![]() |
إِدْرَاكُ ٱلْحِكْمَةِ بَيْنَ حَرِّ مَكَّةَ وَبَرْدِهَا
Bismillahirrahmanirrahim
Malam Sabtu, 22 Ramadhan 1446 kemaren, setelah menikmati paket ifthar shaim dan menunaikan shalat Maghrib di Masjid al-Haram, aku kembali ke posko kami di lantai sembilan sebuah hotel di Jalan Hijrah. Aku menyantap nasi bungkus yang kumasak sendiri pagi tadi, ditemani sepotong kecil rendang. Bagiku, beras dari Darek Agam jauh lebih nikmat dibandingkan beras yang dijual di Makkah. Setelah berbincang sejenak mengenai problematika jamaah umrah Ramadhan, aku pun mandi agar lebih nyaman dalam melaksanakan shalat Isya dan tarawih di Masjid al-Haram.
Namun, takdir Allah subhanahu wata'ala menuntunku pada pelajaran besar malam itu. Jalan ke Masjid al-Haram telah diblokade karena adzan Isya telah dikumandangkan. Aku dan banyak jamaah lain yang datang, diarahkan ke mushalla idhafi (tempat shalat cadangan). Berupa tenda besar yang disediakan sebagai tempat shalat tambahan. Di belakang itu juga ada tanah lapang tanpa tenda, hanya beralas karpet. Aku memilih tempat tanda tenda. Seingatku, dahulu kawasan ini adalah bukit-bukit batu yang sekarang telah diratakan.
Suara Syaikh Yassir ad-Dausari hafizhahullaah menggema, membaca ayat-ayat akhir dari Surah Al-Furqan:
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا ٦٥ إِنَّهَا سَآءَتْ مُسْتَقَرًّۭا وَمُقَامًۭا ٦٦
"Dan orang-orang yang berkata, 'Wahai Rabb kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.'" (QS. Al-Furqan: 65-66)
Setelah shalat, aku merenungkan ayat ini. Teringat kembali ujian panas yang kurasakan ketika akan shalat Jumat siang tadi. Ketika menuju Masjid al-Haram untuk shalat Jumat, taksi yang kutumpangi hanya bisa mengantarku sampai Terminal Bis Jarwal karena jalan telah ditutup. Aku pun berjalan kaki bersama ribuan jamaah lainnya, di bawah terik matahari yang menyengat, menembus pakaian, membakar kulit.
Ternyata, jalan dari terminal ke bangunan Masjid pun telah tidak boleh dilewati. Maka jemaah membuat shaf sepanjang lokasi terminal hingga batas yang diblokade.
Aku hanya bisa mendengarkan khutbah dan mengikuti shalat berjamaah dengan imam Masjid al-Haram di atas aspal beratap langit. Terasa kulit pedih dan panas. Rasa haus meningingkat. Waktu zhuhur masih sekitar 40 menit lagi.
Dalam kepayahan, aku mengadu, "Wahai Allah, Engkau uji hamba dengan panas ini. Engkau mengetahui bahwa hamba sangat lemah. Berilah hamba kekuatan dan kesehatan. Bebaskanlah tubuh lemah hamba ini dari sentuhan Api neraka di akhirat!"
Aku ditakdirkan untuk mengikuti shalat Jumat siang ini di bawah terik. Ini bukan salah polisi yang memblokir, jika bukan karena ulah sopir taksi, tapi hanyalah karena taqdir yang telah dituliskan bahwa aku akan mengalaminya, sejak rohku ditiupkan ke dalam jasadku saat usia 120 hari dalam kandungan rahim Amak.
Aku teringat sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang disampaikan oleh Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
"Sesungguhnya besarnya balasan sesuai dengan besarnya ujian. Dan jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa ridha, maka ia mendapatkan keridhaan (Allah), dan barang siapa murka, maka ia mendapatkan kemurkaan (Allah)." (HR. At-Tirmidzi, no. 2396)
Siang Jumat, aku merasa ujian panas begitu berat.
Dan, setelah terbenam matahari, ujian berbeda. Suhu dingin menusuk, menembus kain sarung yang kukenakan sebagai selimut, menerobos jaket dan kaos kaki. Langit terbuka menjadi atap shalat ku, dan angin malam bertiup tajam. Aku berusaha bertahan, merenungkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
اشْتَكَتِ النَّارُ إِلَى رَبِّهَا فَقَالَتْ يَا رَبِّ أَكَلَ بَعْضِي بَعْضًا، فَأَذِنَ لَهَا بِنَفَسَيْنِ نَفَسٍ فِي الشِّتَاءِ وَنَفَسٍ فِي الصَّيْفِ، فَهُوَ أَشَدُّ مَا تَجِدُونَ مِنَ الْحَرِّ وَأَشَدُّ مَا تَجِدُونَ مِنَ الزَّمْهَرِيرِ
"Neraka mengadu kepada Rabbnya, ia berkata: 'Wahai Rabbku, sebagianku memakan sebagian yang lain.' Maka Allah mengizinkannya untuk mengeluarkan dua nafas: satu pada musim dingin dan satu pada musim panas. Itulah panas yang paling dahsyat yang kalian rasakan, dan dingin yang paling menusuk yang kalian alami." (HR. Muslim, no. 617)
Di siang hari aku diuji dengan panas yang menyengat. Malamnya aku diuji dengan dingin yang menggigilkan.
