![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Kitab ihya ulumuddin menjadi penting karena pesan kajiannya penting bagi menghidupkan ruh agama.
Imam al-Ghazali meletakkan adab sebagai pilar utama kehidupan Islam.
Dalam Rubu’ al-‘Adat, adab bukan hanya soal kesopanan, tetapi sarana mensucikan jiwa, memperbaiki hubungan sosial, dan mengaktualisasi kan nilai-nilai ruhani dalam tindakan harian. Tanpa adab, kehidupan seorang Muslim kehilangan arah ruhani dan potensinya untuk menjadi ladang amal.
Dalam Rubu’ al-‘Adat (seperempat bagian Ihya’ ‘Ulumuddin yang membahas adab dan kebiasaan hidup), urgensi dan esensi adab menempati posisi sentral dalam pandangan Imam al-Ghazali.
Urgensi Adab dalam Rubu’ al-‘Adat
1. Adab sebagai Manifestasi Iman.
Adab bukan sekadar tata krama sosial, tetapi ekspresi nyata dari akhlak dan iman. Orang yang beradab adalah yang mampu menyelaraskan perilaku lahiriah dengan nilai-nilai batiniah Islam.
2. Menghidupkan Aspek Praktis Agama. Rubu’ al-‘Adat menekankan bahwa aspek ibadah tidak cukup tanpa pengamalan nilai dalam kehidupan sehari-hari.
Adab menjadi jembatan antara ilmu dan amal, antara ibadah dan muamalah.
3. Penjaga Keberkahan Kehidupan.
Adab dalam makan, minum, berpakaian, bekerja, tidur, dan hubungan sosial adalah cara untuk menjaga keberkahan hidup.
Tanpa adab, aktivitas harian bisa menjadi rutinitas kosong tanpa nilai ibadah.
Esensi Adab menurut Al-Ghazali
1. Ikhlas dan Niat.
Segala tindakan harus dilandasi dengan niat yang lurus menuju Allah.
Adab bermula dari niat—makan bukan hanya mengisi perut, tapi agar kuat beribadah.
2. Keseimbangan antara Ruh dan Materi. Adab mengarahkan manusia agar tidak larut dalam kenikmatan dunia, tetapi juga tidak menolak dunia secara ekstrem.
Adab menata keinginan agar tetap dalam batas syariat.
3. Pembiasaan Menuju Akhlak Mulia. Adab bukan bawaan lahir, tapi bisa dibentuk dengan latihan dan pembiasaan.
Ia menjadi jalan menuju akhlak karimah yang lebih tinggi.
4.Melembutkan Jiwa dan Menghindarkan Dosa Tersembunyi.
Banyak dosa bersumber dari kelalaian adab, seperti riya’, sombong, rakus, atau kurang sopan terhadap makhluk.
ADAB BERUSAHA DAN MENCARI PENGHIDUPAN
Kitab Ketiga dari Rubu‘ al-‘Adat dalam Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, yaitu: Kitab Adab al-Kasb wa al-Ma‘asy (Kitab Adab Berusaha dan Mencari Penghidupan)
Tujuan Kitab ini adalah menjelaskan etika dan hukum dalam mencari nafkah serta kedudukan bekerja dalam pandangan Islam, terutama bagi orang yang menginginkan hidup yang halal dan diridhai Allah.
Pokok-Pokok Isi:
1. Kedudukan Bekerja dalam Islam. Bekerja dan mencari nafkah adalah bagian dari ibadah.
Nabi dan para sahabat juga bekerja; pekerjaan bukanlah hal rendahan jika diniatkan dengan benar.
Meninggalkan kerja dan berpura-pura zuhud tanpa tanggungan dianggap tercela.
2. Hukum Mencari Nafkah
Fardhu ‘Ain: Bila seseorang tidak memiliki orang lain yang menanggung nafkahnya.
Fardhu Kifayah: Jika sudah ada yang mencukupi, maka kewajiban tidak berlaku secara individu.
Mubah atau Sunnah: Bila untuk mencari kelapangan dan memberi kepada orang lain.
3. Etika dalam Bekerja
Niat yang ikhlas (untuk memenuhi kewajiban, memberi keluarga, bersedekah).
Tidak rakus atau serakah terhadap dunia. Tidak meninggalkan kewajiban agama karena pekerjaan.
Menjaga kejujuran dan tidak menipu dalam perdagangan atau profesi.
4. Pekerjaan yang Dianjurkan dan yang Dilarang
Pekerjaan terbaik: yang tidak mengandung penipuan, kezaliman, atau maksiat.
Terbaik dari semua: bertani, berdagang jujur, keterampilan tangan. Dilarang: pekerjaan yang mengandung riba, judi, penipuan, atau merusak moral.
5. Tawakkal vs Usaha. Al-Ghazali menolak pemahaman bahwa tawakkal berarti meninggalkan usaha.
Usaha adalah bagian dari sunnatullah; tawakkal adalah menyerahkan hasilnya kepada Allah, bukan meninggalkan kerja.
6. Sikap terhadap Harta. Harta hanyalah sarana, bukan tujuan hidup.
Harta harus diperoleh dengan halal, dibelanjakan di jalan yang diridhai, dan tidak menjadi sumber keangkuhan.
Zuhud bukan berarti miskin, tapi tidak terikat hatinya pada harta.
Kesimpulan
Imam al-Ghazali melalui Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa adab adalah ruh kehidupan Islam yang menyatukan dimensi batin dan lahir seorang Muslim. Dalam Rubu’ al-‘Adat, adab diposisikan bukan sekadar etiket, tetapi sarana pensucian jiwa, pembentuk akhlak, dan penghubung antara ilmu, amal, ibadah, dan muamalah. Adab menjadi penentu nilai spiritual dari aktivitas sehari-hari, sehingga makan, bekerja, tidur, atau berdagang menjadi ladang pahala jika dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang terpuji.
Dalam konteks adab bekerja (Adab al-Kasb wa al-Ma‘asy), al-Ghazali menjelaskan bahwa mencari nafkah adalah ibadah, bahkan bisa menjadi fardhu ‘ain. Bekerja harus dilandasi niat ikhlas, diiringi etika jujur, dan dijauhkan dari tipu daya, riba, dan maksiat. Pekerjaan yang halal, produktif, dan tidak mencederai nilai agama adalah jalan menuju keberkahan.
Adab juga menjadi penuntun dalam menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat, antara ruh dan materi. Ia tidak mematikan semangat duniawi, namun menuntun nya agar tetap dalam bingkai ridha Ilahi. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tapi menjaga hati dari keterikatan terhadapnya.
Akhirnya, Islam adalah agama yang hidup melalui adab. Tanpa adab, ilmu menjadi kering, ibadah menjadi kaku, dan kehidupan kehilangan arah spiritual. Adab-lah yang menjadikan adat bermakna ibadah, dan aktivitas duniawi bernilai ukhrawi. Maka, membumikan adab adalah jalan membangkitkan umat, membentuk insan beriman, dan mewariskan peradaban yang mulia. DS.19052025.
*Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin, Selasa, 20 Mei 2025