kira-kira ada 630 husainiyah. Berdasarkan data statistik pada tahun 1996 terdapat 7528 di Iran dimana lebih dari 11 % jumlah tersebut merupakan tempat untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Kegunaan khusus husainiyah adalah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti majelis duka khususnya majelis duka untuk mengenang pengorbanan Imam Husain as dan penolong setianya. Sedangkan penggunaan secara umum adalah untuk mengadakan acara-acara keagamaan dan kebudayaan. Sebagian besar Husainiyah dihiasi dengan ornamen-ornamen yang sederhana. Husainiyah lebih banyak digunakan pada bulan Muharam dan Shafar. Biaya operasional yang digunakan biasanya berasal dari swadaya masyarakat.
Sejarah
Kata "husainiyah" tidak ada tertulis dalam referensi klasik. Nampaknya, Husainiyah adalah bangunan yang ada di sekitar masjid, di sudut dan bangunan yang menyatu dengan masjid. Kemungkinan besar, Husainiyah pertama kali ada pada masa Safawi dan seterusnya dan dibangun dengan maksud untuk digunakan sebagai tempat melakukan aktivitas-aktivitas kebudayaan Syiah di Iran.
Masyarakat pada periode Bawaih atas perintah Muiz al-Daulah Dailami pada tahun 352 H/964 mendirikan tenda-tenda di jalan-jalan untuk mengadakan majelis duka. Mereka mendirikan tenda menggunakan kayu atau baja dan ditutup dengan menggunakan kain kanvas. Tradisi ini masih ada hingga sekarang.
Menurut sumber referensi klasik, tidak ada laporan tentang konstruksi bangunan-bangunan permanen sebagai husainiyah. Sebagian besar majelis duka diadakan di masjid-masjid, haram para Imam Maksum, Haram Keturunan Imam (Imam Zadeh), pasar-pasar dan (tekiye) tempat untuk menyelenggarakan kegiatan keagamaan. Kemungkinan besar, bangunan dengan nama husainiyah dikenal pada zaman Qajar, sebagaimana sejarah pembangunan husainiyah penting dan terkenal yang tidak ada pada masa sebelumnya.
Kegunaan Husainiyah
Untuk Mengadakan Majelis Duka
Meskipun ada masjid, namun penggunaan Husainiyah digunakan untuk mengadakan majelis-majelis khusus guna memperingati acara-acara duka dalam mazhab Syiah seperti menepuk dada, melantunkan kidung duka, dan ceramah-ceramah keagamaan di beberapa tempat dan mengadakan drama kolosal pertempuran Karbala dengan menampilkan beberapa karakter utama.
Fungsi yang paling signifikan adalah untuk mengadakan majelis duka pada sepuluh hari pertama bulan Muharram hingga 28 Shafar bagi Imam Husain as, acara-acara keagamaan atau perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad saw dan para Imam as pada waktu-waktu lain selama bulan hijriah, mengadakan acara-acara pada bulan Ramadhan, khususnya acara malam Qadr, mengadakan majelis-majelis pembacaan ayat suci Alquran, mengadakan acara berkabung bagi keluarga yang meninggal bagi penduduk setempat dan acara-acara keagamaan dan kebudayaan lainnya.
Memperkuat Semangat Empati
Husainiyah adalah tempat yang paling ramai dan menjadi pusat perkumpulan penganut Syiah pada bulan Muharam dan Shafar. Kehadiran dan kerja sama masyarakat un