![]() |
الحُبُّ الْمَصْرُوعُ وَالْقَدَرُ الْقَادِمُ
(Sebuah kisah nyata tentang cinta, sakit jiwa dan kematian di bawah kolong langit taqdir)
Zulkifli Zakaria
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Hingga hari ketujuh ini, bayangan tentang Pak Fulan rahimahullaah--semoga Allah menyayanginya--masih kerap melintas dalam memoriku. Wajahnya, gerak-geriknya, dan pertemuan-pertemuan kecil yang pernah terjadi. Kadang aku melihatnya di depan rumah saat ia beraktivitas, kadang di warung ketupat sayur pagi-pagi, atau tengah berjalan bersama anak asuhnya, atau melaju dengan sepeda motor atau mobil bersama si anak itu.
Sudah sekitar enam tahun mereka tinggal di Pariaman. Sebelumnya, hidup mereka berputar di Pulau Jawa, di ibu kota Jakarta. Dan aku tidak tahu persis apakah profesinya ketika hidup di rantau. Pertama kali aku bertemu dengannya dan anak asuhnya adalah sekitar enam tahun lalu kala dia berusia sekitar 64 tahun, saat kami sama-sama sarapan di warung dekat rumah keluarga istrinya. Saat itulah ia memperkenalkan anak itu kepadaku, dan memintaku untuk meruqyahnya—katanya agar perasaan lebih tenang. Saat itu kondisi fisik si anak belum seperti ketika peristiwa itu terjadi; tubuhnya sudah gemuk, tetapi tidak sebesar dan seberat raksasa seperti yang kami saksikan kemudian. Sebagian orang bahkan mengira ia mengalami obesitas berat, karena tubuhnya yang tak lagi proporsional.
Qaddarallaahu wa maa syaa-a fa’ala.
Peristiwa yang menimpa Pak Fulan rahimahullaah menjadi viral di Facebook dan Instagram. Banyak rekaman tersebar dari berbagai ponsel warga, dari sudut-sudut berbeda, merekam detik-detik ketika ajal menjemputnya—tepat di depan orang banyak, setelah tertabrak dan tergilas mobil Innova miliknya sendiri yang dikemudikan oleh anak asuhnya yang disebut-sebut sedang kumat penyakit jiwanya.
Kejadian itu berlangsung pada Rabu sore, 17 Syawwal 1446 H/16 April 2025 M, sekitar pukul 18.00, jelang matahari tenggelam persis di depan RS Sadiki Padusunan Pariaman. Saat taqdir itu terjadi, aku sedang tidak berada di Pariaman, tapi tengah menunggu waktu Maghrib bersama seorang santri di Masjid Raya Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, kota Padang.
Kabar yang sampai kepada kami menyebutkan bahwa hari itu Pak Fulan rahimahullaah dan anak asuhnya pergi ke RS Sadikin Pariaman untuk kontrol ke dokter jiwa. Menurut banyak saksi mata, anak itulah yang mengemudi mobil. Gerak lajunya tak stabil, mencemaskan banyak orang. Tiba-tiba, sang bapak turun dari mobil, dan mobil makin ugal-ugalan. Seorang pengendara sepeda motor menjadi korban pertama—luka di kepala.
Dalam beberapa video, terlihat jelas mobil menanjak ke trotoar simpang depan rumah sakit. Pak Fulan rahimahullaah yang berdiri di depan rumah warga terlihat berlari mendekat ke arah mobil, tampak seperti ingin menghentikan. Tapi yang terjadi malah sebaliknya—mobil itu malah bergerak mengejarnya, menabrak langsung, menyeret tubuh Pak Fulan rahimahullaah hingga ke tanah kosong di seberang jalan rumah sakit. Mobil baru berhenti setelah masuk ke selokan. Orang-orang tak kuasa menghentikan. Beberapa lelaki lalu mengepung mobil, memerintahkan membuka pintu. Si anak keluar—bukan untuk menolong, tapi malah berusaha mengejar sang bapak lagi, seperti hendak memukul, padahal tubuh sang bapak sudah tak mampu bangkit. Barulah masyarakat mengendalikan keadaan, hingga aparat datang. Sang ayah wafat, dan anak itu dirujuk ke salah satu rumah sakit jiwa di Padang.
Tak disangka, ajal Pak Fulan rahimahullaah datang dari tangan anak angkat yang ia besarkan, bukan dari benihnya sendiri—dan di tempat yang justru ia tuju demi kesembuhan si anak.
Hari itu menjadi saksi bahwa tak semua cinta sanggup menyelamatkan, dan tak semua pengorbanan mendapat balasan di dunia.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
{مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (4)} [الأحزاب: 4]
"Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang benar dan Dia menunjukkan jalan yang benar." (QS. Al-Ahzab: 4)
Pak Fulan rahimahullaah mengambil anak itu dalam kasih sayang, walau tahu ada riwayat penyakit jiwa di garis keturunannya. Mengambil anak angkat, yatim, atau miskin, lalu diasuh dengan niat ikhlas, adalah amal besar.
