![]() |
نَيْلُ ثَوَابِ الْعُمْرَةِ فِي رَمَضَانَ: فَضْلُهَا وَتَحَدِّيَاتُهَا
Bismillaahirrahmaanirrahiim
"Sahur, Ustadz!" seorang anggota kamar membangunkanku. Kulirik Casio hitam di pergelangan tangan, ternyata sudah pukul setengah lima.
Aku segera bangkit. Di sudut kamar, Miyako 0,6 liter masih tercolok di lantai, menyisakan nasi hangat yang kupanaskan sebelum tidur. Dapur kecilku memang hanya sebatas itu—tanpa kompor, tanpa meja, hanya alat-alat makan yang tertata di sudut kamar.
Kuambil beberapa potong kecil rendang telur buatan Pariaman yang kubawa dari kampung, kutaruh di atas nasi yang telah kuletakkan di piring plastik putih yang semalam kubeli di toko kelontong seharga 10 riyal untuk satu pak berisi 50 lembar. Semula aku mencari piring biasa, tapi tak ada.
Selesai makan, aku pun mandi. Setelahnya, aku menanak nasi baru dalam Miyako kecilku untuk dua kali makan berikutnya: berbuka puasa nanti dan sahur esok hari. Dua orang bapak yang sekamar denganku memilih makan sahur bersama keluarga mereka di depan kamar istri masing-masing. Mereka datang umrah bersama keluarga.
Selesai mandi, kuambil pakaian yang kucuci tadi malam. Rupanya sudah kering, meski hanya kusangkutkan pada hanger plastik di kamar mandi. Aku lipat rapi dan kususun di bawah bantal di atas kasur.
Tak lama, nasi pun matang. Kuambil sebagian untuk berbuka nanti, kubungkus dengan kertas pembungkus nasi bersama beberapa potong rendang telur. Kulipat rapi, kubungkus lagi dengan plastik bekas tempat perbukaan yang dibagikan gratis di Masjidil Haram, lalu kusimpan di salah satu bagian dalam tas sandang agar tak tampak seperti membawa makanan. Sisa nasi dalam Miyako kusimpan untuk sahur berikutnya.
Umrah di luar Ramadhan, aku tak seperti ini. Tiga kali makan sehari semalam adalah di hotel tempat menginap, tanpa perlu membawa Miyako atau merek penanak nasi lainnya.
Alat-alat makan segera kucuci di wastafel kecil dalam kamar, dekat pintu kamar mandi. Setelah itu, kurapikan tempat tidur, dua koper, dan seisi kamar yang masih berantakan.
Terdengar azan Subuh dari masjid dekat hotel. Bukan azan dari Masjidil Haram, karena lokasiku cukup jauh dari sana, meski masih dalam kawasan Tanah Haram. Kami yang belum sempat menuju Masjidil Haram sebelum Subuh pun melaksanakan shalat di masjid terdekat ini.
Keutamaan Ibadah di Tanah Haram
Keutamaan pahala shalat di Masjidil Haram telah ditegaskan dalam hadis dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ ، وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ
"Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram. Dan shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada seratus ribu shalat di masjid lain." (HR. Ibnu Majah no. 1406)
Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud Masjidil Haram dalam hadis ini. Sebagian ulama, seperti An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Haitami, dan Ibnu Utsaimin, berpendapat bahwa keutamaan ini berlaku khusus di Masjid Ka'bah. Sedangkan mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, serta Ibnu Qayyim, berpendapat bahwa keutamaan ini mencakup seluruh Tanah Haram, termasuk masjid-masjid yang berada dalam batas-batasnya.
