![]() |
Dia tak banyak cakap, tapi ketika berpidato suaranya lantang dan berisi. Terkenal sebagai politisi vokalis di era orde baru.
Di kalangan politisi, dia disapa "Buya". Tak ada embel-embel tuanku di ujung atau di awal namanya. Tapi zaman sebelum reformasi itu, para santri Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan menyapa dia dengan sebutan "Pak Buchari'.
"Eh, tolong turut Buchari ke rumahnya, bilang Buya suruh ke surau," begitu Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah ketika ada perlu dengan Buchari Rauf kepada santri yang dia inginkan.
Tentu santri yang sudah jadi guru tuo. Di tahun 1990 an itu, meski di rumah Buchari Rauf sudah ada telepon, tapi anak siak ini bergegas saja ke Ringan-Ringan, rumahnya Buchari Rauf.
Bersepeda. Kadang kalau tak ada sepeda, berjalan kaki saja. Kalau tak bersua Buchari Rauf di rumahnya, ditinggalkan pesan ke istrinya, lalu malamnya Buchari Rauf tiba di surau biasanya.
Buchari Rauf yang lahir 1945 ini adalah santri hebat dan pintar. Ketika zaman dia jadi santri, tahun 1960 an, namanya terkenal hebat.
Lincah dan tentunya termasuk santri istimewa oleh Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, sang pendiri dan pemilik Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan.
Di IAIN, kini UIN Imam Bonjol Padang, dia dosen ilmu Mantiq. Dosen PNS yang sulit menemukan tandingannya. Periode 1992-1997, dia terkenal "garang" di DPRD Sumatera Barat.
Jadi wakil rakyat dari PPP, membuat dia tegak lurus dengan garis perjuangan partai. "Amar makruf nahi mungkar". Masuk ke PPP lewat jalur Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Jadi, kehebatan dia di UIN dan DPRD Sumbar tidak serta-merta. Proses hebatnya itu di mulai dari menjadi santri di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan.
Jadi santri iya, sekolah umum pun berlanjut di SMP Sicincin. Sekalian juga sebagai pengurus Pesantren Madrasatul 'Ulum. Dia juga anak ulama terkenal. Tuanku Kuniang Rauf ayahnya, yang juga sempat mengaji di Lubuk Pandan.
Di Rimbo Dulang-Dulang dan Pauh Kambar, Tuanku Kuniang Rauf adalah ulama panutan, tempat mengaji dan tempat bertanya oleh masyarakat Nan Sabaris.
Zaman dia mengaji, asrama santri masih banyak memakai surau milik masyarakat Lubuk Pandan. Belum ada bangunan utama. Buchari Rauf dan kawan-kawan yang bersitungkin mewujudkan sebuah pembangunan surau sebagai bangunan utama.
Kelak, surau bangunan utama itu dinamai dengan Surau Tangah. Kini, bangunan itu telah diperbesar lagi.
Dulu itu semi permanen. Separoh bangunan permanen, separonya lagi pakai kayu. Artinya, untuk lantai dua, semuanya dari bahan kayu.
"Atas izin Buya, musim basapa kami menyetop mobil dan kendaraan dari dan ke Ulakan di Kapalo Koto dan Pauh Kambar," cerita Buchari Rauf suatu ketika.
Suami Sahlul Munal dan ayah dari tujuh orang putra dan putri ini meninggalkan jasa besar untuk kebesaran Madrasatul 'Ulum. Terakhir, bangunan asrama berlantai dua di bagian depan, adalah bantuan pemerintah Sumbar, lewat perjuangan gigih dia di wakil rakyat.
Tepatnya tahun 1994, menjelang akhir periodesasi dia di DPRD, lewat aspirasi yang dia salurkan ke Madrasatul 'Ulum, sesuai pula keinginan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, perlunya tambahan sebuah asrama.
Soal pembangunan sarana di Madrasatul 'Ulum, oleh generasi pertama, tampak Buchari Rauf ini contoh nyatanya. Dia juga memiliki legalitas yang komplit. Ya tokoh pendidikan, dengan berhasilnya mendirikan dan mengembangkan sekolah Tarbiyah Perti di Lubuk Idai.
