![]() |
Oleh Hendra Tuanku Bandaharo Panjang
Pasal Ketiga:
Ketahuilah, bahwa dasar ulama tasawuf tentang kalimat-kalimat yang mereka ungkapkan adalah hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkata suatu hari kepada Abu Bakar As-Siddiq:
أتدري يوم يوم ؟ فقال أبو بكر:
نعم يا رسول اللّه، لقد سألتني عن يوم المقادير.
"Apakah kamu tahu apa itu 'Yaum Yaum'?"
Abu Bakar menjawab: Ya Rasulullah, sesungguhnya Anda telah bertanya kepadaku tentang hari yang ditaqdirkan,."
Dan juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Abu Bakar:
يا أبا بكر أتدري ما أريد أن أقول ؟ فقال: نعم هو ذاك هو ذاك..
"Wahai Abu Bakar, apakah kamu tahu apa yang aku maksudkan?"
Abu Bakar menjawab: Ya, itu maksudnya demikian, dan yang itu adalah hal yang demikian.
(Syekh Tajuddin bin Atha'illah menyebutkan hal ini dalam salah satu kitabnya).
Dan Syekh Muhyiddin menyebutkan dalam kitab "Al-Futuhat" Bab 54:
Ketahuilah bahwa orang-orang yang dekat dengan Allah menetapkan isyarat-isyarat yang mereka sepakati di antara mereka sendiri, karena mereka mengetahui kebenaran yang jelas tentang hal itu. Untuk mencegah orang luar ikut campur di antara mereka, agar orang selain dari kalangan mereka tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan, sebagai rasa kasihan agar mereka tidak mendengar sesuatu yang belum sampai padanya lalu menolaknya karena tidak sampai nalarnya dan menolak si mutakallimin, sehingga ia akan dihukum karena kehilangan hal itu,dan terputus berkahnya hingga mereka tidak akan pernah mendapatkannya lagi.
Sesungguhnya hal semacam ini tidak hanya ada dalam tasawuf saja, semua golongan punya definisi istilahnya sendiri dari kalangan ahli fikir, ahli nahwu, ahli ilmu ukur, ahli ilmu hitung, ahli kalam, dan ahli filsafat dan lainnya,mereka memiliki istilah tertentu yang tidak diketahui oleh orang selain ahlinya dari kalangan mereka dan ini adalah suatu hal yang lazim.
Apabila seorang murid yang jujur jika ingin melalui jalan mereka (Jalan Tasawuf) dan tidak memiliki pengetahuan tentang istilah-istilah yang mereka sepakati, lalu ia duduk bersama mereka dan mendengar pembicaraan mereka tentang isyarat-isyarat tersebut.
Maka ia akan memahami pembicaraan mereka dengan sendirinya seolah-olah ia adalah orang yang menetapkan istilah tersebut, dan ia akan berpartisipasi dalam mendiskusikan ilmu tersebut tanpa merasa asing dengan hal itu dalam dirinya, bahkan ia akan merasa bahwa ilmu tersebut adalah suatu keharusan,tidak bisa ditolak, seolah-olah ia telah mengetahuinya sejak lama dan tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.Inilah keadaan murid yang jujur.
Adapun murid yang tidak jujur, maka ia tidak akan memahami hal itu kecuali dengan penjelasan yang panjang, dan tidak akan bisa memahami hal itu sebelum ia membersihkan dirinya dalam kehendak mencari ilmu tersebut dengan sungguh-sungguh dengan seorang guru dari kalangan ahli tasawuf.
Dan tidak akan berhenti setiap zaman orang-orang menangguhkan memahami perkataan Ulama Tasawuf,
Cukuplah contoh Imam Ahmad bin Suraij, suatu hari ia hadir dalam majelis Imam Al-Junaid, lalu dikatakan kepadanya: Apa yang kamu pahami dari perkataannya?
Ia menjawab: Aku tidak tahu apa yang ia katakan, tapi aku merasakan bahwa perkataannya memiliki pengaruh dalam hati.
Mereka menyebut apa yang mereka lihat dalam diri mereka sendiri sebagai isyarat agar orang-orang yang menolak tidak merasa asing dengan mereka dan tidak mengatakan bahwa hal itu adalah tafsir terhadap ayat atau hadits tersebut, sebagai perlindungan dari kejahatan mereka dan tuduhan kekafiran terhadap mereka karena kebodohan dari orang-orang yang menuduh mereka tentang tempat-tempat firman Allah.
Mereka mengikuti sunnah orang-orang terdahulu dalam hal itu. Dan sesungguhnya Allah berkuasa untuk menjelaskan apa yang ditafsirkan oleh orang-orang yang dekat dengan-Nya dan lainnya dalam kitab-Nya seperti ayat-ayat mutasyabihat dan huruf-huruf awal surat, namun Allah SWT tidak melakukan hal itu, tetapi Allah SWT memasukkan dalam kata-kata ilahi dan huruf-huruf tersebut ilmu-ilmu khusus yang hanya diketahui oleh hamba-hamba-Nya yang terpilih,.
Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi berkata:
Dan semua itu karena mereka tidak mempercayai bahwa orang-orang yang dekat dengan Allah memahami syariat,
tetapi mereka menuduh Para ulama tasawuf dengan kebodohan dan keawaman, terutama jika mereka tidak belajar kepada salah satu ulama dzahir.
Banyak dari mereka yang berkata:
Dari mana Ulama tasawuf itu mendapatkan ilmu ini?
Karena mereka percaya bahwa tidak ada orang yang mendapatkan ilmu kecuali melalui seorang guru, dan mereka benar dalam hal itu.
Karena Ulama tasawuf telah mengamalkan ilmu yang mereka pelajari, maka Allah SWT memberikan kepada mereka ilmu dari sisi-Nya dengan pemberitahuan yang datang dari Tuhan yang dianugerahkan dalam hati mereka yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh syariat dan tidak keluar dari syariat sedikitpun.
Allah SWT berfirman:
"Allah mengajarkan manusia dengan bayan (penjelasan)." (QS. Ar-Rahman: 4)
Rujukan:
(Yawaqit wal Jawahir.hal 20-21)