![]() |
وَفَاةٌ فِي الْحَرَمِ: دُعَاءٌ مُسْتَجَابٌ وَخَاتِمَةٌ كَرِيْمَةٌ
Bismillāhirrahmānirrahīm
Kabar dari Tanah Suci
Ahad kemarin, 25 Mei 2025 M, aku dan isteriku menaiki kereta api menuju Padang. Kami diundang menghadiri resepsi pernikahan putri salah seorang jemaah umrah yang pernah berangkat bersamaku ke Tanah Suci pada bulan Juli 2024. Ketika itu, mereka berangkat berlima dalam satu keluarga.
Menjelang memasuki Kota Padang, masuk pesan WhatsApp ke ponselku. Isinya dari anggota majelis pengajian yang aku bimbing. Kabar itu menyentak hati:
“Assalāmu'alaikum warahmatullāhi wabarākatuh,
Innālillāhi wainnā ilaihi rāji’ūn
Telah berpulang ke rahmatullah orang tua kami "Ibu …….." pada pagi ini di Tanah Suci.
Umur 83 tahun,orang tua dari “Mintuo Fulanah” (sapaan dalam adat Minangkabau untuk isteri Paman dari pihak ibu), Bang Fulan ,Kak Fulanah,
Semoga almarhumah Husnul khatimah.”
Aku segera menghubungi salah seorang jemaah mereka. Ia mengirimkan dua foto dan info lengkap dari grup mereka:
“Ada jemaah meninggal di kamar 810, pukul 04.30 pagi, Ahad, 25 Mei. Buk Fulanah (nama samaran), regu 19 rombongan 5, manifest 201, umur 83 tahun, asal Pariaman, riwayat jantung.
Di sana juga ada anak kandung beliau: Fulan (nama samaran), regu dan rombongan sama, manifest 202.”
Lalu aku mengontak anak tertua beliau di Pariaman. Dengan suara terbata-bata ia membenarkan kabar itu. Tangisnya pecah.
Air mataku pun tak terbendung. Aku kabarkan kepada isteriku, dan kami sama-sama larut dalam haru.
Ibu yang Selalu Datang dengan Doa
Pertemuan terakhirku dengan beliau ialah pada Jum’at, 9 Mei 2025 di majelis pengajian tafsir dan hadits yang rutin kami adakan. Ia adalah jemaah tertua kami. Hari itu beliau berpamitan dengan berkata:
“Ambo jemaah paling tuo, Ustadz. Ambo hanya ingin, sekiranya Allah menjemput, biarlah itu di Makkah.”
Itu bukan sekadar kata. Itu harapan yang beliau rajut dengan doa, dan Allah mengabulkan.
Setiap pengajian, beliau tak pernah datang dengan tangan kosong. Selalu membawakan air botol dan makanan ringan untukku. Bila berhalangan hadir, beliau menitipkan itu kepada orang lain. Sekilas tampak kecil, tapi bagiku itu ketulusan yang besar.
Beliau sangat aktif dalam pengajian. Senang bertanya dan sangat gembira ketika hatinya dilapangkan untuk menerima manhaj salaf dalam ‘aqidah. Tak jarang ia menyelipkan sedikit uang kepadaku seraya berkata,
“Tolong doakan ambo agar masuk Surga.”
Terutama ketika aku berangkat umrah membimbing jemaah travel.
Amanah Doa dan Takut Berkhianat
Setiap kali dia berpesan doa kepadaku, aku merasa itu sebagai sebuah amanah berat. Ketulusan beliau menjadikan setiap permintaannya kepada diriku terasa berat untuk aku tanggung. Bukan karena aku tak ingin, tapi karena aku takut menjadi orang yang menyia-nyiakan amanah. Aku teringat hadits Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi shallallāhu ‘alayhi wasallam bersabda:
آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga: apabila dia menyampaikan sesuatu, dia berdusta, apabila dia berjanji, dia menyalahi dan apabila dia diberi amanah atau kepercayaan, dia berkhianat.”
(HR. Al-Bukhari no. 33)
Maka untuk kehati-hati dari salah menunaikan amanah, biasanya aku doakan dengan redaksi seperti ini:
“Ya Allah, Engkaulah yang lebih mengetahui keadaannya dan Engkaulah yang menentukan takdirnya. Kabulkanlah doanya sebagaimana yang dia inginkan.”
Tanda-Tanda dari Allah
Tahun lalu, selepas Idul Fithri, ketika pengajian kembali dimulai, beliau belum bisa hadir karena sakit. Maka kami membesuk ke rumahnya yang hanya beberapa ratus meter dari Mushalla Al-Ikhlas tempat kami belajar. Sesampai di rumahnya, beliau merasa tak enak telah merepotkan dan tak ingin menjadi beban. Dia mengaku tidak sakit parah.
Dan pernah beberapa kali sakit jantungnya kumat di waktu pengajian. Napasnya sesak dan wajahnya pucat. Pernah juga isteriku memijit tangannya dalam kondisi demikian, lalu kondisinya membaik.