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«وَأَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا»
"Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini." Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah, serta merenggangkan keduanya. (HR. Al-Bukhari no. 5304)
Namun, suratan taqdir menuliskan akhir yang mengejutkan dan pilu.
Dari Mathar bin ‘Ukamis radhiyallaahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا قَضَى اللَّهُ لِعَبْدٍ أَنْ يَمُوتَ بِأَرْضٍ جَعَلَ لَهُ إِلَيْهَا حَاجَةً.
“Apabila Allah telah menetapkan bagi seseorang bahwa dia akan mati di suatu permukaan bumi, maka Dia menciptakan hajatnya ke tempat tersebut.” (HR. At-Tirmidzi no. 2164)
Kematian Pak Fulan rahimahullaah terjadi dalam lintasan taqdir yang pelik: ia wafat bukan di negeri tempat ia membesarkan anak itu, melainkan di kampung halaman orang tuanya dan istrinya—tempat yang hanya dituju untuk berobat dan mencari ketenangan. Tapi justru di situlah akhir hayatnya tiba, lewat tangan seseorang yang ia jaga hampir tiga puluh tahun lamanya. Bahkan di depan rumah sakit tempat mengambil obat sang anak.
Ketika Orang Gila Berbuat Pidana
Ibnu Abdil Barr rahimahullaah (wafat th. 463 H) menulisdalam Kitab al-Istidzkar sebuah kita utama rujukan fikih dalam Madzhab Imam Malik rahimahullaah:
وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ أَنَّ مَا جَنَاهُ الْمَجْنُونُ فِي حَالِ جُنُونِهِ هَدَرٌ وَأَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي مَا يَجْنِي فَإِنْ كَانَ يَفِيقُ أَحْيَانًا وَيَغِيبُ أَحْيَانًا فَمَا جَنَاهُ فِي حَالِ إِفَاقَتِهِ (فَعَلَيْهِ) فِيهِ مَا عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الْبَالِغِينَ غَيْرِ الْمَجَانِينِ
وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ أَنَّ الْغُلَامَ وَالنَّائِمَ لَا يَسْقُطُ عنهما ما أتلفا مِنَ الْأَمْوَالِ وَإِنَّمَا يَسْقُطُ عَنْهُمُ الْإِثْمُ
وَأَمَّا الْأَمْوَالُ فَتُضْمَنُ بِالْخَطَأِ كَمَا تُضْمَنُ بِالْعَمْدِ
وَالْمَجْنُونُ عِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ مِثْلُهُمَا فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ الْحَدِيثَ وَإِنْ كَانَ عَامَّ الْمَخْرَجِ فَإِنَّهُ مَخْصُوصٌ بِمَا وَصَفْنَا
رَوَى مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ عَمْدَ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ خَطَأٌ قَالَهُ مَعْمَرٌ وَقَالَهُ قَتَادَةُ أَيْضًا
قَالَ مَعْمَرٌ وَقَالَ الزُّهْرِيُّ وَقَتَادَةُ إِنْ كَانَ الْمَجْنُونُ لَا يَعْقِلُ فَقَتَلَ إِنْسَانًا فَالدِّيَةُ عَلَى الْعَاقِلَةِ لِأَنَّ عَمْدَهُ خَطَأٌ وَإِنْ كَانَ يَعْقِلُ فَالْقَوَدُ
وَقَالَهُ الشَّعْبِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ
وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ حَدِيثِ حُسَيْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ ضَمْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ عَلِيٍّ وَالْإِسْنَادُ لَيْسَ بِقَوِيٍّ
وَذَكَرَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّهُ جَعَلَ جِنَايَةَ الْمَجْنُونِ عَلَى الْعَاقِلَةِ
قَالَ وَحَدَّثَنِي حَفْصٌ عَنْ أَشْعَثَ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ مَا أَصَابَ الْمَجْنُونُ فِي حَالِ جُنُونِهِ فَعَلَى عَاقِلَتِهِ وَمَا أَصَابَ فِي حَال إِفَاقَتِهِ أُقِيدَ مِنْهُ
“Para ulama telah sepakat bahwa apa yang dilakukan (kejahatan/jinayah) oleh orang gila dalam keadaan gilanya adalah sia-sia (tidak dikenai hukuman qishash), dan tidak ada qishash terhadapnya atas apa yang dia lakukan (dalam kondisi tersebut).
Namun, jika ia terkadang sadar dan terkadang tidak, maka apa yang ia lakukan saat ia dalam keadaan sadar, maka ia dikenai hukum seperti halnya orang lain dari kalangan orang dewasa yang tidak gila.
Dan para ulama juga sepakat bahwa anak kecil dan orang yang tidur, tidak gugur tanggung jawab ganti rugi atas harta yang mereka rusakkan, namun dosa tidak ditimpakan kepada mereka.
