![]() |
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
Seri 3 menghadirkan telaah kaidah fiqhiyyah dan analisis ilmiah atas dampak sosial-akidah perayaan Tabuik, disertai aplikasi kaidah sadd ad-dzarā’iʿ, al-ʿibrah bi-l-maʿānī, dan aḍ-ḍarūriyāt al-khams. Semoga menambah wawasan dan kehati-hatian dalam beramal.
DIANTARA KUTIPAN KETERANGAN AHLUL ILMI
1. Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait:
Arti An-Niyahah (ratapan) :
Pertama: secara bahasa, An-Niyahah ialah tangisan dengan suara tinggi seperti melolong.
Kedua: secara istilah, ada beberapa defenisAn-Niyahah :
Menurut Madzhab Hanafiy, An-Niyahah ialah:
الْبُكَاءُ مَعَ نَدْبِ الْمَيِّتِ؛ أَيْ تَعْدِيدِ مَحَاسِنِهِ
“Tangisan disertai memuji-muji mayat, yaitu menghitung-hitung segala kebaikan si mayat.” Menurut pendapat lain, \
هِيَ الْبُكَاءُ مَعَ صَوْتٍ
“An-Niyahah ialah tangisan disertai suara.”
Menurut Madzhab Malikiy,
هِيَ الْبُكَاءُ إِذَا اجْتَمَعَ مَعَهُ أَحَدُ أَمْرَيْنِ: صُرَاخٌ أَوْ كَلاَمٌ مَكْرُوهٌ
“An-Niyahah ialah tangisan, apabila terkumpul padanya salah satu dari dua hal: pekikan atau perkataan yang tidak baik.”
Mayoritas Fuqaha’ Madzhab Syafi’i dan sebahagian Fuqaha’ Madzhhab Malikiy mengatakan bahwa An-Niyahah ialah:
رَفْعُ الصَّوْتِ بِالنَّدْبِ وَلَوْ مِنْ غَيْرِ بُكَاءٍ
“Meninggikan suara dengan menghitung-hitung kebaikan mayat, sekali pun tanpa tangis.
مَعَ الْبُكَاءِ
Pendapat lain mengatakan, “Disertai tangisan”.
Menurut Madzhab Hanbaliy dan sebahagian Madzhab Syafi’iy, An-Niyahah ialah:
رَفْعُ الصَّوْتِ بِالنَّدْبِ بِرَنَّةٍ أَوْ بِكَلاَمٍ مُسَجَّعٍ
“Meninggikan suara dengan menghitung-hitung kebaikan mayat dengan suara sedih atau perkataan mengajak.”
(Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah 42/49)
2. Buraq menurut terminologi ulama hadits:
(س) وَفِي حَدِيثِ الْمِعْرَاجِ ذِكْرُ «البُرَاق» وَهِيَ الدَّابة الَّتِي رَكِبَهَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ. سُمِّي بِذَلِكَ لِنُصُوع لَوْنه وشِدة بَرِيقه. وَقِيلَ لسُرعة حَرَكَتِهِ شَبَّهَهُ فِيهِمَا بالبَرق.
“(S) Dan di dalam hadits Al-Mi’raj ada pembicaraan tentang Al-Buraq. Yaitu hewan yang ditunggangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada malam Al-Isra’. Ia dinamakan Buraq karena terang warnanya dan sangat berkilaunya. Menurut pendapat lain, karena kencang gerakannya. Pada warna dan gerak ini, ia diserupakan dengan kilat.”
