![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Topik tulisan di atas diangkat dari diskusi informal penulis dengan beberapa guru besar dan tokoh nasional asal Minangkabau (baca Sumatera Barat) di sela-sela acara Seminar Internasional Revitalisasi Pendidikan PERTI yang diselenggarakan Lembaga Penyelenggaraan Pendidikan Perti Nasional (LP3N) dengan Direkturnya Ustad Abdul Somad (UAS), Rabu, 23 April 2025 di Gedung Bank Kepri Syariah Pekanbaru.
Kritik JK dalam beberapa kali sambutan di Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang diketuainya ketika pelantikan PW DMI 2019 lalu dan diulanginya lagi bulan Februari 2025 bahwa tahun 1980 lalu di Jakarta dari 10 orang khatib Jum'at 7 orang di antara orang Minang. Setelah reformasi kini rasa terbalik, mengapa terbatas sekali, kalau dibilang tidak ada rasanya tidak elok. Namun Buya, Ustad dan Tuanku yang dikenal luas, viral, setidaknya 3 orang UAS, Adi Hidayat dan Das'ad Latief adalah di luar orang Minang.
Kritik dan keluhan di atas coba dijelaskan oleh banyak pihak. Penjelasan ini boleh saja bersifat pembelaan (apologi) dan tentu juga menjadi alternatif pemikiran dalam mencermati masalah.
MINANG MEMUDAR?
Narasi mengapa pengaruh orang Minang dalam dakwah dan gerakan kebangsaan di Indonesia - setidaknya pasca reformasi, atau abad 21 ini - cenderung memudar dapat dirangkum dalam beberapa dimensi kultural, historis, dan struktural berikut:
1. Pasca-M. Natsir, DDII Kehilangan Sentral Minang.
Setelah wafatnya M. Natsir, figur sentral dari Minangkabau dalam dakwah dan politik Islam, DDII dan jejaring dakwah kehilangan sosok pemersatu yang berwibawa. Regenerasi kepemimpinan Minang dalam DDII tidak sekuat sebelumnya. Pengaruh elite dakwah Minang menurun karena tidak adanya figur yang mampu menjembatani aspirasi umat dan negara secara visioner dan diplomatis seperti Natsir.
Realitasnya nyata sekali dalam gerakan dakwah, tabligh dan pembinaan umat di lini lapangan, khususnya Ibukota Jakarta, khatib dan mubaligh orang Minang turun jumlah, mutu dan aktivitas kegiatannya.
2. Mubaligh Minang Lebih Menunggu. Daripada Mengejar
Banyak da'i dan cendekia Minang dikenal kuat secara intelektual dan spiritual, namun lemah dalam membangun jaringan dan tampil agresif dalam kancah nasional.
Kecenderungan untuk "menunggu panggilan" alih-alih "menjemput peluang" membuat kehadiran mereka tertutup oleh kelompok lain yang lebih ekspansif. Ini berbanding terbalik dengan semangat merantau Minang dahulu yang progresif dan pionir.
3. Trauma Sejarah.
Sejarah kelam pemberontakan PRRI dan politik pasca-kemerdekaan menciptakan stigma terselubung terhadap tokoh-tokoh Minang, terutama yang berhaluan Islam politik. Hal ini menyebabkan resistensi kultural dan politik terhadap kebangkitan tokoh-tokoh Minang di level nasional. Banyak yang mengalami "blokade sosial-politik" yang tidak kasat mata, sehingga sulit viral atau mendapat tempat di panggung kebangsaan.
4. Resistensi Kolusi dan Tidak Saling Membesarkan.
Ada kecenderungan individualistik atau bahkan rivalitas antar tokoh dan lembaga Minang sendiri. Alih-alih membentuk kolaborasi dan jejaring kekuatan seperti etnis atau ormas lain, tokoh Minang kadang saling menegasikan atau tidak aktif mendukung satu sama lain. Akibatnya, mereka lemah dalam politik representasi dan advokasi.