Umrah: Ibadah Istimewa Sepanjang Tahun
Ibadah umrah adalah salah satu bentuk kehormatan, karena seorang yang berumrah adalah tamu Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وَفْدُ اللَّهِ ثَلَاثَةٌ: الغَازِي، وَالحَاجُّ، وَالمُعْتَمِرُ
"Tamu Allah ada tiga: orang yang berjihad, orang yang berhaji, dan orang yang berumrah." (HR. An-Nasa'i dan Ibnu Khuzaymah)
Namun, umrah di bulan Ramadhan memiliki keistimewaan tersendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ummu Sinan al-Anshariyah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِامْرَأَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، يُقَالُ لَهَا: أُمُّ سِنَانٍ: مَا مَنَعَكِ أَنْ تَكُونِي حَجَجْتِ مَعَنَا؟ قَالَتْ: نَاضِحَانِ كَانَا لِأَبِيهَا فُلَانٍ، حَجَّ عَلَى أَحَدِهِمَا، وَكَانَ الْآخَرُ يَسْقِي عَلَيْهِ غُلَامُهُ، قَالَ: فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِي
"Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada seorang wanita dari Anshar yang bernama Ummu Sinan: 'Apa yang menghalangimu untuk berhaji bersama kami?' Wanita itu menjawab: 'Ayah si fulan memiliki dua unta, yang satu digunakan untuk berhaji dan yang satu lagi dipakai untuk mengairi kebun oleh budaknya.' Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 'Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan menyamai (pahala) haji bersamaku.'" (HR. Al-Bukhari, no. 1863)
Aku masih ingat tulisan di pintu kamar pemondokan haji di Makkah lebih dari 20 tahun silam. Beberapa catatan tentang keramaian Ramadhan dan musim haji di Makkah. Ada Musim Ramadhan dan Musim Haji.
Kabar yang sering kudengar, harga sewa hotel dan penginapan selama Ramadhan dan Haji jauh lebih tinggi dibandingkan hari-hari biasa.
Pagi tadi, aku menuju Masjidil Haram dengan berjalan kaki. Aku sengaja memilih berjalan kaki daripada menaiki bus hotel gratis. Pengalaman sebelumnya mengajarkanku bahwa menunggu bus hotel di terminal Syi'ib 'Amir (Ghazza, Makkah) sering kali lebih lama karena kemacetan dan antrean panjang.
Dalam perjalanan, aku melihat sebuah bangunan yang disewakan untuk musim Haji dan Ramadhan. Tulisan di bangunan itu mengingatkanku bahwa dua waktu ini memang menjadi puncak keramaian di Makkah. Tertarik melihat tulisan itu, aku pun mengabadikannya dengan kamera ponselku.
Bagi yang ingin menjalani umrah di bulan Ramadhan, ada baiknya mempersiapkan diri dengan baik. Pastikan tubuh cukup istirahat, sebab ritme ibadah yang padat bisa menguras tenaga lebih cepat. Bawa bekal ringan untuk berbuka, karena tak selalu mudah mendapatkan tempat duduk saat waktu Maghrib tiba. Dan yang tak kalah penting, niatkan semua perjalanan ini sebagai bentuk penghambaan, agar setiap lelah yang terasa berubah menjadi ibadah.
Semoga kita semua termasuk hamba yang merindukan Baitullah dan dijemput untuk menjadi tamu-Nya dengan hati yang bersih dan amal yang diterima.
Setiap perjalanan ke Tanah Haram punya cerita sendiri. Ramadhan atau di luar Ramadhan, yang terpenting adalah bagaimana hati ini hadir sepenuhnya dalam ibadah. Makkah bukan sekadar tempat, tapi perjalanan ruhani. Ada yang datang dengan raga, tapi ruhnya sibuk dengan dunia. Ada yang datang dengan ruh yang rindu, meski raganya belum mampu melangkah.
Semoga Allah memudahkan langkah-langkah kita menuju-Nya.
Doa Penutup
اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا زِيَارَةَ بَيْتِكَ الْحَرَامِ وَعِبَادَةً فِيهِ بِخُشُوعٍ وَقَبُولٍ، وَاجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الَّذِينَ يَسْتَمْتِعُونَ بِالطَّاعَةِ فِيهِ، وَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَتَقَبَّلْ أَعْمَالَنَا، إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kesempatan untuk mengunjungi Baitullah-Mu, beribadah di sana dengan khusyuk dan diterima, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang menikmati ketaatan di dalamnya.
Ampunilah dosa-dosa kami dan terimalah amal ibadah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Amiin.
Masjidil Haram, Makkah, Senin, 10 Ramadhan 1446 H / 10 Maret 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di: http://mahadalmaarif.com