(Ibnu Atsir, An-Nihaayah fi Gharib Al-Hadits, 1/126)
3. Ibnu Katsir:
وقال الأمام أحمد حدثنا عفان ثنا حماد أنا عمار بن أبي عمارة عن ابن عباس قال رأيت النبي صلى الله عليه و سلم فيما يرى النائم بنصف النهار وهو قائل أشعث أغبر بيده قارورة فيها دم فقلت بأبي أنت وأمي يا رسول الله ما هذا قال دم الحسين وأصحابه لم أزل ألتقطه منذ اليوم قال فأحصينا ذلك اليوم فوجدوه قتل في ذلك اليوم رضي الله عنه قال قتادة قتل الحسين يوم الجمعة يوم عاشوراء سنة إحدى وستين وله أربع وخمسون سنة وستة أشهر ونصف الشهر وهكذا قال الليث وأبو بكر بن عياش الواقدي والخليفة بن خياط وابو معشر وغير واحد إنه قتل يوم عاشوراء عام إحدى وستين وزعم بعضهم أنه قتل يوم السبت والأول أصح
Dan Imam Ahmad telah mengatakan, (bahwa) ‘Affan telah menyampaikan hadits kepada kami, (yang mengatakan bahwa) Hammad telah menyampaikan hadits kepada kami, (yang mengatakan bahwa) ‘Ammar bin Abi ‘Amarah telah menyampaikan hadist kepada kami, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma yang mengatakan,
“Saya telah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam mimpi yang dilihat orang tidur. Pada tengah hari Beliau sedang beristirahat siang dengan rambut acak dan badan berdebu. Di tangan Beliau ada sebuah botol yang di dalamnya darah. Maka saya berkata kepada Beliau, “Dengan tebusan ayahku dan ibuku untuk Engkau, Wahai Rasulullah, apakah ini?’
Beliau menjawab, “Darah Al-Husain dan teman-temannya yang senantiasa aku memungutnya sejak hari ini.”
Dia berkata lagi, “Lalu kami hitung-hitung hari itu, ternyata mereka mendapatinya (Al-Husain) dibunuh pada hari tersebut. Semoga Allah ta’ala meridhainya.”
Qatadah mengatakan, “Al-Husain dibunuh pada hari Jum’at, yaitu pada hari ‘Asyura tahun 61 H, dalam usia 54 tahun lebih enam setengah bulan.”
Dan begitu juga dikatakan oleh Al-Laits, Abu Bakar bin ‘Ayyasy Al-Waqidiy, Al-Khalifah bin Khayyath, Abu Ma’syar dan selainnya, bahwa dia dibunuh pada hari ‘Asyura tahun 61 H. Dan sebagian kalangan mengatakan bahwa dia dibunuh pada hari Sabtu. Namun yang paling benar ialah pendapat pertama.
(Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah 6/231)
4. Cyril Glasse:
Pertama kali Safawiyyah yang berhasil menaklukkan Persia pada awal abad ke-10/ke-16 M mengeksposisikan dan melembagakan kesalahpahaman ini. Sebagai kalangan Syi’ah lainnya sebelum mereka, Safawiyyah menjadikan ajaran Syi’ah sebagai senjata perjuangan mereka meraih kekuasaan, dan menjadikannya sebagai mekanisme kontrol sosial.
Safawiyyah menjadikan tragedi Karbela sebagai sarana untuk menggerakkan kesadaran kebangsaan, di mana kenangan kasih tersebut dipertahankan, dan mereka bersiteguh terhadap pentingnya tragedi tersebut dengan mengenangnya dengan minum seteguk air, di mana Husayn telah dipaksa meminum air beberapa teguk air sebelum ia terbunuh oleh pasukan Yazid.
Kematian Husayn diperingati dengan lumuran darah dan dengan penganiayaan diri sebagai pertanda duka cita mereka. Peringatan seperti ini diselenggarakan selama beberapa hari menjelang hari peringatan Tragedi Karbela berdasarkan kalender Islam.
Bagi Kalangan Sunni peristiwa Karbela ini merupakan peristiwa pembunuhan yang mengharuskan bahkan ia dipandang sebagai tragedi pembunuhan terhadap keturunan nabi yang terdekat, baik ia dipandang secara individual maupun secara national. Terlepas dari peringatan pembunuhan Husayn di Karbela, tanggal 10 Muharram merupakan hari besar keagamaan bagi kalangan Sunni, sebab hari ini telah dimuliakan sejak masa Nabi. Ia dipertahankan sebagai hari belas kasih bagi kalangan Sunni.
