![]() |
الزيارة والتفكير: من قبر العارف إلى مرقد النبي
Bismillahirrahmanirrahim
Sejak kecil, sebagaimana anak Piaman yang tinggal di Padang di perkampungan yang banyak warga Piaman, di antara tokoh yang telah sering aku dengar namanya ialah Ungku Saliah. Betapa sering aku dengar pembicaraan bapak-bapak yang nongkrong di warung kopi amakku (ibuku) tentang sosok keramat tersebut. Terlebih lagi, abakku (ayahku) memiliki dua benda berasal dari beliau: selembar kertas rokok dengan coretan tulisan tangan tinta biru dan selembar kertas doa meninggalkan rumah yang di dalamnya terdapat foto sang Ungku, dibingkai dengan bingkai kayu berkaca dan tergantung di dinding rumah.
Ungku Saliah adalah sosok yang dihormati oleh masyarakat sekitar, dikenang sebagai guru masyarakat dan amal salehnya. Banyak orang yang datang berziarah ke kuburannya dengan harapan doa mereka dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Dalam cerita-cerita yang sering kudengar, beliau dikenal sebagai orang yang memiliki karamah, meskipun saat itu aku belum memahami hakikat sebenarnya dari konsep ini dalam Islam.
Pada suatu ketika setelah tahun 1980-an, dalam usia remaja, aku pulang kampung ke Pariaman. Karena sedang merasa ada masalah—aku lupa masalah pastinya—timbul keinginan untuk pergi berdoa ke kuburan Ungku Saliah dengan harapan Allah subhanahu wata’ala mengangkat kesedihanku. Maka aku naik angkutan desa di Simpang Lapai Pariaman, jurusan Sicincin. Berdasarkan informasi yang kudapatkan sebelumnya, aku turun di sebuah simpang menuju lokasi kuburan beliau.
Saat itu belum ada ojek sepeda motor, aku berjalan kaki menyandang tas sekolah dan pakai sandal di antara hawa dingin pagi yang belum terlalu terang. Begitu memasuki simpang tersebut, aku berbaik sangka terhadap tempat dan orang-orang yang tinggal di sana. Aku berpikir: Ini tanah tempat berkuburnya orang keramat. Dahulu dia menginjak tanah ini dan sekarang jasadnya berada di perut tanah ini.
Setiap orang yang kujumpai di jalan dan yang tampak di rumahnya, kuanggap sebagai orang-orang beruntung karena tinggal di tempat orang keramat. Kuanggap mereka lebih baik daripada diriku yang tergolong bodoh dan banyak dosa.
Tibalah aku di sebuah bangunan seperti surau yang dikatakan orang sebagai Gobah (Makam) Ungku Saliah. Kujumpai seorang wanita berusia sekitar 60 tahun sebagai penjaga surau. Aku utarakan maksudku bahwa aku ingin berdoa di sana karena sedang ada masalah. Dia pun menunjukkan tata cara atau adab di sana serta bacaan yang diucapkan di sana yang kini aku sudah lupa. Aku disuruh berwudu di sebuah kulah (bak air) yang tersedia di sana. Kemudian dia membawaku ke kuburan yang terletak di dalam. Di atas kuburan tampak kain tirai tipis. Suasana masih segar pagi dan tak ada pengunjung lain. Aku dipersilakan shalat di sajadah yang telah tersedia di sana. Aku shalat dua rakaat, lalu berdoa kepada Allah agar dilepaskan dari masalah yang dihadapi.
Setelah itu, aku pamit dan keluar. Aku merasa telah berdoa kepada Allah di kuburan yang dimuliakan di sisi-Nya, sehingga Dia akan mengabulkan segala hajat.
Saat itu aku belum belajar ilmu agama secara khusus sebagaimana di pesantren. Aku belum tahu bahwa ada hadits shahih yang berisikan larangan duduk di atas kuburan dan larangan melakukan shalat menghadapnya.
Dari Abu Martsad al-Ghanawi radhiyallaahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
«لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ، وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا»
"Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan janganlah kalian shalat menghadapnya." (HR. Muslim no. 972-97)
Aku juga belum tahu bahwa dalam tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terdapat larangan membangun bangunan di atas kuburan. Hal ini berkaitan dengan pencegahan sikap berlebih-lebihan dalam mengagungkan orang saleh hingga bisa mengarah kepada kesyirikan.
Dari Abu Al-Hayyaj al-Asadi yang menuturkan, "’Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berkata kepadaku:
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ «أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ»
"Apakah aku tidak mengutusmu untuk melakukan apa yang diutuskan kepada aku oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam? Yaitu: 'Jangan biarkan patung kecuali engkau hancurkannya, dan jangan biarkan kuburan yang menonjol kecuali engkau ratakan.'" (HR. Muslim no. 969-93)
Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mengunjungi Gobah tersebut.
Mengunjungi Kuburan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam di Madinah
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى»
"Perjalanan (safar untuk ibadah di masjid tertentu) tidak boleh dilakukan kecuali menuju tiga masjid: Masjid al-Haram, Masjid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan Masjid al-Aqsa." (HR. Al-Bukhari no. 1189)
Setelah tahun 2000, aku berkali-kali mengunjungi Madinah dalam rangka ibadah haji atau umrah. Setiap kali berada di hadapan makam Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, aku merasakan kesan yang mendalam dan berbeda dari setiap kunjungan sebelumnya.
Ketika berada di depan tempat salam kepada Nabi dan dua sahabatnya, aku mendengar ucapan para askar: “Taharrak ya hajj, la tuwaqqif!” (Haji, bergeraklah! Jangan diam berdiri!). Namun, aku juga meyakini bahwa bacaan salamku didengar dan dijawab oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dari Aus bin Aus radhiyallaahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
«إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ فِيهِ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ»
"Sesungguhnya di antara hari-hari terbaik kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu, karena sesungguhnya shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku."
Aus melanjutkan bahwa mereka (para sahabat berkata), “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bisa doa shalawat kami didatangkan kepada engkau sementara engkau telah hancur?”
Beliau bersabda,
«إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِمْ»
“Sesungguhnya Allah Maha Suci lagi Maha Tinggi telah mengharamkan jasad para nabi ‘alaihis salam terhadap bumi.” (HR. Abu Dawud no. 1531)
Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa ilmu syar’i adalah cahaya yang membimbing seseorang dalam beribadah dengan benar. Aku kini memahami bahwa segala doa hanya boleh ditujukan kepada Allah subhanahu wata’ala, dan bahwa kecintaan kepada orang saleh harus tetap dalam batasan syariat.
{وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا (18)} [الجن: 18]
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (QS. Al-Jinn: 18)
Wallaahu a'lam
Pariaman, Senin, 25 Sya'ban 1446 H/24 Februari 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca: http://mahadalmaarif.com