Dia ingin kuliah, oleh Buya Abdullah Aminuddin dihubungi MTI Jaho, tempat Buya mengaji dulu bersama Syekh Muhammad Djamil Jaho.
Maka dapatlah Buchari Rauf legalitas dari Jaho. Sebuah ijazah tanda tamat yang diangkutnya masuk IAIN Imam Bonjol, sampai dia jadi dosen di kampus itu.
Baginya, pendidikan Madrasatul 'Ulum tidak boleh berhenti. Setiap masa transisi harus dilewati dengan positif dan meraih kemajuan.
"Yang penting proses belajar dan mengajar jangan sampai terputus. Soal tambahan asrama, beras untuk dimakan para guru dan pimpinan, kalau tidak ada, datang ke sini, jemput," begitu dia berkomitmen ketika mendiang Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa bersilaturahmi ke rumahnya dengan sejumlah guru tuo di tahun 1990 an.
Soal aqidah dan amaliah, Buchari Rauf teguh dengan warisan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah dan Perti. Tak jarang, dia berani saja mendatangi ulama yang dianggapnya agak bertentangan dengan kaji dan ilmu yang dia dapatkan.
Setelah 15 hari terbaring sakit karena komplikasi, dia pergi menghembuskan nafas terakhirnya, Senin 12 November 2012 lalu.
Meninggalkan seorang istri dan tujuh orang putra dan putri, serta meninggalkan Madrasatul 'Ulum dengan segala dinamika yang lama dia tangani pembangunan dan sumberdaya manusianya.
Pun sekolah Tarbiyah Perti rintisan dia di Lubuk Idai, melahirkan banyak tokoh yang mengabdi di sekolah agama dan Kemenag, dia tinggalkan.
Perjuangan Buchari Rauf di dunia pendidikan pesantren dan Tarbiyah, serta langkah pasti dan vokalnya di dunia politik, setidaknya menjadikan catatan dan pelajaran tersendiri oleh santri Madrasatul 'Ulum saat ini.
Karya dan Pengabdian
Banyak orang memanggilnya dengan sapaan Buya, lantaran dia memang berangkat dari surau. Kemana-mana, sepeda motor Cup 70 setia menemaninya. Begitu juga rokok Panama tak pernah lupa dibawanya.
Di kalangan Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan, banyak anak siak menyapanya dengan panggilan, Pak Buchari. Tapi alumni yang agak sedikit dibawanya senantiasa menyapa mendiang Buchari Rauf itu dengan panggilan guru tuo. Dan itu tradisi, warih bajaweh pusako batarimo di kalangan pesantren tradisional di Padang Pariaman dan Sumatera Barat. Panggilan guru tuo, tanda santri yunior menghormati santri yang lebih tua.
Di DPRD Sumatera Barat, Buchari Rauf terkenal vocal dan sering memberikan kritikan terhadap pemerintah. Di lembaga wakil rakyat itu, dia duduk dari PPP. Orang-orang PPP tak ada yang tidak kenal dengan Buchari Rauf. Sampai akhir hayatnya, selalu setia dengan partai berazaskan Islam tersebut.
Sejak dulu, atau awal hadirnya Buya Tuanku Shaliah di Lubuak Pandan, Buchari Rauf adalah "anak panah" oleh Buya untuk bidang pembangunan. Dia selalu jadi motor penggerak bagaimana pembangunan surau berjalan. Sangat layak Buchari Rauf digelari "Bapak Pembangunan Madrasatul 'Ulum".
Awal masuknya Buya ke Lubuk Pandan pada tahun 1940, lembaga tersebut belum lagi dinamakan Madrasatul 'Ulum. Waktu itu bernama Surau Kapalo Sawah (SKS).
SKS merupakan sebuah surau milik kaum Suku Guci di Nagari Lubuk Pandan. Di surau itulah Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah mendidik santri yang dia bawa dari Surau Jambak Pakandangan.
Lamanya SKS kurang lebih 25 tahun. Baru setelah itu, yakni 1 Juni 1965 (empat bulan menjelang meletusnya G. 30. S. PKI), batu pertama pembangunan Madrasatul 'Ulum dimulai, yang ditandai dengan batu pertama bangunan sebuah surau. Di sinilah peran Buchari Rauf banyak terlibat.