Bagi kalangan Syi’ah hari 10 Muharram merupakan hari duka cita tas kematian Husayn dan ia dipandang sebagai hari yang paling menyedihkan dan sebagai hari duka cita dalam satu tahun. Pada hari ini beberpa sekte Syi’ah berprilaku seperti orang gila, mereka turun ke jalan sambil memukul-mukul diri sendiri dan melumuri diri dengan darah mereka sendiri.
Semenjak zaman Safawiyyah , Karbela daerah pemukiman Husayn di Karbela menjadi tempat suci yang terpenting bagi Syi’ah dua belas imam.
(Ghufron Mas’adi Terjemahan The Concise Encyclopedia of Islam Cyril Glasse, hal,139)
... Di India, Buraq digambarkan sebagai kuda berwajah seorang wanita dan berekor merak, namun gambaran demikian tidak memiliki sandaran riwayat hadits, di mana digambarkan Buraq sebagai jenis makhluq kendaraan angkasa yang lebih besar keledai dan lebih kecil dari kuda.
Pada sisi lainnya, secara iconography sebagaimana tampak dalam penggambaraan masyarakat India, buraq merupakan makhluq fantastik yang merupakan perpaduan antara unsur manusia dan unsur binatang sehingga ia merupakan simbol sebuah wujud perpaduan seluruh macam makhluq yang menganatarkan Nabi menuju Surga.
(Ghufron Mas’adi Terjemahan The Concise Encyclopedia of Islam Cyril Glasse, hal,64)
5. Nashir Al-Qafariy:
وقد تبين أنهم كفرة ليسوا من الإسلام في شيء بسبب شركهم وتكفيرهم للصحابة، وطعنهم في كتاب الله وغيرها من عقائد الكفر عندهم.
ولا أغرب وأعجب من بقاء طائفة تعد بالملايين أسيرة لهذه الخرافات، ولا يفسر ذلك إلا أن شيوخ الشيعة يحجبون الحقيقة عن أتباعهم بوسائل كثيرة من الخداع، لعل من أبرزها دعواهم أن ما عندهم مؤيد بما جاء عن طريق أهل السنة، وأن دينهم يقوم على أساس محبة آل البيت وأتباعهم.
وفي ظل هذه الدعوى يؤججون مشاعر العامة وعواطفهم بذكر اضطهاد آل البيت، وتصوير الظلم الذين لحقهم من الصحابة - بزعمهم ويربون صغارهم على ذلك.
ومن ذلك تمثيلهم لمأساة كربلاء وهو المعروف الآن باسم "الشبيه" وإقامتهم لمجالس التعزية، بكل ما فيها من مظاهر الحزن والبكاء، وما يصاحبها من كثرة الأعلام ودق الطبول وسرد الحكايات والأقاصيص عن الظلم المزعوم، وهذا يؤدي إلى شلل العقل والتقبل الأعمى للمعتقد ولا سيما عند الأعاجم والعوام.
وإن أعظم وسيلة لمعالجة وضع الشيعة هو بيان السنة للمسلمين في كل مكان وبمختلف الوسائل، وبيان حقيقة الشيعة ومخالفتها لأصول الإسلامي بدون تقليل أو تهويل.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، والحمد لله رب العالمين.
Dan sungguh telah jelas bahwa mereka (Syi’ah) adalah orang-orang kafir yang tidak ada bagian mereka dari Islam sama sekali, dikarenakan kesyirikan mereka dan tuduhan mereka bahwa para sahabat adalah kafir. Dan juga karena mereka mencela Kitabullah (Al-Qur’an) dan karena keyakinan-keyakinan kufur lainnya yang ada pada diri mereka.
