![]() |
🔹السَّيْرُ عَلَى الطَّرِيقِ الصَّحِيحِ فِي فَهْمِ صِفَاتِ اللَّهِ
---
Bismillahirrahmanirrahim
Pagi tadi, aku mengajarkan Tafsir Surat Al-Masad, atau nama lainnya Surat Al-Lahab, di salah satu kelas Pondok Pesantren kami.
📖
{تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1)} [المسد: 1]
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia sendiri juga pasti akan binasa." (QS. Al-Masad: 1)
Ibnu Katsir rahimahullah menulis:
Dikatakan oleh Al-Bukhari: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam, telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Amru bin Murrah, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma:
"Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam keluar menuju Batḥha’, kemudian Beliau mendaki gunung dan berseru: 'Ya Sabahah!'
Maka berkumpullah Quraisy di sekitarnya, lalu beliau berkata: 'Bagaimana jika aku memberitahukan kepada kalian bahwa musuh akan datang kepada kalian di pagi atau sore hari, apakah kalian akan mempercayaiku?'
Mereka menjawab: 'Ya, kami akan mempercayaimu.'
Beliau bersabda: 'Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian, sebelum datang azab yang pedih.'
Maka Abu Lahab berkata: 'Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami? Celaka kamu.'
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
📖
{تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ}
Dalam riwayat lain:
Kemudian dia (Abu Lahab) berdiri dan mengibas kedua tangannya sambil berkata:
"Celaka kamu sepanjang hari ini. Apakah kamu mengumpulkan kami untuk hal ini?"
Maka Allah menurunkan firman-Nya:
📖
{تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ}
Yang pertama adalah kutukan atasnya, dan yang kedua adalah berita tentangnya.
Abu Lahab ini adalah salah satu paman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, namanya adalah Abdul 'Uzza bin Abdul Muthalib, dan kunyahnya adalah Abu 'Utbah. Dia diberi julukan "Abu Lahab" karena wajahnya yang berseri-seri. Dia sangat menyakitkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, membenci beliau, merendahkan beliau, dan menjelek-jelekkan beliau serta agama beliau.
📚 (Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Al-Islamiyah, Kairo, th. 2017 M-1438 H, 7/293)
Abu Lahab kafir, dia menentang iman dan Islam.
Pikiranku kemudian melayang ke realitas di media sosial saat ini. Aku melihat sesama Muslim saling mencela dalam postingan dunia maya, sebagaimana ada yang menuangkannya dalam bentuk buku.
Aku melihat perseteruan antara pengusung paham Salafi dan pengusung paham Asya'irah. Kedua kubu mengklaim bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sementara kubu seberang bukan.
Namun, fenomena ini tidak sama persis dengan sebab turunnya Surat Al-Masad, karena kedua kubu ini masih sama-sama Ahlul Kiblah—Muslim. Sedangkan penentangan yang diperankan Abu Lahab adalah menyikapi dakwah tauhid Rasul terakhir.
Salah satu pokok perbedaan antara kubu Asya'irah dan Salafi adalah pemahaman terhadap ayat:
📖
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11)} [الشورى: 11]
"Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syura: 11)
---
🔍 Perbedaan Tafsir QS. Asy-Syura: 11
🔹 Asya'irah:
✅ Allah tidak serupa dengan makhluk dalam segala aspek (tanzih).
✅ Sifat yang berpotensi menyerupai makhluk ditakwil atau diserahkan maknanya kepada Allah (tafwidh).
✅ Contoh: Istiwa’ ditakwil menjadi menguasai (istaula bil qahr), bukan berada di atas Arasy.
🔹 Salafi:
✅ Menetapkan sifat Allah sesuai makna zahirnya, tanpa menyerupakan dengan makhluk (bila tasybih).
✅ Tidak menakwil, tetapi juga tidak menentukan bagaimana hakikatnya (bila kayf).
✅ Contoh: Istiwa’ berarti berada tinggi di atas Arasy, tetapi tanpa dipertanyakan bagaimana.
📍 Asya'irah: Menekankan tanzih dengan takwil atau tafwidh.
📍 Salafi: Menetapkan sifat secara zahir tanpa menyerupakan makhluk.