Kedua-duanya mengingatkanku pada kedahsyatan siksa neraka yang jauh lebih berat.
Setelah tarawih selesai sekitar pukul 10 malam, shalat tahajjud akan dilanjutkan pada pukul 00:30.
Aku istirahat menunggu lewat tengah malam bersama jemaah yang bertahan. Aku rebahkan lambung kananku di atas karpet panjang di situ. Aku jadikan sajadah sandarku sebagai bantal. Aku berkelumun dengan sarung.
Mataku tak bisa tidur walaupun badan ingin istirahat. Pikiranku merangkai kejadian-kejadian sejak pagi tadi. Teringat pula ketika masa melaksanakan ibadah haji dahulu. Sesekali kubuka mata, melirik jarum jam besar.
Suara-suara jemaah telah mulai hilang. Artinya tempat telah ditinggalkan orang-orang. Seorang petugas membangunkanku, "Qum, ya hajj!" (Bangun, haji!). Namun seorang lainnya berkata, "Khallih!" (Biarkan dia!). Aku dibiarkan beristirahat.
Ini menambah pikiranku lagi, bahwa kemungkinan semua petugas yang dipekerjakan di Masjid al-Haram, adalah telah diberi pengertian apa saja hak manusia yang datang menjadi tamu Allah.
Bahwa aku punya hak untuk i'tikaf.
Cuma terkadang, skala prioritas membuat mereka mengambil sikap kasar dan melarang.
Ketika aku bangun, aku telah menemukan sebungkus kurma di samping tasku. Entah siapa yang meletakkannya, tapi aku teringat sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang disampaikan Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu:
نِعْمَ سَحُورُ ٱلْمُؤْمِنِ ٱلتَّمْرُ
"Sebaik-baiknya sahur orang mukmin adalah kurma." (HR. Abu Dawud, no. 2345)
Aku pun memakan kurma itu dengan syukur. Aku sadar, setiap ujian yang Allah berikan adalah tanda kasih sayang-Nya. Panas dan dingin ini bukan sekadar cobaan fisik, tetapi pelajaran spiritual.
Aku teringat bagaimana para sahabat juga mengalami ujian serupa. Saat perang Tabuk, mereka menghadapi panas yang begitu dahsyat hingga sebagian hampir tak sanggup berjalan.
Allah subhanahu wata'ala berfirman:
فَرِحَ ٱلْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَٰفَ رَسُولِ ٱللَّهِ وَكَرِهُوٓا۟ أَن يُجَٰهِدُوا۟ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَقَالُوا۟ لَا تَنفِرُوا۟ فِى ٱلْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّۭا ۚ لَّوْ كَانُوا۟ يَفْقَهُونَ
"Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang), merasa gembira dengan duduk-duduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini." Katakanlah (Muhammad), "Api neraka Jahanam lebih panas," jika mereka mengetahui. (QS. At-Taubah:81)
Sebaliknya, dalam perang Khandak, mereka menghadapi dingin yang menusuk hingga tubuh mereka menggigil. Namun, di tengah ujian itu, mereka tetap teguh, karena mereka tahu bahwa dunia hanyalah perjalanan menuju akhirat.
Al-Baihaqi meriwayatkan dalam Dalā'il an-Nubuwwah dari hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu:
"Orang-orang beranjak meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam Perang Ahzab, kecuali dua belas orang laki-laki. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangiku dan bersabda, ‘Bangunlah, pergilah ke perkemahan musuh!’
Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bangun untukmu kecuali karena malu terhadap dingin yang sangat…’"
Dalam riwayat tersebut juga disebutkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا وَجُنُودًا لَّمْ تَرَوْهَا ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا﴾
[ سورة الأحزاب: 9]
"Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika datang kepada kalian bala tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin dan bala tentara yang tidak kalian lihat. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan."
(QS. Al-Ahzab: 9).
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri, "Sudahkah aku bersabar sebagaimana mereka? Sudahkah aku menjadikan ujian ini sebagai ladang amal?"
Aku semestinya memperbanyak doa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَبَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَاللَّذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu, kehidupan yang sejuk setelah kematian, kelezatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan bertemu dengan-Mu."
Semoga Allah menjadikan setiap panas dan dingin yang kita rasakan sebagai jalan menuju rahmat dan ampunan-Nya.
Amin, wahai Rabb Pemilik Makkah.
Masjid al-Haram, Makkah
Sabtu, 22 Ramadhan 1446 H / 22 Maret 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di
http://mahadalmaarif.com