Tidak ganjil dan tidak aneh terhadap fenomena keberadaan sekelompok yang terbilang jutaan banyaknya, yang menjadi tawanan bagi keyakinan dongeng-keyakinan dongeng ini. Dan hal itu hanya bisa kita tafsirkan bahwasanya para syaikh Syi’ah adalah selalu menutupi hakekat sebenarnya dari para pegikut mereka dengan mempergunakan begitu banyaknya media tipuan. Pengakuan mereka yang paling mencuat ialah bahwa keyakinan yang mereka miliki adalah dikuatkan oleh sumber yang datang dari kaum Ahlus sunnah, dan keyakinan agama mereka adalah ditegakkan di atas prinsip-prinsip cinta kepada Ahlul Bait dan para pengikut mereka.
Di bawah naungan pengakuan-pengakuan inilah mereka membakar semangat dan emosional masyarakat umum, dengan mengingatkan terhadap kondisi tertekan yang dialami Ahlu bait. Juga dengan mengilustrasikan kezaliman yang mereka dapatkan dari generasi sahabat—menurut pengakuan mereka—dan mereka didik generasi kanak-kanak mereka di atas landasan ini.
Begitu juga, mereka mendramatisasikan krisis Karbala’ yang saat ini dikenal dengan nama “Asy-Syabih” (penyerupaan). Dan mereka adakan majelis-majelis takziah yang dipenuhi aneka penampakan kesedihan, tangisan dan disertai sekian banyak bendera, pemukulan genderang, pembacaan hikayat-hikayat dan aneka kisah kezaliman menurut versi mereka.
Kesemua ini mengakibatkan kelumpuhan logika dan sebaliknya sikap menerima buta saja bagi keyakinan mereka, teristimewa pada level masyarakat non Arab dan awam.
Dan sesungguhnya sarana paling besar untuk mengantispasi peran Syi’ah ialah melakukan penyebaran penjelasan ajaran Sunnah kepada kaum muslimin di semua tempat dan di aneka ragam media. Di samping memberikan penjelasan akan hakekat Syi’ah dan segala bentuk penyimpangan mereka terhadap prinsip-prinsip Islam, tanpa menganggap remeh atau menakut-nakuti.
(Dr. Nashir bin ‘Abdillah bin Ali Al-Qafariy, Ushuul Madzhab Asy-Syi’ah Al-Imamiyah Al-Itsnai ‘Asyriyah ‘Aradh wa Naqd, Hal.1115)
6. Asy-Syuqairi:
ونعى الخطباء للْإِمَام الْحُسَيْن " وَذكر مَا حل بِهِ يَوْم قَتله على المنابر سنوياً كل جُمُعَة من عَاشُورَاء جهل مِنْهُم وتغفل قَبِيح، واعتقاد أُلُوف الألوف أَن رَأس الْحُسَيْن مدفونة بِالْمَسْجِدِ الْمَشْهُور بِمصْر بِهِ جهل بالتاريخ، إِذْ قتل الْحُسَيْن بكربلاء وَدفن بهَا وَالنَّاس إِنَّمَا يزورون خشب التابوت والنحاس ولفافة القماش الخضراء الغليظة فَإنَّا لله، فَمَتَى تفيقون من جهالاتكم، وَمَتى تَكُونُونَ أمة لَا تعرف إِلَّا الصَّحِيح، وَلَا تتعبد إِلَّا بالثابت، وَمَتى تخرج من رءوسكم هَذِه الأباطيل والترهات؟ اللَّهُمَّ أدْرك هَذِه الْأمة بِرَحْمَتك، فيا أهل الْعلم كَيفَ تسكتون على هَذَا الشَّرّ، وَيَا حكام الْمُسلمين اقْتُلُوا هَذَا الشَّرّ أَو اخْسَئُوا.
Dan ratapan para khatib terhadap kematian Imam Al-Husain dan penyampaian kisah peristiwa yang telah menimpanya pada hari gugurnya dari atas mimbar-minbar setiap tahun pada semua Jum’at bulan sejak hari ‘Asyura’ adalah kedunguan dan sikap berbuat lalai mereka yang amat keji. Begitu juga keyakinan jutaan orang bahwa kepada Al-Husain dikuburkan di Mesjid terkenal di Mesir adalah kebodohan terhadap sejarah. Karena gugur Al-Husain adalah di Karbala’ dan di sana pula dikuburkan.
