![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Membaca riwayat hidup tokoh tentu mengasikkan, tidak hanya gagasan besar yang diwariskan, tetapi juga pernak pernik kehidupan sehari-hari, keluarga, dan tentu juga catatan kecil lainnya.
Perlu ikhtiar dan usaha membaca semua liku kehidupan dan pergolakan pemikiran di zamannya.
TANYA?
Penilaian terhadap tokoh diskripsinya ditentukan sejauh mana pengetahuan pembaca, misalnya ada penulis menyebut Hamka tokoh yang rasional. Sedangkan SAA adalah tekstual, bagaimana ini?
JAWAB
Memberi pelabelan pemikiran tokoh dalam gaya akademik dan objektif. Dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer, berbagai tokoh menampilkan corak pemikiran yang khas dan dapat diklasifikasikan berdasarkan pendekatan, orientasi, serta kontribusinya terhadap dinamika keilmuan dan keumatan. Memberi pelabelan terhadap pemikiran tokoh tidak dimaksudkan untuk membatasi ruang interpretasi, melainkan sebagai upaya akademik untuk memahami alur berpikir, latar sosiologis, serta kerangka metodologis yang digunakan oleh tokoh tersebut.
Sebagai contoh, Syekh Nawawi al-Bantani sering dilabeli sebagai ulama tradisionalis karena kedekatannya dengan khazanah kitab kuning, orientasi fikih bermazhab, serta pendekatan sufistik dalam karya-karyanya. Sebaliknya, Fazlur Rahman dikategorikan sebagai pemikir modernis karena pendekatannya yang hermeneutis, kontekstual, dan kritis terhadap teks klasik, terutama dalam usahanya merekonstruksi etika Qurani.
Pelabelan ini membantu para peneliti dan pembaca dalam menempatkan tokoh pada spektrum tertentu dalam wacana keilmuan Islam seperti tradisionalis, modernis, neo-modernis, atau post-tradisionalis. Namun demikian, penting ditekankan bahwa pelabelan tidak boleh mengabaikan kompleksitas pemikiran tokoh, serta transformasi intelektual yang mungkin dialaminya sepanjang hayat.
TANYA?
Apa strategi agar buku ini dapat mudah dipahami generasi Z.
JAWAB?
Beberapa strategi agar buku keulamaan (kitab, monograf, atau esai-agama) dapat lebih atraktif dan relevan dibaca oleh kalangan milenial:
1. Bahasa yang Mengalir dan Kontekstual.
Gunakan gaya bahasa percakapan, bukan formal kaku.
Sisipkan istilah‐istilah sehari‐hari atau analogi populer (misalnya analogi startup, media sosial, game) untuk menjelaskan konsep klasik.
Cantumkan “kisah nyata” atau studi kasus singkat yang relevan dengan isu kekinian—misalnya etika digital, tantangan mental health, atau keadilan sosial.
2. Desain Visual dan Layout Modern.
Tata letak yang bersih dengan ruang putih cukup, font mudah dibaca, dan hierarki heading jelas.
Infografik, diagram mind‐map, atau ilustrasi ringan untuk merangkum poin‐poin utama.
Sisipkan pull‐quote berwarna atau highlight ringkas sebagai “quote of the day” yang bisa di‐share di Instagram/WhatsApp Stories.
3. Format Multimedia dan Digital. Sediakan e‐book interaktif dengan tautan internal (klik judul bab membawa ke ringkasan video pendek atau artikel pendukung).
Sertakan kode QR di sampul atau akhir bab yang mengarah ke podcast, ceramah video singkat, atau diskusi panel online.
Kembangkan audio books dengan kualitas narasi profesional, bahkan bisa kolaborasi dengan influencer Muslim muda untuk membaca.
4. Pendekatan Narasi Storytelling.
Buka setiap bab dengan “kisah pembuka” (anecdote) yang memancing emosi dan rasa ingin tahu.
Rangkum poin‐poin teologi atau fikih ke dalam alur cerita tokoh fiksi atau pengalaman nyata ustaz/ustazah muda.
Akhiri bab dengan “tantangan aksi” (call to action): misalnya refleksi diri, checklist harian, atau tugas sederhana yang bisa di‐post di feed media sosial.