Adapun harta, maka wajib diganti meski dirusak karena kesalahan, sebagaimana jika dirusak dengan sengaja.
Dan orang gila menurut mayoritas ulama, hukumnya seperti anak kecil dan orang tidur (yakni tidak berdosa, tapi tetap bertanggung jawab secara materi), maka hal ini menunjukkan bahwa hadits yang zahirnya umum (semua orang yang membunuh harus dihukum) telah dikhususkan oleh penjelasan-penjelasan ini.
Ma‘mar meriwayatkan dari az-Zuhri, ia berkata: "Sunnah yang berlaku adalah bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil dan orang gila dianggap sebagai kesalahan (bukan pembunuhan sengaja)." Hal ini dikatakan oleh Ma‘mar, dan juga oleh Qatadah.
Ma‘mar juga berkata: az-Zuhri dan Qatadah berkata, "Jika orang gila tidak memiliki kesadaran lalu membunuh seseorang, maka diyat (tebusan jiwa) wajib ditanggung oleh ‘āqilah (keluarga besar yang bertanggung jawab secara sosial), karena pembunuhan yang dilakukan dianggap sebagai kesalahan. Tapi jika ia dalam keadaan sadar (berakal), maka dikenakan hukum qishash."
Pendapat ini juga dikatakan oleh asy-Sya‘bi, Ibrahim an-Nakha‘i, dan al-Hasan al-Bashri.
Diriwayatkan juga dari Ali bin Abi Thalib, dari hadits Husain bin Abdillah bin Dhamrah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali, namun sanadnya tidak kuat.
Abu Bakar berkata: Telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Mahdi, dari Hammad bin Salamah, dari Yahya bin Sa‘id, dari Umar bin Abdul Aziz, bahwa beliau menetapkan bahwa jinayah (kejahatan) orang gila menjadi tanggungan ‘āqilah-nya (keluarga laki-laki pihak ayah yang bertanggung jawab secara hukum).
Ia (Abu Bakar) juga berkata: Telah menceritakan kepadaku Hafsh, dari Asy‘ats, dari asy-Sya‘bi, ia berkata "Apa yang dilakukan oleh orang gila dalam keadaan gilanya, maka tanggung jawabnya atas ‘āqilah-nya. Sedangkan apa yang ia lakukan dalam keadaan sadar, maka ia sendiri yang dikenai qishash." (Al-Istidzkar, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, th. 2010 M, 8/500)
Artinya, dalam kasus seperti ini, syariat Islam menegaskan bahwa orang yang benar-benar dalam kondisi terganggu jiwanya tidak diperlakukan sebagai mukallaf yang dapat dimintai tanggung jawab pidana. Namun tanggungan diyat bisa tetap dikenakan kepada ‘āqilah—yaitu keluarga besar atau kerabat dekat yang secara sosial dan tradisional memikul beban tersebut. Inilah prinsip keadilan dalam syariat: mengukur dengan timbangan nalar dan welas asih yang berpijak pada wahyu.
Dan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
"Ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu didatangi sehubungan dengan perkara (hukuman) terhadap seseorang yang dianggap seperti yang dialami oleh ‘Utsman (yakni dalam konteks seseorang yang tidak sadar/berakal), beliau berkata: 'Tidakkah engkau ingat bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ»
"Pena (catatan amal dan tanggung jawab hukum) diangkat dari tiga golongan: dari orang gila yang hilang akalnya hingga ia sadar kembali, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia bermimpi (baligh)."
Ibnu Abbas berkata: "Engkau benar." Maka Ali pun melepaskannya (tidak menjatuhkan hukuman padanya)." (HR. Abu Dawud no. 4401)
Kita bukanlah hakim untuk menjatuhkan vonis terhadap pelaku yang akalnya sedang ditutup, tapi kita adalah manusia yang diminta untuk membaca hikmah dari setiap takdir yang berat. Kita juga bukan hanya dituntut menangisi kematian yang tragis, tapi juga mengambil pelajaran dari cinta yang dibentangkan dengan tulus oleh seorang ayah angkat, walau berakhir dengan luka yang dalam. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji‘uun. Cinta memang bisa memberi, tapi tak selalu menyelamatkan. Yang menentukan segalanya tetaplah Sang Penulis Taqdir.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا. اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ.
"Ya Allah, ampunilah orang hidup kami dan orang mati kami, yang hadir dari kami dan yang tak hadir, yang kecil dari kami dan yang besar, yang laki-laki dan yang perempuan. Ya Allah, siapa pun yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah ia dalam iman. Dan siapa pun yang Engkau wafatkan dari kami, maka wafatkanlah ia dalam Islam."
Amiin, wahai Rabb Pemiliki dunia dan akhirat.
Pariaman, Selasa, 23 Syawwal 1446 H/ 22 April 2025 M
Tulisan ini bisa dibaca di http://mahadalmaarif.com