Jadi dapat dinyatakan pudarnya pengaruh Minang dalam dakwah dan kebangsaan bukan karena hilangnya kualitas, melainkan karena kemandekan regenerasi, trauma historis, pola dakwah pasif, dan lemahnya solidaritas internal. Untuk bangkit kembali, perlu strategi kebudayaan baru, sinergi antar-tokoh dan lembaga, serta keberanian tampil di panggung nasional dengan narasi Islam yang inklusif dan khas Minangkabau.
SOLUSI DAN STRATEGI
Solusi dan strategi kebangkitan Minang dalam dakwah dan gerakan kebangsaan era digital. Ini bisa dibingkai dalam tiga pendekatan utama:
1. Rekonstruksi Identitas Dakwah Minang.
Islam Beradat, Berilmu, dan Berjiwa Bangsa: Narasi bahwa Minangkabau bukan hanya daerah adat, tapi basis ulama pejuang yang membela NKRI.
Dakwah Minang harus membawa semangat nasionalisme tauhidiyah, warisan Syekh Burhanuddin hingga Natsir.
Branding Ulang Figur Lokal: Mengangkat kembali tokoh-tokoh seperti Inyiak Canduang, Buya Hamka, dan tokoh di nasional dalam narasi digital: film, podcast, infografik, dan kurikulum lokal.
2. Digitalisasi Dakwah dan Kolaborasi Kultural.
Media berbasis lokal namun dikemas nasional dan global. Bisa berbentuk channel YouTube, TV streaming, hingga media sosial dakwah adalah kebutuhan yang segera mesti dilakukan secara terintgerasi dan lebih sungguh- sungguh.
Platform Talenta Umat: Menghubungkan mubaligh, dosen, kreator konten, dan santri alumni Minang dalam satu jaringan digital. Festival Dakwah Minangkabau: Ajang nasional menampilkan orasi keislaman, seni dakwah tradisional (salawat dulang, mamangan), hingga kompetisi dakwah digital.
3. Transformasi Strategi dan Mentalitas.
Dari Pasif ke Progresif: Bangun budaya menjemput peran, bukan menunggu. Program pelatihan kepemimpinan dakwah dan kebangsaan berbasis pesantren dan kampus.
Dari Individu ke Konektivitas: Tokoh dan lembaga Minang harus saling endorse, bukan saling ‘mematikan’. Bangun platform mutual support antar pesantren, kampus Islam, dan organisasi masyarakat Minang.
Dari Lokal ke Global: Kirimkan kader-kader dakwah Minang ke dunia internasional – sebagai da'i diaspora, dosen visiting, atau NGO Islam global. Buat narasi bahwa Minang adalah jembatan peradaban Islam Asia-Afrika.
Konklusi:
Tulisan ini adalah panggilan nurani, sekaligus refleksi kolektif atas meredupnya kiprah dakwah dan kontribusi kebangsaan orang Minang di panggung nasional. Bukan karena kekurangan kualitas, tapi karena stagnasi regenerasi, trauma sejarah, budaya pasif, dan lemahnya solidaritas internal. Namun, optimisme tetap menyala. Dengan strategi kultural yang segar, digitalisasi dakwah yang cerdas, dan kolaborasi lintas generasi serta lembaga, Minangkabau bisa kembali menjadi poros penting dalam membangun Islam berperadaban dan Indonesia yang berkeadaban. Semangat adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah mesti ditransformasikan menjadi gerakan dakwah progresif yang inklusif, kreatif, dan terhubung secara nasional maupun global. Kini saatnya Minangkabau bangkit kembali — bukan sekadar mengenang kejayaan, tapi mewarisi, mengembangkan, dan menyalakan kembali api perjuangan itu dengan wajah zaman yang baru. DS. 23042025.
*Wakil Ketua Umum PP Perti dan Guru Besar UIN Imam Bonjol