Sedangkan yang dikunjungi orang-orang hanyalah kayu tabut (peti mati), tembaga dan lipatan-lipatan kain hijau tebal. Maka “Innaa lillaah” kapankah kalian akan terbangun dari segala kedunguan kalian? Kapakankah kalian akan menjadi suatu ummat yang tiada mengenal kecuali kebenaran dan tidaklah beribadah kecuali dengan sesuatu yang absah? Dan kapankah segala ketidakbenaran dan kebohongan ini akan keluar dari kepala-kepala kalian?
Ya Allah, gapailah ummat ini dengan rahmat-MU!
Wahai kalangan yang punya ilmu, bagaimana bisa kalian berdiam diri saja terhadap kejahatan ini? Wahai para pemegang perintahan kaum muslimin, bunuhlah dan halaulah kejahatan ini!
(Muhammad ‘Abdussalam Khadhir Asy-Syuqairiy, As-Sunan wa Al-Mubtada’aat Al-Muta’alliqah bi Al-Adzkaar wa Ash-Shalawaat, Hal.96)
7. Al-Juhaniy:
يقيمون حفلات العزاء والنياحة والجزع وتصوير الصور وضرب الصدور وكثير من الأفعال المحرمة التي تصدر عنهم في العشر الأول من شهر محرم معتقدين بأن ذلك قربة إلى الله تعالى وأن ذلك يكفر سيئاتهم وذنوبهم، ومن يزورهم في المشاهد المقدسة في كربلاء والنجف وقم.. فسيرَى من ذلك العجب العجاب.
Mereka mengadakan sejumlah perayaan ekspresi simpati (al-‘azaa’), ratapan duka (an-niyahah), kepedihan (al-jaza’) dan pembuatan potret-potret (patung), menepuk-nepuk dada dan banyak lagi jenis perbuatan haram yang muncul dari mereka pada sepuluh hari pertama Bulan Muharram, dengan keyakinan bahwa hal itu adalah suatu bentuk pendekatan diri kepada Allah ta’ala dan akan mengahpus kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa mereka.
Dan siap saja yang mengunjungi tempat-tenpat suci di Karbala, Najef dan Qum, maka akan melihat di antara perbuatan-perbuatan amat aneh tersebut.
(Dr. Mani’ bin Hammad Al—Juhaniy, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah fi Al-Adyan wa Al-Madzahib wa Al-Ahzab Al-Mu’ashirah 1/55)
8. Abdus Sittir:
فإن الرافضة – خذلهم الله – ما فتئوا يسعون لنشر مذهبهم, وصرف المسلمين عن دينهم, وإيجاد القطيعة بينهم وبين سلفهم من أصحاب النبيّ صلّي الله عليه وسلّم بحجّة موالاة أل البيت ممّا يسقط الثقة بالكتاب والسنّة التي نقلت عن طريقهم, والتي هي أصل ديننا نحن المسلمين, فيصير المفتونون بعدها إلي أصول الرافضة التي أكثرها يهوديّة أو فارسيّة مجوسيّة, فيصبح هؤلاء المتشيّعون طابورا خامسا وسرطانا يسري في جسد الأمّة عبئا علي المسلمين, وخطرا محدقا بهم يتربّص بهم الدوائر, ولا يتواني عن الفتك بهم عند أدني فرصة وهذا ديددنهم منذ القديم, فتحالفهم مع الصليبيّن, ثم تآمرهم مع التتار لتدمير الدولة العباسيّة الإسلاميّة شاهد علي ذلك, وجرائم الفاطميّين والقرامطة معروفة لا تخفي علي أحد, فهم أشدّ خطرا وأفدح ضررا من كلّ عدوّ, ومن هنا وجب علي ملوك الإسلام وعلمائهم الحذر منهم والتحذير من خطرهم, وقد نشطوا هذه الأيّام لنشر ضلالهم والدعوة إلي أفكارهم في مناطق عديدة لم يكن فيها أثر, لا سيّماأن دولتهم في إيران متاكلبة علي ذلك وتغدّق الأموال الكثيرة في هذا السبيل, ويسهّل مهمّتهم سكوت كثير من الحكومات الإسلاميّة وغفلتهم عن مخطّطاتهم, وتشخيع وإشارات خفيّة من بعضها, ولهم أساليب عديدة للوصول إلي ميتغاهم.