Minangkabau belum lagi mengadopsi pesantren. Istilah pesantren pertama kali lahir dan berkembang pada masyarakat Jawa. Untuk Minangkabau, dikenal dengan surau, Aceh meunasah, Mentawai uma. Mulai masuknya istilah pesantren ke Minangkabau di era 60 an. Sementara, Buchari Rauf belajar di Lubuk Pandan di era 60-an. Di samping belajar di surau, Buchari Rauf juga sekolah di SMP Sicincin, yang terletak di Rimbo Bakuang. Tahun 1964 Buchari Rauf diangkat jadi marapulai tafsir.
Bersamaan dengan jadi marapulai tafsirnya Buchari Rauf, pendidikan formalnya di SMP juga akan selesai, sehingga kesibukan pelajaran di sekolah dan surau sama-sama menyita waktu untuk belajar dengan bersungguh-sungguh.
Tahun 1965 Buchari Rauf berhasil menamatkan/menyelesaikan tugasnya jadi marapulai tafsir. Waktu itu juga dimulai pembangunan sebuah surau yang akan menjadi milik Madrasatul 'Ulum di atas tanah yang diwakafkan oleh kaum Suku Guci seluas 2.130 M2 (dua ribu seratus tiga puluh meter bujur sangkar).
Di sinilah Buchari Rauf banyak menangani masalah pendanaan untuk pembangunan tersebut. Peran yang dimainkan Buchari Rauf luar biasa, melebihi kapasitas seorang pengurus pembangunan.
Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah merasa ketergantungan kepada Buchari Rauf, soal pembangunan. Sampai-sampai Buchari Rauf akan meninggalkan pesantren, lantaran mau kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Padang, belum diizinkan oleh Buya. "Menjelang selesai pembangunan surau ini, kamu belum boleh pergi," kata Buya seperti diceritakan kembali oleh Buchari Rauf sebelum dia meninggal dunia.
Buchari Rauf terkenal sebagai seorang santri paling kritis. Berani tampil beda dari kebanyakan santri di zamanya. Dengan kepiawaian itulah dia sering melakukan perdebatan/diskusi pengajian dengan sang guru. Bahkan saking kritisnya, sampai-sampai dia dipertemukan oleh Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah dengan seorang gurunya yang alim di bidang thariqat, Syekh H. Tuanku Sidi Talua di Toboh Mandailing. Hal itu terjadi, karena Buchari Rauf banyak melakukan perlawanan terhadap pengajian itu. Setelah dipertemukan dengan Tuanku Sidi Talua, Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah juga banyak menerima masukan dari Buchari Rauf, yang waktu itu dikenal dengan santri cilik, karena memang tubuhnya kecil.
Kemampuan Buchari Rauf dalam mewujudkan pembangunan di Lubuk Pandan tidak mudah untuk dilupakan. Setelah dia jadi anggota DPRD Padang Pariaman periode 1977-1982, pembangunan surau milik pesantren telah bisa dimanfaatkan. Peranan Buchari Rauf lebih meningkat lagi soal pembangunan.
Di kala Buchari Rauf duduk di DPRD Padang Pariaman lewat PPP, banyak kegiatan nasional yang diikuti Buya Abdullah Aminuddin. Baik kegiatan Perti, maupun kegiatan yang diadakan PPP itu sendiri.
Buchari Rauf sering membawa Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah untuk mengikuti kegiatan ormas dan politik. Waktu itu Ormas banyak melakukan forum yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan agama. Peranan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah terhadap Buchari Rauf adalah sebagai power dalam menopang kekuatan politiknya di DPRD. Buchari Rauf banyak disegani oleh kawan dan lawan politiknya, tak lain karena seringnya dia membawa gurunya dalam memutuskan berbagai masalah dan persoalan yang berkaitan dengan keagamaan.
"Kalau masalah dunia, itu Buchari Rauf orangnya, sementara soal-soal yang berhubungan dengan akhirat, Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah yang terkemuka," kata Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah ketika berkelakar dengan teman-teman ulama dari daerah lain dalam suatu kegiatan nasional.