Saat aku dan isteri hendak pulang dari mushalla pada pertemuan terakhir itu, beliau menyelipkan infak untuk pembangunan mushalla pesantren kami. Ia menyelipkan uang yang dilipatkan ke tangan dan berkata lirih,
“Ini untuk ustadz dan yang ini untuk bangunan surau pesantren. Doakan ambo, Ustadz. Doa Ustadz makbul...”
Ucapannya ini menyentakkanku kepada diriku sendiri. Betapa sebenarnya aku sedang mendoakan sejumlah hajat untuk diriku dan keluargaku yang menunggu pengabulan Rabbul alamin.
Wafat dalam Ibadah dan Tanah Haram
Semua itu seolah menjadi pertanda, bahwa beliau telah mempersiapkan diri untuk sebuah perjumpaan suci dengan Rabb-nya. Dan kini Allah telah menjawabnya dengan cara terbaik. Ia wafat di Tanah Haram. Setelah menunaikan umrah, dan dalam keadaan menanti puncak ibadah haji. Wafat dalam suasana ibadah, dalam rencana amal salih, di tempat yang paling mulia.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ [آل عمران: 102]
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”
(QS. Āli ‘Imrān: 102)
Kematian yang seperti ini bukan sekadar akhir dari hayat. Ini adalah husnul khātimah—akhir yang baik. Wafat di Tanah Haram, dalam suasana ketaatan, setelah menyelesaikan satu ibadah agung dan berniat menunaikan yang lebih besar.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wasallam bersabda:
مَنْ خَرَجَ حَاجًّا فَمَاتَ كُتِبَ لَهُ أَجْرُ الْحَاجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ خَرَجَ مُعْتَمِرًا فَمَاتَ كُتِبَ لَهُ أَجْرُ الْمُعْتَمِرِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ خَرَجَ غَازِيًا فَمَاتَ كُتِبَ لَهُ أَجْرُ الْغَازِي إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa keluar (dari rumahnya) untuk berhaji lalu ia wafat, maka dituliskan baginya pahala orang yang berhaji hingga Hari Kiamat. Dan barang siapa keluar untuk berumrah lalu ia wafat, maka dituliskan baginya pahala orang yang berumrah hingga Hari Kiamat. Dan barang siapa keluar untuk berjihad lalu ia wafat, maka dituliskan baginya pahala orang yang berjihad hingga Hari Kiamat.”
(HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Awsath no. 5321)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Nabi shallallāhu ‘alayhi wasallam juga bersabda:
مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَمُوتَ بِالمَدِينَةِ فَلْيَمُتْ بِهَا، فَإِنِّي أَشْفَعُ لِمَنْ يَمُوتُ بِهَا
"Barang siapa mampu wafat di Madinah, maka wafatlah di sana. Karena aku akan memberi syafaat bagi yang wafat di sana."
(HR. At-Tirmidzi no. 3917)
Ulama menyebut bahwa keutamaan ini berlaku pula untuk Makkah, karena ia Tanah Haram, lebih dahulu disucikan, lebih banyak dikunjungi, lebih banyak pahala dan pengampunan. Maka wafat di sana adalah keutamaan yang luar biasa.
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلَامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [النحل: 32]
Artinya:
“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik. (Para malaikat itu) berkata: ‘Salam atas kalian. Masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kalian kerjakan.’”
(QS. An-Nahl: 32)
Doa dalam Musibah dan Harapan untuk Kita
Kita kehilangan seorang ibu, sahabat pengajian, dan panutan dalam semangat belajar serta niat yang lurus. Tapi kita juga bersyukur atas akhir hidupnya yang indah. Semoga kita semua diberi akhir hidup seperti itu—dalam iman, dalam amal, dan dalam keadaan yang paling diridhai Allah.
Kita baca doa saat mendapat musibah. Doa ini diajarkan Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wasallam sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dan sangat dianjurkan untuk dibaca saat seseorang mengalami musibah, agar Allah mengganti duka dengan pahala dan kebaikan:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ أْجُرْنَا فِي مُصِيبَتِنَا، وَأَخْلِفْ لَنَا خَيْرًا مِنْهَ
“Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Allāhumma’jurnā fī muṣībatinā, wa akhlif lanā khayran minha.”
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, berilah kami pahala dalam musibah kami ini, dan berilah kepada kami ganti yang lebih baik darinya.”
Berbahagialah mereka yang wafat dalam keadaan ketaatan. Dan beruntunglah mereka yang menjadikan hidup ini sebagai bekal menuju perjumpaan dengan-Nya. Semoga kita pun diberi kesempatan mengakhiri hidup dalam amal terbaik. Āmīn Yā Rabbal Ālamīn.
Pariaman, 1 Dzulhijjah 1446 H / 28 Mei 2025 M
Tulisan ini bisa diakses di: http://mahadalmaarif.com