5. Kolaborasi dan Komunitas.
Ajak ustaz/ustazah milenial untuk menjadi co‐author atau reviewer. Suara mereka lebih “dekat” dengan pembaca seumuran.
Bentuk klub baca online—misalnya di Telegram atau Discord—dengan fasilitator yang memandu diskusi ringan tiap minggunya.
Gelar webinar atau IG Live untuk Q&A langsung tentang materi buku, sehingga pembaca merasa terlibat.
6. Topik Relevan dan Kontemporer. Fokus pada problematika milenial: manajemen stres, integrasi iman dan karier, isu gender, hingga digital ethics.
Hubungkan ajaran klasik dengan isu global seperti perubahan iklim, keadilan ekonomi, dan human rights.
Sajikan rekomendasi aplikasi mobile atau platform online yang mendukung praktik spiritual (misalnya habit tracker ibadah, jurnal harian keagamaan).
7. Call‐to‐Action Sosial Media Friendly.Sediakan “micro‐content” di akhir bab: misalnya kutipan singkat yang mudah di‐tweet atau di‐share.
Buat hashtag resmi buku (#Koneksi QuranMillenial, #Keulamaan Gaul) agar pembaca bisa saling berbagi insight di Twitter, Instagram, atau TikTok.
Adakan challenge singkat: misalnya #7HariKeilmuan, di mana pembaca mempraktekan satu poin setiap hari lalu posting pengalaman mereka.
TANYA?
Bagaimana bisa menulis hebat, apa trik menulis?
JAWAB
Menulis hebat bukan soal bakat semata, tapi soal proses dan kebiasaan yang konsisten. Trik dan strategi menulis hebat yang bisa kamu terapkan.
1. Tahu Tujuan dan Pembaca.
Tanyakan dulu: Untuk siapa tulisan ini? Apa pesan intinya?
Gaya dan isi akan berbeda kalau kamu menulis untuk milenial, akademisi, atau jamaah masjid.
2. Mulai dari Kerangka.
Tulis poin-poin utama dulu, ibarat bikin peta jalan.
Misalnya:
Pembuka: Isu atau fakta menarik
Isi: Argumen atau kisah pendukung
Penutup: Refleksi atau ajakan
3. Tulis Dulu, Edit Belakangan.
Jangan kejar sempurna di awal. Menulis hebat lahir dari draf yang kacau tapi jujur.
Biarkan mengalir, baru poles kemudian.
4. Gunakan Bahasa yang Hidup. Hindari kalimat pasif dan klise.
Pakai kata kerja kuat, contoh:
Bukan: “Masalah ini harus dipahami oleh kita semua.”
Tapi: “Kita wajib memahami persoalan ini dalam-dalam.”
5. Gabungkan Logika dan Emosi.
Kombinasi fakta (data, kutipan) dan rasa (kisah, pengalaman pribadi) bikin tulisan lebih menggugah.
Contoh: Tulis tentang zakat, lalu kisahkan satu keluarga yang terbantu karenanya.
6. Kaya Bacaan = Kaya Tulisan.
Penulis hebat adalah pembaca rakus.
Baca buku, artikel, bahkan puisi. Ambil inspirasi, gaya, dan cara menyampaikan gagasan.
7. Menulis Setiap Hari Walau Sedikit
15 menit sehari pun cukup untuk melatih otot menulis.
Bisa lewat jurnal pribadi, caption, tweet panjang, atau artikel pendek.
8. Minta Umpan Balik
Tunjukkan tulisanmu ke orang lain. Dapatkan kritik. Jangan baper.
Feedback bikin kamu sadar apa yang perlu diperbaiki.
9. Gunakan Teknik “Show, Don’t Tell”
Jangan bilang “dia marah”, tapi tunjukkan: “matanya menyipit, napasnya berat.”
10. Beri Napas pada Tulisan. Gunakan paragraf pendek. Sisipkan jeda. Beri ruang untuk pembaca mencerna.
TANYA
Ada apa generasi sekaran?
JAWAB.