Soal mendapatkan uang untuk membangun sarana pendidikan di Madrasatul 'Ulum, memang Buchari Rauf-lah satu-satunya santri dan alumni yang paling menonjol. Itu semua dilakukan Buchari Rauf dengan penuh kesungguhan, dan menghormati guru. "Ya, kalaulah guru memerintahkan, kita tidak dapat berbuat apa-apa kecuali melakukan apa yang diperintahkannya, sebatas kemampuan kita," kata Buchari Rauf.
Begitu kuat peranan Buchari Rauf di Madrasatul 'Ulum, tidak pernah dia memanfaatkan santri dari pondok itu untuk mencapai tujuan politiknya. Dia berhasil jadi anggota DPRD Padang Pariaman pada 1977-1982 dan DPRD Sumatra Barat pada 1992-1997, semata-mata perjuangan yang dilakukannya melalui organisasi Perti.
"Yang paling penting itu, bagaimana santri tambah banyak. Soal bangunan asrama, lokal tempat belajar tak begitu sulit membangunnya," kata dia suatu ketika saat rapat bersama dengan pengurus pesantren di rumahnya Ringan-Ringan, Pakandangan.
Perjuangannya tulus untuk mengabdi di pesantren Lubuk Pandan. Suatu ketika, saat Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah sudah tidak ada lagi, para pengurus OSIP dan Buya Marzuki mendatangi Buchari Rauf. Hanya berdiskusi soal belajar dan mengajar, dan kemajuan pesantren.
"Kalau memang tak ada yang akan dimakan di Lubuk Pandan, suruh anak siak ke sini menjemput beras," ujarnya menjelaskan ketulusannya mengurus pesantren yang ditinggalkan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah.
Buchari Rauf ingin, dalam kondisi apapun yang namanya belajar mengajar tetap berjalan. Sepertinya, dia banyak dapat amanah dari Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah soal pesantren sepeninggalnya. Dan itu pula sebabnya Buchari Rauf tidak ingin setengah-setengah menghadapi persoalan apapun yang muncul di pesantren.
Ketika bicara, selalu menggebu-gebu. Tegas, lugas dan tak ada yang berani membantahnya. Kalau ada hal-hal yang tidak dia sukai, atau sesuatu yang bertentangan dengan alur agama dilakukan banyak orang, dia orang pertama dan terdepan menentangnya. Bagi Buchari Rauf tak ada ulama yang hebat, kecuali setelah dia ketahui lewat mendatangi ulama bersangkutan, dan berdebat langsung soal-soal isyu yang berkembang di tengah masyarakat yang dilakukan ulama terkait.
Dan tak ada pula guru yang keras pembicaraannya. Ketika berhadapan dengan Buchari Rauf, yang keras itu jadi lunak. Buchari dikenal dengan santri Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah yang lihai dan pintar. Tak takut dan canggung menghadapi siapa pun.
Kevokalannya di dewan itulah membuat banyak orang yang jadi "korbannya". Sampai-sampai jalan raya Ringan-Ringan ke Sintuak tak pernah diaspal. Idealismenya selama jadi orang politisi tak pernah bisa dijinaknya oleh kawan dan lawan politiknya. Hanya waktu yang membuat Buchari "tersingkir" dari belantara dunia politik. Berkali-kali dia mencaleg setelah jadi anggota dewan di penghujung Orde Baru, tak pernah lagi terpilih.
Sempat namanya melambung di akhir Orde Baru berkuasa. Dia masuk bursa calon Gubernur Sumatera Barat. Namun, dalam pemilihan, pasangan Zainal Bakar - Fakhri Ahmad yang unggul dalam pemilihan yang dilakukan oleh anggota dewan tersebut. Baginya, dunia politik adalah pilihan dan bagian dalam kehidupannya. Semasa mengaji dulu, dia memang terkenal hebat. Ahli dalam ilmu Mantiq (logika).
Buchari Rauf yang lahir pada 1945 ini wafat di kediamannya Ringan-Ringan pada Senin 12 November 2012. Meninggalkan seorang istri dan tujuh orang putra-putri.