![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Judul di atas muncul ketika mengikuti seminar halal atau halal style (gaya hidup halal) yang berlangsung di Universitas Baiturrahmah, Sabtu, 03 Mei 2025 tadi.
Kuliner halal dan semua yang terkait halal lawannya haram bukanlah sebatas kehidupan lahiri saja, tetapi ia menyangkut kehidupan batin. Bahkan urusannya sampai ke akhirat, sorga dan neraka. Darah daging yang bersumber dari yang haram neraka yang pantas untuknya (hadist)
Di negeri yang konstitusinya mengakui nilai-nilai religius dan masyarakatnya mayoritas Muslim, seperti Indonesia, semestinya isu kehalalan makanan bukan menjadi perkara. Namun realitanya, “kuliner halal di negeri halal” justru menyimpan persoalan yang tak boleh diremehkan. Pertanyaannya: jika negeri ini sudah "halal", kenapa kita masih harus waspada?
Antara Anggapan dan Kenyataan.
Banyak dari kita berasumsi bahwa karena hidup di negeri mayoritas Muslim, otomatis semua makanan di pasaran pasti halal. Ini ilusi yang menenangkan tapi menyesatkan. Tidak semua bahan makanan, proses pengolahan, bahkan penyajian, sesuai dengan standar halal yang syar’i. Dalam dunia kuliner yang semakin kreatif dan global, penggunaan bahan asing, pewarna, pengawet, dan bumbu berbasis alkohol atau enzim hewani menjadi tantangan nyata.
Regulasi Belum Merata, Kesadaran Masih Rendah
Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah langkah maju, namun implementasinya belum menyentuh semua lapisan. Banyak pelaku UMKM makanan belum tersertifikasi halal, bukan karena niat buruk, tapi karena terbentur biaya, birokrasi, atau kurangnya pemahaman. Di sisi lain, konsumen sendiri sering tidak kritis. Selama tidak terlihat “jelas haram”, mereka menganggap aman.
Dilema Wisata Kuliner dan Trend Global
Pariwisata dan media sosial mendorong eksplorasi kuliner tanpa batas. Namun, apakah semua makanan Instagramable itu halal? Makanan Korea, Jepang, atau fusion food lainnya kini populer, tapi belum tentu sesuai dengan standar kehalalan. Restoran yang menyajikan makanan dari daging impor atau saus berbahan fermentasi alkohol sering lolos dari pantauan karena tidak ada pengawasan ketat.
Halal Bukan Hanya Label, Tapi Tanggung Jawab
Label halal bukan hanya urusan agama, tapi juga integritas, kebersihan, kesehatan, dan etika. Ia adalah bagian dari maqashid syariah—melindungi jiwa, agama, dan keturunan. Mengabaikan aspek halal sama artinya mengabaikan nilai inti dari kehidupan Muslim.
Apa Solusinya?
Pertama, negara harus menegakkan sistem jaminan halal yang tegas, tanpa membebani pelaku usaha kecil. Kedua, edukasi kepada masyarakat perlu ditingkatkan—bahwa halal bukan asumsi, tapi harus dibuktikan. Ketiga, pelaku usaha kuliner perlu diberi insentif dan pendampingan agar halal menjadi standar, bukan pilihan.
Karena sejatinya, di negeri halal, justru kehalalan harus menjadi budaya, bukan sekadar label.
PERAN PERGURUAN TINGGI ISLAM DALAM EDUKASI HALAL
Dalam ekosistem halal nasional, perguruan tinggi Islam memegang posisi strategis sebagai pilar intelektual, moral, dan sosial. Sayangnya, peran ini belum sepenuhnya dimaksimalkan. Padahal, di tengah tantangan globalisasi kuliner dan lemahnya literasi halal, kampus-kampus Islam, termasuk STIT Syekh Burhanuddin, maupun pesantren memiliki peluang besar untuk menjadi motor penggerak edukasi halal berbasis nilai dan ilmu pengetahuan.
Pertama, sebagai pusat riset dan kajian halal.
Perguruan tinggi Islam dapat mengembangkan Halal Center yang aktif meneliti bahan makanan, kosmetik, obat-obatan, dan produk lainnya.
Dengan kolaborasi lintas disiplin—agama, teknologi pangan, kimia, dan hukum—kampus bisa menjadi rujukan ilmiah dalam menentukan standar dan pedoman halal secara kontekstual dan akurat.
Kedua, sebagai agen edukasi masyarakat.
Melalui pengabdian masyarakat, kampus Islam dapat melakukan pelatihan halal untuk UMKM, penyuluhan ke sekolah, hingga sosialisasi di masjid dan komunitas. Mahasiswa bisa dilibatkan sebagai duta halal, memadukan dakwah dengan aksi nyata.
Ketiga, penguatan kurikulum halal.
Program studi di bawah rumpun syariah, ekonomi Islam, teknologi pangan, dan farmasi perlu memasukkan materi halal sebagai bagian dari kompetensi dasar. Ini tidak hanya untuk mencetak auditor halal, tetapi juga membentuk insan yang sadar halal dalam keseharian.
Keempat, kaderisasi ulama dan profesional halal.
Kampus Islam bisa mencetak lulusan yang bukan hanya paham fikih halal-haram, tapi juga kompeten dalam audit, manajemen, dan inovasi industri halal. Inilah wujud ulama yang teknokrat, bukan hanya penceramah, tapi juga pelaku perubahan.
Kelima, advokasi kebijakan dan standar halal.
Dosen dan peneliti dari kampus Islam dapat berkontribusi dalam perumusan regulasi halal, baik sebagai tenaga ahli di BPJPH, MUI, maupun pemerintah daerah. Peran ini penting agar regulasi halal tidak hanya teknokratik, tetapi juga berakar pada maqashid syariah.
Lima peran strategis ini, perguruan tinggi Islam tak sekadar menjadi menara gading, tapi menara cahaya yang menerangi masyarakat menuju kesadaran hidup halal. Karena halal bukan tren, tapi tuntunan. Dan perguruan tinggi Islam adalah tempat menyemai tuntunan itu menjadi peradaban.
Kesimpulan.
Isu kuliner halal di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim seharusnya bukan menjadi kegelisahan, namun realitas menunjukkan sebaliknya. Asumsi bahwa semua makanan pasti halal telah melahirkan kelengahan kolektif. Padahal, halal bukan hanya soal bahan, tapi menyangkut proses, niat, dan keberkahan. Dalam Islam, makanan bukan sekadar konsumsi fisik, melainkan juga spiritual, bahkan menjadi faktor penentu diterima atau tidaknya ibadah.
Kepastian halal memerlukan regulasi yang adil, kesadaran masyarakat yang tinggi, serta edukasi yang berkelanjutan. Di sinilah pentingnya sinergi antara negara, pelaku usaha, dan institusi pendidikan Islam. Perguruan tinggi Islam harus tampil di garda terdepan sebagai pusat riset, pengkaderan, dan penyuluh halal yang terintegrasi dengan nilai-nilai syariah dan tantangan kekinian.
Karena itu, kesadaran halal mesti ditanamkan sebagai budaya, bukan hanya label. Ia adalah wujud tanggung jawab moral, sosial, dan spiritual. Maka, tugas kita bersama—negara, umat, dan akademisi—untuk memastikan bahwa di negeri halal, kulinernya benar-benar halal. DS.03052025.
*Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin