![]() |
اِلْتِقَاءُ الأَرْوَاحِ فِي بَيْتِ اللَّهِ
Bismillahirrahmanirrahim
Allah subhanahu wata‘ala berfirman:
وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍۢ وَٰحِدَةٍۢ فَمُسْتَقَرٌّۭ وَمُسْتَوْدَعٌۭ ۗ قَدْ فَصَّلْنَا ٱلْءَايَـٰتِ لِقَوْمٍۢ يَفْقَهُونَ
"Dan Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu, lalu bagimu ada tempat menetap dan tempat penyimpanan. Sungguh, Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) bagi kaum yang memahami." (QS. Al-An‘am: 98)
Siang tadi, perjalanan dari hotel ke Masjidil Haram terasa cukup panas. Aku tiba di masjid sekitar 90 menit sebelum masuk waktu Zuhur. Aku menentramkan qalbu dari panas terik ini dengan melakukan thawaf di ad-Daur ats-Tsani hingga tiba waktu Zuhur, masuk dari pintu Ajyad. Sementara beberapa jemaah travel kami yang berjalan kaki bersamaku masuk dari pintu yang berbeda-beda.
Setelah bersiap, aku berdiri di garis sejajar dengan Hajar Aswad, mengangkat tangan dan berisyarat kepadanya dengan melambai ke arah lampu hijau di sudut Ka‘bah, menandai permulaan thawaf. Perlahan, aku melangkah mengikuti arus jemaah yang bertawaf, meresapi keagungan tempat ini.
Tanpa membuka sandal, aku terus mengikuti arus hamba-hamba Allah yang bertawaf. Ada lelaki yang memakai pakaian ihram, ada juga yang berpakaian biasa. Ada yang didorong dengan kursi roda dan ada pula yang menaiki mobil golf di jalur khusus di atas Daur Tsani. Bahkan, ada yang buta bertongkat, mengetukkan ujung tongkatnya ke lantai sebagai isyarat agar diberi jalan.
Kulihat beberapa lelaki naik kereta lantai buatan sendiri karena kakinya puntung atau lumpuh. Ada pula seorang lelaki tua berjenggot yang bertawaf dengan sangat lambat, berjalan agak membungkuk. Matanya sipit seperti etnis Uzbekistan, tetapi dari raut mukanya terpancar cahaya iman dan kesabaran.
Udara dalam masjid terasa sejuk, kontras dengan terik di luar. Lantainya yang dingin memberikan kesejukan bagi mereka yang bertelanjang kaki. Di antara gema lantunan ayat suci yang dibaca para jemaah, terdengar suara langkah kaki yang bergema di pelataran, berpadu dengan suara detak hati yang dipenuhi keharuan.
Di antara putaran thawaf, pandanganku bertemu dengan seorang lelaki tua yang duduk di kursi roda, membaca Al-Qur’an. Kami saling mengenal. Aku mendekatinya, merangkulnya, dan menepuk punggungnya dengan hangat.
"Pak Haji dengan Ibuk?" tanyaku.
"Ya, Ibuk di belakang sana," jawabnya.
"Saya di sini sejak 8 Ramadhan hingga nanti 8 Syawwal," lanjutnya.
Pak Haji Fulan adalah seorang tokoh masyarakat yang dikenal di salah satu pasar di Bukittinggi. Ramadhan ini, ia berkumpul dengan beberapa anggota keluarganya di Tanah Suci. Kakaknya dan istri yang tinggal di Amerika telah tiba lebih dulu di Makkah. Sementara anak, menantu, dan cucu-cucunya sedang mengurus persyaratan umrah akhir Ramadhan.
"Mohon doa, Ustadz, semoga Allah memudahkan urusan mereka," pintanya.
"Insya Allah, Pak Haji," jawabku.
Percakapan kami terasa begitu akrab, bagaikan anak bertemu bapak atau adik berjumpa kakak. "Hotel saya dekat, sebelah sana sedikit dari Hotel La Meridian. Bergantian anak-anak santri mendorong saya ke Masjidil Haram. Sepekan tujuh orang," katanya dengan wajah penuh syukur.
