![]() |
oleh ReO Fiksiwan
وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Arti: Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.
Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil(QS. Al-Hujurat:9).
Pada sekitar 1970-an — ketika lagi memegang tampuk Ketua PB HMI Pusat, mendiang Nurcholish Madjid(1939-2005) sebagai aktivis cendekiawan, pernah menyampaikan Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki(TIM) dengan tema “Islam dan Sekularisme”(Lihat Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, 1987).
Kontan setelah pidato itu beredar luas lewat media, cendekiawan Islam senior lulusan Sorbone Perancis, Prof. Dr. H. Muhammad Rasjidi(1915-2001, Menteri Agama Pertama(1946) dari kalangan Muhammadiyah merespon secara keras — kalau tak dikatakan menolak tegas — masuknya paham itu(Bandingkan Muhammad Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi, 1972).
Respon Prof. Rasjidi yang saya akrabi — setelah membaca buku tanggapannya atas pidato Cak Nur di perpustakaan Unsrat pada awal 1980-an — dibesut pula dengan melahab buku-bukunya.
Antara lain, Filsafat Agama(1970) dan buku-buku terjemahan mualaf marxisme asal Perancis, Roger Garaudy(1913-2012), Janji-Janji Islam(1981), Mencari Agama Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy(1986) serta Living Issues in Philosophy(Persoalan-Persoalan Filsafat,1984) dari Nolan cs.
Perdebatan intelektual itu, akhirnya melahirkan gerakan polemik intelektual Islam antara generasi.
Tak cuma Prof. Rasjidi yang menghajar pemikiran yang menawarkan sekularisasi dan sekularisme — dua istilah yang berbeda — dan pertama dihebohkan oleh teolog asal Amerika, Harvey Cox(96) dalam “The Secular City”(1965).
Akan tetapi, dari negeri jiran, Malaysia, Syed Muhammad Naquib al-Attas(93) ikut merespon lewat Islam and Secularism(1978).
Dari debat panjang disertai tulisan-tulisan yang dibukukan, tradisi pembaruan dalam Islam di Indonesia, akhirnya menghidupkan momentum dan iklim cendekiawan dari berbagai kalangan.
Cak Nur sendiri — setelah polemik itu — mendapat tawaran mengambil S3 di Universitas Chicago dan bertemu dengan pembimbingannya, mendiang Prof. Dr. Falzur Rahman(1919-1988), seorang cendekiawan eksil asal Pakistan.
Akibat pemikirannya tentang modernisme Islam, Rahman disingkirkan dari negaranya, Pakistan, karena berpolemik dan ditentang keras oleh kalangan ulama dari Jamiatul Islam pimpinan ulama kondang, Abu Ala Maududi(1903-1979).
Maududi, ulama salaf garis keras, penulis buku “Khilafah dan Kerajaan”(1997) yang diterjemahkan dengan pengantar Prof. Dr. M. Amin Rais MA.
Di bawah bimbingan Prof. Rahman, Cak Nur menulis disertasi Ibn Taimiyah on Kalam. Konon, disertasi ini sudah diterjemahkan oleh Prof. Dr. Mulyadhin Kartanegara, dosen Uni. Paramadina yang jadi visiting professor di Univ. Brunai Darussalam.
Sejak polemik, khusus dari kalangan Aswaja sendiri, baik Indonesia maupun Pakistan, ketika itu, tradisi pembaruan pemikiran Islam terus melenggang hingga hari ini.
Meski secara faktual terjadi berbagai macam distorsi dalam fikih khilafah, termasuk dalam soal fikih perang, maupun apa yang lebih sering disebut oleh sejawaran Islam W. Montgomery Watt(1909-2006) — persepsi dan mispersepsi — dalam sejarah agama dan kekuasaan(Bandingkan, Muslim-Christian Encounters, 1991).
Walhasil, beberapa nukilan perdebatan, serangan, perbedaan bahkan konflik dan peperangan serta sering dibalut kebencian, penindasan dan ketidakadilan memunculkan istilah islah(لو سمحت).
Meski bukan satu-satunya istilah dalam fikih Islam muamalah — menurut Insiklopedi Religi — islah dalam kajian hukum atau yurisprudensi Islam ditujukan memperbaiki, mendamaikan, dan menghilangkan sengketa atau kerusakan yang meluas akibat konflik, sengketa maupun perang.
Islah, dalam perang atau konflik masal, bertujuan menciptakan perdamaian. Menghidupkan keharmonisan dan mengajurkan orang untuk berdamai antara satu dan lainnya. Tentu, disertai melakukan perbuatan baik dengan berperilaku sebagai orang suci.
Sedikit bukti, ketika Presiden Amerika Donald Trump memutuskan merudal tiga instalasi nuklir Iran, Fordow, Isfahan dan Natanz, dalam pidato, Trump maupun tanggapan Bibi Netanyahu, dengan ekspresi masing-masing saling menyeru: Thank you, God Bless Us.
Balik ke ruang lingkup pembahasan islah dalam konflik dan perang, terutama mencakup aspek-aspek kemashlahatan dan perdamaian kehidupan umat manusia, teolog Jerman, Hans Küng, menawarkan penegakan etika global sebagai paradigma ekososbudhankam dalam menghadapi segala bentuk krisis dunia(Lihat Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, 1997).
Ditafsir dari linguistik Arab modern, perkembangan istilah islah telah bergeser dan digunakan untuk pengertian pembaruan(tajdid).
Dengan kata lain, islah merupakan itikad pembaruan dalam mengedepankan kata klise perdamaian dan penyelesaian pertikaian sebagai diplomasi politik internasional.
Adapun islah itu sendiri, kelak dilandaskan pada mendamaikan suatu pertikaian timbang memperkeruh konflik dan perang dalam asas keadilan seperti yang telah didaraskan John Rawls.
Andai dalam satu golongan terjadi perbedaan, tidak perlu ada pihak ketiga yang menengahi dan mengislahkannya karena dikhawatirkan pertikaian akan tidak bisa terselesaikan.
Ikhtiar islah seperti ini, sangat tampak dalam dukungan Amerika pada Israel dalam menyeru perdamaian sembari merudal Iran.
Akhirnya, kata islah, pertama kali saya serap dari mendiang Cak Nur — setelah polemik sekuler itu merasuk ke dalam kelompok cendekiawan muslim moderat maupun fundamental garis keras — terus mengiang.
Padahal, sejak awal berdirinya setiap imperium atau daulah peradaban dunia, kata islah itu sendiri — dari diakanonismos(Yunani), reconciliatio(Latin), Frieden(Jerman), shalom(Ibrani) peace(Inggris) hingga heping(Cina) —  selalu menjadi jalan politik melalui spektrum fikih siyasah dan ikhtilaf dalam Islam.