---
📖 Pandangan Asy’irah Terhadap Salafi
Dalam tataran kitab yang dicetak, di antara pengusung paham Asya’irah yang menolak pemahaman kubu Salafi yang disebutkan sebuah pengikut metodologi Ibnu Taimiyah, ialah Hatim bin 'Arif Al-'Auni yang berdomisil di Makkah, Arab Saudi.
Dia mengambil tema bahasan dari pemahaman ayat:
📖
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman beristiwa’ di atas ‘Arasy.” (QS. Thaha: 5)
Dia menyebutkan bahwa konsep pemahaman ayat-ayat sifat Ibnu Taimiyah berbeda dengan lebih dari 90 ulama. Dalam pendahuluan kitabnya yang dipublikasikan akhir tahun 2024, Al-‘Auni menulis:
"Pendapat yang membedakan antara tafwidh menurut salaf dan tafwidh menurut khalaf ini adalah pendapat yang baru muncul. Engkau tidak akan menemukan orang yang mengada-adakannya—pada awal abad kedelapan Hijriyah—memiliki pendahulu dari kalangan sahabat radhiyallahu 'anhum, tabi'in, para imam yang diikuti, maupun generasi setelah mereka dari kalangan seluruh imam dan ulama kaum muslimin.
Kecuali, yang serupa atau mendekati pendapat tersebut dapat ditemukan di kalangan kelompok-kelompok yang memiliki pemahaman tajsim (menyerupakan Allah dengan makhluk), atau pada mereka yang perkataannya mengarah kepada tajsim.
Yang saya maksudkan di sini adalah penjelasan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), sebagaimana ia uraikan dalam risalahnya At-Tadmuriyyah dan dalam berbagai karyanya yang lain.
Dalam penjelasannya, ia mewajibkan adanya makna bagi sifat-sifat idhafi (yang disandarkan kepada Allah), yaitu makna yang dipahami dari petunjuk lafaznya, dengan tetap menyucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk.
Dalam pemahamannya, terdapat kadar makna yang sama dalam petunjuk lafaz suatu sifat yang disandarkan kepada Allah dan sifat yang disandarkan kepada makhluk.
Menurut Ibnu Taimiyah, apabila makna ini tidak ditetapkan, maka lafaz tersebut dianggap kehilangan seluruh maknanya dan mustahil Allah subhanahu wata'ala berfirman kepada kita dengan lafaz yang tidak memiliki makna."
📚 (Kitab Al-Istiwa' Ma'lum Wa Al-Kaif Majhul, Dar Al-Minhaj, Damaskus, th. 2024 M -1446 H, hal. 14)
---
📖 Pandangan Salafi Terhadap Asya’irah
Di sisi lain, di antara kitab ulama pengikut paham Salafi yang mengkritisi pemahaman ketuhanan paham Asya’irah ialah kitab 686 halaman yang berjudul ‘Aqidah Al-Asya’irah, Dirasah Naqdiyah li Manzhumah Jauharah At-Tauhid li Burahanuddin Al-Laqani ‘ala dhau-I ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Aqidah Al-Asya'irah, Studi Kritis terhadap Manzhumah Jauharah At-Tauhid oleh Burahanuddin Al-Laqani dalam Perspektif Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah) yang ditulis oleh Syaikh Hassan bin Ibrahim Ar-Rudai'an, Universitas Hail, Arab Saudi.
Di antara kritikan Ar-Rudai'an terhadap kandungan isi Kitab Jauharah At-Tauhid yang merupakan salah kitab pelajaran aqidah menurut paham Asya'irah, yang banyak dipelajari di pesantren-pesantren di Indonesia, misalnya:
Argumen Keempat:
Al-Laqani menyebutkan bahwa sifat-sifat salbiyah (sifat-sifat yang menafikan ketidaksempurnaan dari Allah) tidak terbatas jumlahnya. Ia juga menjelaskan sebelumnya bahwa sifat-sifat wajib bagi Allah—baik sifat nafsiyyah, salbiyah, maupun ma’ani—berjumlah dua puluh, dan jumlah ini merupakan batas akhir yang dapat dijangkau oleh daya pemahaman manusia.
Pernyataan ini tidak selaras dengan petunjuk Al-Qur'an dan As-Sunnah, karena penetapan dan penafian dalam bab nama-nama dan sifat-sifat Allah harus bersandar pada dalil syar’i. Menetapkan suatu sifat bagi Allah sama seperti menafikannya; keduanya harus berdasarkan dalil.
