![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Bab II pada kitab dua dari buku Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali memuat tentang pentingnya menjaga hakikat perkawinan adab dalam pernikahan dan dalam pembahasannya menyatukan antara hukum fiqih dengan etika pernikahan.
Pernikahan adalah institusi suci dalam Islam yang tidak hanya bernilai sosial, tetapi juga ibadah. Dalam Al-Qur’an dan hadis, pernikahan diposisikan sebagai jalan untuk menjaga kehormatan, memperoleh ketenangan (sakinah), dan membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Namun, agar pernikahan itu bernilai penuh, dua unsur utama harus dipenuhi: keabsahan secara hukum dan adab dalam pelaksanaannya.
Keabsahan Nikah: Pilar Syari’at
Secara fikih, keabsahan nikah ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, termasuk dalam mazhab Syafi’i yang dominan di Indonesia.
Rukun Nikah:
1. Calon suami dan istri yang halal untuk dinikahi
2. Ijab dan qabul yang jelas, langsung, dan dalam satu majelis
3. Wali nikah dari pihak perempuan
4. Dua orang saksi laki-laki yang adil
5. Mahar (mas kawin), meskipun sedikit
Syarat Tambahan:
Tidak sedang ihram
Tanpa unsur paksaan
Tidak terdapat halangan nikah (nasab, susuan, atau mushaharah)
Dilakukan oleh pihak yang baligh dan berakal.
Pernikahan yang tidak memenuhi syarat ini dianggap tidak sah, dan hubungan yang terjadi setelahnya tidak memiliki status hukum yang sah pula.
Adab Nikah: Dimensi Akhlak dan Spiritual
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa meski pernikahan sah secara hukum, ia belum tentu bernilai ibadah jika tidak memenuhi adab dan etika. Inilah aspek rohani dan akhlak yang sering diabaikan dalam praktik masyarakat.
1. Niat yang Ikhlas
Menikah hendaknya diniatkan untuk menjaga kehormatan diri, mengikuti sunnah Rasulullah, dan melahirkan keturunan yang saleh, bukan semata memenuhi hasrat atau status sosial.
2. Memilih Pasangan karena Agama
Sabda Nabi: "Wanita dinikahi karena empat hal... Pilihlah karena agamanya, niscaya engkau beruntung." (HR. Bukhari-Muslim).
Ini menunjukkan pentingnya kualitas iman dan akhlak di atas harta, rupa, dan keturunan.
3. Etika dalam Melamar
Adab melamar termasuk tidak menyalahi lamaran orang lain, tidak menipu calon pasangan, dan bersikap jujur terhadap kekurangan diri.
4. Mengumumkan Pernikahan
Pernikahan tidak seharusnya disembunyikan. Diumumkannya pernikahan, misalnya melalui walimah, adalah sunnah yang menunjukkan transparansi dan menjaga kehormatan.
Menjembatani Hukum dan Akhlak.
Pernikahan yang hanya sah di atas kertas namun tidak berlandaskan akhlak akan kehilangan ruhnya. Sebaliknya, pernikahan yang dijalankan dengan penuh adab namun tidak sah secara hukum akan kehilangan legitimasi syari’ah. Karena itu, idealnya, pernikahan harus menyatukan syarat sah dan keluhuran akhlak.
Esensi nikah dalam Islam bukan semata pada legalitas formal, melainkan pada kesungguhan untuk menjadikannya sebagai ibadah, komitmen, dan amanah. Ketika hukum dan akhlak menyatu, maka pernikahan tidak hanya menjadi sah, tetapi juga berkah dan membawa ketenangan.
MAKNA PERJANJIAN KOKOH
Istilah "mîtsâqan ghalîzhâ" (mithāqan ghalīzhā) atau “perjanjian yang kokoh/sangat kuat”.
وَ كَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَا قًا غَلِيْظًا
"Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 21)
Kajian tentang istilah ini dari tiga pendekatan: tafsir klasik, tafsir modern, dan ilmu kesehatan menjelaskan
1. Tafsir Klasik
a. Tafsir At-Thabari
Mîtsâqan ghalîzhâ dimaknai sebagai janji suci yang mengikat antara suami dan istri, tidak hanya kontrak sosial tapi juga kontrak spiritual di hadapan Allah.
Diperkuat oleh hak-hak syar’i yang muncul dari akad tersebut: mahar, nafkah, hak waris, dll.
b. Tafsir Al-Qurthubi
Mengutip hadis Nabi, beliau menyamakan akad nikah dengan perjanjian agung yang pernah diberikan kepada nabi-nabi terdahulu.
Nikah bukan transaksi biasa, tapi ikatan berat yang menuntut tanggung jawab besar.
c. Tafsir Al-Baghawi dan Ibnu Katsir
Menekankan aspek moral dan kepercayaan: seorang laki-laki telah mengambil seorang wanita dengan nama Allah, maka dikhianati atau dipermainkan adalah dosa besar.
2.Tafsir Modern
a. Tafsir Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Qur’an)
Mitsaq ghalizh adalah penghargaan terhadap perempuan sebagai manusia yang bermartabat.
Menolak anggapan patriarkis bahwa wanita adalah objek atau properti.