Tiba-tiba ia berdiri dari kursi rodanya dan menyerahkan Al-Qur’an yang di tangannya kepadaku. "Ustadz pegang. Ini tanda tempat duduk saya, tonggak nomor 28," ujarnya sambil menunjukkan penanda pusat informasi Masjidil Haram: "Ask me" atau is‘al nii nomor 28. Artinya dia diantarkan dan dijemput di tempat. Dan memang tempat ini dekat ke arah hotel yang beliau tempati dan juga dekat ke WC 3 dan WC 2.
Aku melanjutkan thawaf, mengingat takdir-takdir Allah yang telah kujalani. Beberapa bulan lalu, ketika kami akan meninggalkan Makkah, Pak Haji Fulan berkata, "Insya Allah kita bertemu lagi dalam umrah Ramadhan besok, Ustadz."
Setahuku, nama beliau tidak ada dalam daftar nama jemaah travel Ramadhan 1446 H ini yang sekitar 300 orang. Namun, Allah subhanahu wata‘ala mempertemukan kami sesuai dengan ucapannya. Dia dan keluarganya ke tanah suci dengan travel berbeda.
Pertemuan ini mengajarkan bahwa rencana manusia hanya sebatas harapan, sedangkan ketetapan Allah adalah kenyataan yang harus dijalani. Aku tidak menyangka, di tengah jutaan jemaah yang memadati Baitullah, Allah subhanahu wata‘ala mempertemukan kami dalam lingkaran thawaf yang sama, di rumah-Nya yang agung.
Subhanallah, Mahasuci Allah yang takdir-Nya baru kita ketahui setelah terjadi. Hatiku mencintainya karena ia seorang yang baik. Namun, hanya Allah subhanahu wata‘ala yang Maha Mengetahui rahasia qalbu.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
النَّاسُ مَعادِنُ كَمَعادِنِ الفِضَّةِ والذَّهَبِ، خِيارُهُمْ في الجاهِلِيَّةِ خِيارُهُمْ في الإسْلامِ إذا فَقُهُوا، والأرْواحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ، فَما تَعارَفَ مِنْها ائْتَلَفَ، وما تَناكَرَ مِنْها اخْتَلَفَ.
"Manusia itu seperti barang tambang, seperti tambang perak dan emas. Orang-orang terbaik di masa jahiliyah adalah yang terbaik pula di masa Islam jika mereka memahami agama. Dan ruh-ruh itu ibarat tentara yang dikerahkan; ruh yang saling mengenal akan bersatu, sedangkan yang tidak mengenal akan berselisih." (HR. Muslim, no. 2638)
Barangkali, ruh kami telah saling mengenal sebelum dunia ini diciptakan. Mungkin inilah sebabnya mengapa aku merasa dekat dengannya, seakan telah lama bersahabat. Di Baitullah, bukan hanya fisik yang bertemu, tetapi juga ruh yang dipersatukan oleh keimanan.
Di Tanah Suci, aku belajar bahwa perjumpaan bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian dari mozaik kehidupan yang disusun oleh tangan takdir. Setiap pertemuan membawa pesan, setiap kebersamaan adalah bagian dari perjalanan menuju-Nya.
اللَّهُمَّ اجْمَعْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ، وَاجْمَعْ أَرْوَاحَنَا عَلَى مَحَبَّتِكَ، وَارْزُقْنَا صُحْبَةَ الصَّالِحِينَ وَأَكْرِمْنَا بِلُقَاءِ الْمُؤْمِنِينَ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ.
"Ya Allah, satukanlah hati kami dalam ketaatan kepada-Mu, himpunlah ruh-ruh kami dalam kecintaan kepada-Mu, anugerahkan kami persahabatan dengan orang-orang saleh, dan muliakan kami dengan perjumpaan bersama orang-orang beriman di surga-Mu yang penuh kenikmatan."
Amin, wahai Rabb Pemilik Ka'bah dan Pemilik Jannah.
Masjidil Haram, Makkah, Sabtu, 15 Ramadhan 1446 H / 15 Maret 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di http://mahadalmaarif.com