![]() |
الرجوع إلى الأصيل
Bismillahirrahmanirrahim
Jum’at sore, 21 Februari 2025, aku bersama seorang teman pengurus pesantren mengantar lima santri baru ke Rumah Sakit Umum Pusat M. Djamil Padang. Salah seorang teman mereka dirawat karena ada indikasi gangguan ginjal. Setelah dilakukan pemeriksaan, barulah ia mengakui kebiasaannya sejak kecil: jarang minum air putih dan lebih sering membeli minuman kemasan yang beraneka rasa.
Aku termenung. Betapa banyak orang yang tanpa sadar merusak dirinya sendiri karena kebiasaan yang tampak sepele. Minuman kemasan yang terlihat segar ternyata menyimpan risiko besar. Begitu pula dengan makanan di sekitar kita—tampilan menggoda, rasa lezat, namun penuh zat tambahan yang berbahaya.
Antara Pisang Goreng dan Jajanan Instan
Selepas maghrib, kami menunaikan shalat isya di masjid rumah sakit. Saat membuka WhatsApp, aku melihat komentarku di sebuah grup telah dihapus oleh admin. Komentar itu tanggapanku terhadap sebuah video ceramah yang, menurutku, meremehkan syari’at dengan menganggap mereka yang mengamalkan syari’at tanpa memahami tasawuf sebagai keliru.
Aku menulis:
"Ceramah ini? Menurut saya, ini makanan yang tampaknya lezat, tetapi penuh MSG dan pewarna agar menarik konsumen. Orang yang mengerti bahaya zat aditif tidak akan membelinya. Dalam ceramah ini ada sikap merendahkan syari’at. Warga grup ini yang memahami Al-Qur’an dan sunnah tentu akan selektif."
Namun, tanpa penjelasan atau diskusi, komentarku dihapus, sementara video tetap ada.
Usai keluar dari masjid, seorang teman bertanya, “Kita makan pecel lele atau apa, Buya?”
Aku menjawab, “Nasi goreng saja nanti, setelah separuh perjalanan.”
Dalam perjalanan ke parkiran, aku melihat seorang ibu penjual pisang goreng. Aku membelinya untuk para santri sebagai pengganjal perut sebelum makan malam.
Saat membagikan pisang goreng di dalam mobil, aku berkata, “Pisang goreng ini lebih alami dibandingkan jajanan lain.”
Para santri mengangguk, mungkin belum sepenuhnya memahami makna di balik ucapanku. Aku teringat masa kecil—ibuku sering membuat pisang goreng di warung kopi kami. Prosesnya sederhana: pisang dikupas, dicelupkan dalam adonan tepung dengan sedikit garam dan kapur, lalu digoreng dalam minyak panas. Tidak ada pewarna, tidak ada bahan pengawet—hanya bahan alami yang sederhana tetapi sehat.
Pisang goreng ini mengingatkanku pada dakwah yang lurus. Dakwah yang asli, murni, dan tidak diberi tambahan pemanis agar tampak menarik. Dakwah yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah, sebagaimana dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini—sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Islam yang Asli: Al-Qur’an dan Sunnah dengan Pemahaman Salaf
Allah subhanahu wata'ala berfirman:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-An’am: 153)
Jalan yang lurus itu adalah Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dipahami oleh generasi terbaik umat ini. Imam Malik rahimahullah berkata:
لَا يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
"Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah menjadikan generasi awalnya baik."
Namun, di zaman ini, banyak orang lebih tertarik dengan "jajanan instan" dalam beragama. Mereka mencari ceramah yang menyenangkan hati, membangkitkan emosi, tetapi tanpa ilmu yang benar.
Kembali kepada yang Asli
Sama seperti makanan sehat yang jarang diminati pasar, dakwah yang murni dan lurus juga tidak selalu populer. Dakwah yang mengajarkan tauhid, fiqh yang shahih, dan akhlak yang lurus sering dianggap “kurang menarik” dibandingkan ceramah penuh retorika dan kisah emosional.
Sebagian orang lebih menyukai ceramah serupa minuman berkarbonasi—manis, menyegarkan, tetapi berbahaya jika dikonsumsi terus-menerus.
Sebaliknya, dakwah yang lurus seperti pisang goreng: sederhana, tidak selalu menggoda, tetapi sehat dan bergizi bagi jiwa.
Padahal, keselamatan di dunia dan akhirat bukanlah tentang mencari yang "enak didengar," tetapi yang benar dan bermanfaat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
"Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya." (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 1593)
Maka, sebagaimana kita memilih makanan alami dan sehat untuk tubuh, demikian pula dalam beragama—kita harus memilih ajaran yang murni dan asli: Islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah sesuai pemahaman salafus shalih.
Mari tinggalkan "jajanan instan" yang penuh bumbu penyedap tetapi tak bernutrisi. Mari kembali kepada yang asli—Islam yang murni, yang menyelamatkan dunia dan akhirat.
Dan mari mulai dari diri sendiri, memastikan ilmu yang kita serap dan ajarkan adalah yang murni, asli, dan menyehatkan jiwa.
Mari kita mulai dari hal-hal kecil dalam keseharian: memilih ilmu yang benar, mengamalkannya dengan istiqamah, dan menularkannya kepada keluarga dan masyarakat.
Sebagai seorang yang mengajar dan mendidik, aku pun harus selalu mengingatkan diri sendiri untuk kembali kepada ajaran yang asli, tanpa tergoda dengan hal-hal yang hanya menarik secara lahiriah tetapi miskin substansi.
"Wahai Allah, berilah kami pemahaman yang benar dalam beragama! Amin."
Pariaman, Sabtu, 23 Sya’ban 1446 H / 2 Februari 2025
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di:
http://mahadalmaarif.com