Barang siapa yang menyalahi kaidah ini, berarti ia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Menjadikan sifat-sifat salbiyah sebagai sesuatu yang tidak terbatas berpotensi menafikan sifat-sifat yang seharusnya ditetapkan bagi Allah subhanahu wata'ala, sebagaimana juga tidak diperbolehkan menjadikan dasar penafian sifat-sifat yang bertentangan dengan kesempurnaan hanya karena menganggapnya menyerupakan Allah dengan makhluk.
Dalam hal ini, Al-Laqani tidak membatasi sifat-sifat yang dinafikan (yang ia sebut sebagai sifat salbiyah) hanya pada yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akibatnya, seseorang bisa saja menafikan istiwa’ Allah di atas ‘Arsy karena mengira bahwa hal itu menunjukkan kebutuhan Allah kepada ‘Arsy.
Padahal, Allah subhanahu wata'ala telah menetapkan sendiri bahwa Dia beristiwa’ di atas ‘Arsy, sebagaimana firman-Nya:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
"Ar-Rahman beristiwa' di atas ‘Arsy." (QS. Thaha: 5)
Dengan demikian, orang yang menafikan istiwa’ Allah berarti telah menafikan sesuatu yang Allah sendiri telah menetapkannya bagi diri-Nya.
Ini adalah perkara yang sangat luas, di mana banyak orang terjerumus dalam kesalahan dengan menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Mereka menafikan apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya atau yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan alasan bahwa menetapkan sifat tersebut akan menyebabkan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).
📚 (Kitab 'Aqidah Al-Asya'irah Dirasah Naqdiyah li Manzhumah Jauharah At Tauhid 'ala Dhau'i 'Aqidah Ahli As-Sunnah Wa Al-Jama'ah, Dar At Tauhid li An-Nasyr, Riyadh, th. 2013 M -1434 M, hal. 146)
---
🕌 Kesimpulan
Ini di antara realita perdebatan antara dua kubu: Pengikut Paham Asya’irah dan Pengikut Paham Salafi. Perdebatan ini bukan sekadar akademik, tetapi menyentuh akar keimanan.
Aku telah memiliki, membaca, dan mempelajari kitab-kitab rujukan dari kedua kubu ini. Bahkan hingga sekarang. Ketika melihat begitu banyak sikap saling menyerang di media sosial, aku sedih dan terkadang juga tersenyum.
Sedih karena tak jarang mereka memakai ungkapan kasar, padahal masih sesama muslim. Senyum karena aku telah meyakini dengan mantap salah satu dari dua pemahaman yang berhadap-hadapan ini.
Aku telah mantap memilih salah satunya, setelah beristikharah meminta petunjuk kepada pemilik qalbuku, Allah subhanahu wata’ala. Bahkan sering di depan Ka'bah.
Setiap kulihat arena baru yang muncul dari pergulatan dua kubu, rasanya membuat aku semakin yakin dengan pilihanku.
Jika ada yang mendesakku, ❓ "Antum berjalan di atas manhaj yang mana?"
✅ "Salaf."
❓ "Sejak kapan?"
✅ "Sekitar tahun 2000."
❓ "Sebelumnya?"
✅ "Asya'irah dalam pengajian kitab sejak di pondok dan tarekat sufi dalam beberapa majelis khusus."
🕋"Allah subhanahu wata'ala lebih tinggi dari segala yang kita bayangkan, lebih mulia dari segala yang kita nisbatkan. Maka memahami sifat-Nya harus dengan hati dan akal yang tunduk kepada wahyu-Nya dan sabda Rasul-Nya, tanpa mempersamakan berita tentang diri-Nya dengan keadaan makhluk-Nya."
📿 اللَّهُمَّ ثَبِّتْنَا عَلَى الْحَقّ ِ
"Wahai Allah, teguhkanlah kami di atas al-haqq (yang benar)!"
📍 Pariaman, Kamis, 21 Sya’ban 1446 H / 20 Februari 2025 M
✍ Zulkifli Zakaria
📌 Tulisan ini bisa dibaca di: 🌍 http://mahadalmaarif.com