![]() |
السَّاعَةُ الَّتِي تَشْهَدُ الزَّمَنَ وَالدُّمُوْعَ
Bismillāhir-Raḥmānir-Raḥīm
Waktu dan Saksi dari Masa Silam
Jam ini dibeli oleh Amak dan Abak di Toko Metro, dekat Balai Kota Padang, pada tahun 1971, seingatku.
Saat itu, rumah kami di Los Baro, Padang, masih sangat sederhana — berdinding semen kasar, bertingkat atas dengan lantai papan, tanpa sekat kamar dan tanpa penerangan listrik, namun penuh dengan doa, kesabaran, dan perjuangan hidup.
Jam ini mereka beli bukan untuk hiasan, tetapi sebagai pedoman waktu,
karena ketika itu mereka sedang merawat anak ketiga mereka yang sedang sakit keras.
Di rumah itu, waktu hanya dikenal dari suara adzan dan arah sinar mentari.
Kini, anak ketiga itu telah wafat sekitar empat puluh hari yang lalu.
Semoga Allah merahmatinya dan mempertemukannya kembali dengan kedua orang tua kami di surga-Nya yang luas.
Aku sendiri adalah anak keenam.
Saat jam itu pertama kali digantung di dinding, aku baru berumur tiga tahun,
belum tahu apa itu waktu, apalagi beban dari setiap detiknya.
Namun sejak itu, jam ini mulai berdetak — dan diam-diam menjadi guru dalam rumah kami:
mengatur waktu makan, tidur, belajar,
dan mengajarkan kami arti amanah dan keteraturan.
Jam ini adalah Seiko buatan Jepang,
jenis 30-Day, cukup diputar sebulan sekali,
dengan bunyi bandul yang mengisi hari-hari kami.
Sejak kecil aku terbiasa memutarnya.
Mimpi dan Cahaya dari Masa Lalu
Sekitar dua pekan lalu, aku bermimpi.
Aku berada di rumah lama kami di Batangkabung, Pariaman —
rumah yang dibangun tahun 1989 dari hasil warung kopi kecil
yang dirintis oleh Abak dan Amak di Padang.
Dalam mimpi itu, aku hendak mengantarkan seorang saudara ke rumah sakit malam hari, sekitar jam 23.
Namun aku masuk dulu dari pintu belakang dan berkata dalam hati:
"Aku lihat dulu Amak di ruang utama."
Dan ternyata… Amak sendirian di rumah itu.
Lampunya masih menyala, dan wajahnya seperti sedang menunggu dalam sunyi.
Aku menangis dalam mimpi. Aku tak tega meninggalkannya,
apalagi masih ada orang lain yang bisa menggantikan tugasku mengantarkan saudara pergi ke dokter.
Aku terbangun — pukul tiga dini hari.
Dan hatiku berkata:
"Jam itu harus kau hidupkan kembali."
Amanah Waktu yang Diwariskan
Jam tua itu — tempat Amak wafat pada Juni 2022 — masih tergantung di rumah yang kini ditempati oleh adikku.
Namun adikku tak tahu cara merawatnya.
Aku telah memberi kabar kepada adikku sejak beberapa hari lalu, bahwa jam itu perlu dipindahkan dan dirawat.
Maka malam tadi, aku meminta dua puteriku untuk menjemput jam itu dan membawanya ke rumah kami —
yang hanya dua petak ruko dari rumah tempat Amak wafat.
Jam itu kini ada di sini.
Aku baru tadi malam memesan minyak pelumas mesin jam buatan Swiss melalui Shopee.
Rencananya siang ini akan aku bersihkan secara fisik dengan hati-hati.
Dan jika pesanan itu telah tiba, maka akan aku teteskan minyak tersebut ke bagian dalam mesin,
pada poros dan titik-titik geraknya.
Aku telah memutarnya seperti dulu.
Dan... jam itu kembali berdetak.
Aku menyetel waktunya pada pukul 04.07 WIB, hari Sabtu, tanggal 19,
sesuai waktu dini hari yang tampil di arloji Peje-ku yang tergantung di atas cermin.
Saksi Waktu dan Janji Allah
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih,
serta saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”
(QS. Al-‘Ashr: 1–3)
Ibnu 'Abbas radhiyallāhu 'anhuma telah menyampaikan bahwa Nabi Muhammad shallallāhu 'alaihi wasallam bersabda:
"نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيْهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ"
“Dua nikmat yang banyak dilalaikan manusia: kesehatan dan waktu luang.”
(HR. Al-Bukhārī, no. 6512)
Warisan Waktu dan Getar Cinta
Dan malam ini, aku tak hanya membangunkan sebuah jam tua.
Aku membangunkan kenangan, amanah, dan cinta yang ditinggalkan oleh orang tuaku.
Jam ini bukan sekadar penunjuk waktu.
Ia adalah saksi detik-detik pengabdian,
penjaga malam-malam zikir dan air mata,
dan kini… ia kembali hidup.
Seperti harapanku yang tak ingin cinta itu hilang bersama waktu.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذِهِ السَّاعَةَ شَاهِدَةً لِوَالِدَيَّ، وَلِأَخِيَ الَّذِي سَبَقَنِي، وَاجْمَعْنِي بِهِمْ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ، فِي ظِلِّ رَحْمَتِكَ، وَحُبِّكَ، وَرِضْوَانِكَ
“Ya Allah, jadikanlah jam ini sebagai saksi bagi kedua orang tuaku, dan bagi saudaraku yang telah lebih dulu berpulang.
Kumpulkanlah kami kembali di surga penuh kenikmatan, dalam naungan rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu.”
آمِيْن، يَا رَبَّ الزَّمَانِ وَالذُّكْرَى
Amin, wahai Rabb Pemilik waktu dan kenangan
Detik pun kembali berdetak. Dalam tiap ayunannya, aku mendengar bisikan cinta dan amanah.
Pariaman, Sabtu, 23 Muharram 1447 H / 19 Juli 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa diakses di: http://mahadalmaarif.com