Pertanyaan tajam dan reflektif, bro. Mengapa Minangkabau hari ini tidak (atau belum banyak) melahirkan tokoh hebat seperti dahulu? Ada beberapa faktor struktural, kultural, dan historis yang bisa ditelaah:
1. Perubahan Orientasi Nilai dan Pendidikan.
Dahulu, pendidikan di surau, madrasah, dan perguruan tinggi Islam mencetak tokoh integratif: ulama-intelektual-pejuang (misalnya Haji Agus Salim, Buya Hamka, Syekh Ibrahim Musa).
Kini, pendidikan lebih pragmatis dan administratif. Banyak yang mengejar ijazah, bukan ilmu dan misi hidup. Surau jadi sepi, kampus jadi birokratis.
2. Keterputusan Tradisi Intelektual.
Minangkabau dulu punya jejaring ulama dan cendekiawan lintas generasi (Tuanku–Guru–Murid).
Sekarang, regenerasi tokoh tidak sistemik. Pergantian pemimpin di organisasi atau pesantren sering tidak disiapkan dengan kaderisasi visi.
3. Krisis Kepemimpinan Visioner. Tokoh hebat lahir dari kepemimpinan yang kuat secara spiritual, moral, dan intelektual.
Kini banyak tokoh administratif, bukan tokoh pemikir dan penggerak. Mereka hadir karena jabatan, bukan karena keilmuan atau integritas.
4. Pergeseran Identitas Budaya
Minangkabau. terkenal dengan pepatah dan falsafah hidup. Tapi sekarang, banyak generasi muda tercerabut dari identitas adat dan Islam.
Kalimat “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” jadi slogan, bukan sistem hidup.
5. Miskinnya Ekosistem Dukungan.
Tokoh hebat butuh ruang, literasi publik, dan ekosistem yang mendukung.
Sayangnya, karya pemuda sering tidak dibina. Lembaga kebudayaan, media lokal, dan kampus kurang mengangkat potensi tokoh muda Minang.
6. Dominasi Narasi Luar. Generasi Minang hari ini lebih mengenal influencer global daripada tokoh lokal.
Kurangnya dokumentasi dan digitalisasi tokoh-tokoh lama membuat generasi muda tak punya figur untuk dicontoh.
7. Ketergantungan pada Pemerintah.
Dulu tokoh Minang mandiri: membangun pesantren, media, pergerakan.
Sekarang banyak yang menunggu proyek atau jabatan, bukan inisiatif membangun peradaban.
Jalan Kembali?
Minangkabau tidak kehabisan potensi, hanya kehilangan arah. Revitalisasi pendidikan, kaderisasi tokoh, penguatan nilai lokal, dan transformasi digitalisasi warisan keulamaan bisa jadi titik balik.
Kesimpulan.
Dialog tentang Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (SAA) menekankan pentingnya membaca riwayat hidup tokoh secara mendalam dan objektif, termasuk memahami konteks zamannya dan kontribusi intelektualnya. Pelabelan terhadap pemikiran tokoh seperti SAA harus bersifat akademik dan tidak menyederhanakan kompleksitas intelektual mereka.
Agar karya ulama klasik seperti SAA relevan untuk generasi Z, dibutuhkan strategi kreatif: penggunaan bahasa yang kontekstual, desain visual menarik, format digital-interaktif, pendekatan naratif (storytelling), kolaborasi dengan tokoh muda, serta pengemasan isu keislaman dalam kerangka kontemporer. Dalam hal kepenulisan, menulis hebat bukan soal bakat, melainkan konsistensi, kedalaman refleksi, dan keberanian untuk menyampaikan dengan jujur dan hidup.
Terkait pertanyaan reflektif mengapa Minangkabau kini tidak melahirkan tokoh besar seperti dahulu, jawabannya terletak pada perubahan orientasi pendidikan, terputusnya tradisi keilmuan, lemahnya kepemimpinan visioner, krisis identitas budaya, minimnya dukungan ekosistem literasi, dominasi budaya luar, dan ketergantungan pada pemerintah. Namun demikian, jalan kembali tetap terbuka melalui revitalisasi nilai, pendidikan, kaderisasi, dan digitalisasi warisan keulamaan Minang. Lt4gedungperpusta kaan@2005220.
*Dialog bedah buku Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, 20 Mei 2025 di Dinas Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat