![]() |
ميراث العلم أم بركة المقابر؟ تصحيح الفهم حول مكانة العلماء
Bismillahirrahmanirrahim
Belakangan, beredar sebuah tulisan di media sosial yang membandingkan "keberuntungan" pengikut mazhab berdasarkan lokasi peristirahatan terakhir imam mereka. Disebutkan bahwa pengikut mazhab Maliki kurang beruntung karena Imam Malik rahimahullah dimakamkan di Baqi', Madinah, sehingga pengikutnya tidak bisa mengkhatamkan kitab di dekat pusaranya sebagaimana pengikut mazhab lain.
Ini di antara isi yang ditekankan dalam tulisan tersebut:
"Dulu di Mesir, kami beberapa kali mengikuti pembacaan atau khataman kitab Hikam di area peristirahatan terakhir Ibnu Athailah al-Sakandari di Qarafah Kairo, atau khataman Burdah al-Bushiry di dekat tempat beliau dimakamkan di Alexandria. Ada sensasi tersendiri. Seolah-olah kita langsung berdialog dengan sahibul maqam. Kita menyampaikan pujian dan terima kasih kepada beliau, sembari mendoakan keberkahan dan mengalirnya jariyah atas ilmu yang beliau tuangkan dalam kitab-kitab beliau."
Sebagai perbandingan, Imam Syafi'i rahimahullah dimakamkan di Mesir, Imam Abu Hanifah rahimahullah di Baghdad, dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga di Baghdad—semua tempat yang memungkinkan banyak orang menziarahi pusara mereka dan mengadakan majelis ilmu di sekitarnya.
Tulisan ini menyiratkan bahwa pengikut mazhab Maliki kehilangan suatu keberkahan karena tidak memiliki kesempatan serupa. Tetapi, apakah benar keberkahan ilmu ditentukan oleh kedekatan fisik dengan pusara seorang alim? Ataukah justru ilmu yang diwariskan lebih utama daripada lokasi jasad mereka bersemayam?
📌 Keberkahan Ilmu Tidak Bergantung pada Pusara
Keberkahan ilmu tidak bergantung pada ziarah ke pusara seorang alim, tetapi pada pemahaman dan pengamalan ajarannya. Imam Malik rahimahullah sendiri menegaskan bahwa otoritas keilmuan seseorang tidak bersifat mutlak, kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
📌 Ilmu adalah Warisan, Bukan Pusara yang Disakralkan
Imam Malik rahimahullah sangat menjaga kemurnian tauhid dan keilmuan. Beliau mengatakan:
كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلَّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Setiap orang, perkataannya bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali pemilik kubur ini (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam)."
(As-Sakhawiy dalam Al-Maqashid Al-Hasanah, hal. 513).
Ucapan ini beliau sampaikan di hadapan pusara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menegaskan bahwa hanya Rasulullah yang wajib diikuti secara mutlak. Sedangkan ulama, termasuk Imam Malik sendiri, tetap manusia biasa yang bisa benar dan bisa keliru.
Maka, menjadikan pusara ulama sebagai bagian dari praktik keilmuan bukanlah ajaran Imam Malik. Justru yang lebih utama adalah meneladani sikap kritis dan ilmiah beliau dalam memahami agama.
📌 Keberkahan Ilmu Tidak Ditentukan oleh Pusara
Dalam akidah Ahlus Sunnah, keberkahan ilmu datang dari pemahaman dan pengamalannya, bukan dari tempat jasad seorang alim dimakamkan. Imam Malik juga berkata tentang sifat Allah:
الاستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة
"Al-istiwā` (bersemayam) itu diketahui maknanya, kaifiyyah (bagaimana caranya) tidak diketahui, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya 'bagaimana'-nya adalah bid‘ah."
(Al-Qadhi 'Iyadh dalam Tartib Al-Madarik, 2/39).
Prinsip ini menunjukkan bahwa dalam memahami agama, kita cukup mengikuti dalil yang jelas tanpa menambah hal-hal yang tidak memiliki dasar kuat.
📌 Mengikuti Mazhab dengan Ilmu, Bukan dengan Emosi
Mengikuti mazhab bukan sekadar menisbatkan diri secara formal kepada salah satu imam dan bersikap fanatik terhadapnya. Yang lebih penting adalah memahami metode ijtihad dan prinsip keilmuan yang mereka gunakan. Imam Malik tidak pernah mengajarkan pengikutnya untuk mengikuti pendapatnya tanpa dalil, apalagi menjadikan pusaranya sebagai sumber keberkahan.
Maka, pengikut mazhab Maliki tidak "kurang beruntung" hanya karena tidak bisa mengkhatamkan kitab di dekat pusara Imam Malik. Keutamaan seorang Muslim tidak diukur dari interaksi fisik dengan pusara ulama, tetapi dari pemahaman dan pengamalan ilmu mereka.
📌 Kesimpulan Akhir: Ilmu yang Diamalkan, Bukan Pusara yang Dikunjungi
Menilai "keberuntungan" pengikut mazhab berdasarkan lokasi peristirahatan terakhir imam mereka adalah kekeliruan dalam memahami hakikat ilmu dan keberkahannya. Keberuntungan sejati adalah ketika kita bisa mengambil ilmu dari para ulama, memahaminya dengan benar, dan mengamalkannya dengan ikhlas, di mana pun kita berada.
Mengikuti mazhab bukanlah sekadar tentang nama atau lokasi, tetapi tentang bagaimana seseorang memahami metode istinbath hukum yang diwariskan oleh imam mazhab tersebut. Keutamaan bukan pada bisa berziarah ke pusara seorang imam, tetapi pada sejauh mana kita bisa memahami dan mengamalkan ajaran mereka dalam kehidupan sehari-hari.
📍 Pariaman, Selasa, 12 Sya'ban 1446 H / 11 Februari 2025 M
✍ Zulkifli Zakaria
📖 Tulisan ini bisa dibaca di:
🌐 http://mahadalmaarif.com