Kontrak ini menjadikan hubungan suami istri sebagai kerja sama menuju ridha Allah.
b. Tafsir Buya Hamka (Al-Azhar)
Buya Hamka menyebut akad nikah sebagai perjanjian ruhani yang tak bisa sekadar dilihat dari hukum positif.
Ia menyentil pernikahan yang hanya formalitas tanpa komitmen batin sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mitsaq ghalizh.
3. Perspektif Ilmu Kesehatan (Psikologi dan Reproduksi)
a. Psikologi Perkawinan
Perkawinan menciptakan ikatan emosional dan hormonal (misalnya oksitosin dan dopamin) yang kuat antara pasangan.
Komitmen yang kuat (mitsaq ghalizh) dibutuhkan untuk kestabilan emosi, mencegah stres dan trauma pasca-cerai.
b. Reproduksi dan Tanggung Jawab Kesehatan
Pernikahan membawa tanggung jawab besar atas kesehatan seksual dan reproduksi pasangan dan anak.
Nikah yang tanpa tanggung jawab (misalnya nikah siri tanpa perlindungan hukum) berpotensi menimbulkan kerugian medis dan sosial, termasuk infeksi menular seksual dan kesehatan mental.
"Mitsaqan ghaliza" bukan hanya ikatan hukum, tapi juga komitmen spiritual, moral, sosial, dan biologis yang saling terkait. Tafsir klasik menekankan keagungan akadnya, tafsir modern menyoroti nilai etika dan keadilan gender, sedangkan ilmu kesehatan memperlihatkan dampak nyatanya pada tubuh, mental, dan generasi.
KEABSAHAN AQAD NIKAH
Menjaga Akad Nikah dan Persyaratan dalam Nikah. (Ringkasan dari Bab II Kitab Adab an-Nikah - Ihya’ ‘Ulumuddin).
1. Pentingnya Menjaga Keabsahan Akad
Imam Al-Ghazali menekankan bahwa akad nikah adalah ibadah besar dan perjanjian suci ('aqdun ghalīzh). Karena itu, pelaksanaannya tidak boleh sembarangan, harus sesuai syariat agar sah dan diberkahi.
2. Rukun dan Syarat Akad Nikah
Menurut Al-Ghazali, akad nikah harus memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut:
Adanya calon suami dan istri yang sah menurut syariat
Ijab dan qabul secara eksplisit dan langsung
Dua orang saksi laki-laki yang adil
Wali perempuan, kecuali dalam mazhab yang tidak mensyaratkannya Mahar (mas kawin) meskipun sekadar minimal
3. Niat dan Tujuan yang Lurus
Nikah hendaknya diniatkan bukan hanya karena syahwat, tapi: Untuk menjaga kesucian diri. Untuk mengikuti sunnah Rasul. Untuk melahirkan keturunan saleh Jika niatnya murni karena Allah, maka hubungan suami istri pun menjadi ibadah.
4. Larangan Nikah yang Batil
Al-Ghazali menolak keras bentuk pernikahan yang tidak sah seperti: Nikah mut’ah, Nikah syighar (tukar menukar anak perempuan), Nikah tanpa wali (dalam pandangan Syafi’i), Nikah yang diniatkan cerai diam-diam (nikah tahlil atau tipu daya)
5. Sikap Saat Menikah
Hendaknya tidak tergesa-gesa hanya karena hawa nafsu
Dianjurkan istikharah sebelum melamar
Memilih pasangan karena agama dan akhlaknya, bukan semata fisik atau harta. Menjaga adab saat melamar dan bergaul.
Kesimpulan:
Pernikahan dalam Islam bukan sekadar kontrak sosial, melainkan perjanjian suci yang mencakup keabsahan hukum (fiqih) dan keluhuran akhlak (etika). Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menggarisbawahi pentingnya menjembatani kedua dimensi ini agar pernikahan bernilai ibadah dan berkah.
Keabsahan akad nikah meniscayakan terpenuhinya rukun dan syarat menurut syariat—seperti adanya wali, saksi adil, ijab qabul, dan mahar. Tanpa itu, nikah dianggap batal secara hukum.
Namun, kesempurnaan nikah tidak cukup dengan sah-nya akad. Ia harus disertai dengan adab dan niat yang lurus, seperti menikah karena Allah, menjaga kesucian, dan membentuk keluarga sakinah. Rasulullah menganjurkan memilih pasangan karena agama, bukan hanya rupa atau harta.
Konsep “mitsaqan ghalizha”—perjanjian yang kokoh—dalam QS. An-Nisa’:21 menggambarkan bahwa nikah adalah ikatan ruhani yang berat, agung, dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Tafsir klasik menekankan aspek ibadah dan hak syar’i, tafsir modern menyoroti keadilan dan martabat perempuan, sedangkan ilmu kesehatan menunjukkan dampaknya pada emosi dan generasi.
Dengan demikian, pernikahan yang hanya sah secara hukum tanpa etika adalah kering dan rapuh. Sementara pernikahan yang luhur akhlaknya tapi tidak sah secara syariat, kehilangan legitimasi. Keduanya harus berjalan seiring, agar pernikahan menjadi sah secara syariat, kuat secara moral, dan membuahkan berkah dunia akhirat.ds.13052025.
*Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin Siteba, 13 Mei 2025