Sesungguhnya kaum Rafidhah—semoga Allah ta’ala menimpakan kehinaan kepada mereka—adalah tiada pernah berhenti mengupayakan penyebaran madzhab mereka dan mengalihkan kaum muslimin dari agama mereka (Islam). Juga membuat keterputusan antara kaum muslimin dengan pendahulu mereka, yaitu kalangan sahabat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, dengan berdalih loyalitas kepada Alul Bait, yang mengakibatkan rontok kepercayaan kepada Kitabullah dan sunnah yang ditransfer dari jalur mereka ini (generasi sahabat). Pada kepercayaan kepada generasi pendahulu itulah menjadi pondasi agama kita kaum muslimin.
Lalu setelahnya, mereka menjadi orang-orang yang terpengaruh kepada prinsip-prinsip Rafidhah yang kebanyakannya adalah memiliki roh ajaran Yahudi atau ajaran Persia yang Majusi.
Maka para penganut baru Syi’ah ini pun menjadi kolom kelima dan menjadi penyakit kanker yang menjalar di dalam jasad ummat Islam yang membebani kaum muslimin. Sekaligus sebagai bahaya yang mencekik dan menunggu-nunggu kehancuran kaum muslimin, serta tidak pedul dalam melampiaskan dorongan nafsu mereka, begitu mereka dapatkan peluang walau sekecil apa pun. Inilah praktek mereka semenjak masa dahulu.
Di antara saksi ini ialah persekutuan mereka dengan kaum Salib, lalu persengkolan mereka bersama bangsa Tatar untuk memperok-porandakan Daulah Islam Abbasiyah. Begitu juga dosa-dosa Dinasti Fathimiyah dan Qaramithah adalah telah tidak asing lagi dan tak tersembunyi bagi siapa pun. Merekalah ancaman dan perusak paling berbahaya, dibandingkan semua musuh.
Berangkat dari sini, maka wajiblah bagi para raja dan ulama Islam untuk waspada dari mereka dan memberikan peringatan kewaspadaan akan ancaman mereka.
Sementara mereka telah melakukan aktifitas pada hari-hari belakangan ini dalam menyebarluaskan kesesatan mereka dan mengajak kepada pemikiran-pemikiran mereka di seantero kawasan yang semula mereka tidaklah memiliki pengaruh di sana. Apalagi negera mereka di Iran adalah telah bergerak super aktif atas tujuan itu dan telah mengucurkan harta kekayaan yang tak sedikit guna memuluskan jalan ini.
Ditambah lagi oleh sikap diam dan kelengahan mayoritas pemmerintahan Islam terhadap rencana-rencana mereka ini, menjadi momen mempermudah bagi misi mereka. Di samping adanya dorongan dan sinyal-sinyal peluang dari sebagian para pemegang kekuasan negeri Islam tersebut. Dan kaum Rafidhah ini memiliki beragam strategi dalam rangka mencapai tujuan mereka.
(‘Abdus Sittir Alu Husain, Tahdzir Al-Bariyah min Nasyath Asy-Syi’ah fi Suriyah, hal.3-4)
ومن الأساليب الحديثة القديمة: بناء الحسينيات في القري والمدن وهي التي يقيمون فيها حفلات النياحة في مناسباتهم كعاشوراء وغيرها
Dan di antara strategi moderen yang bernuansa kuno ialah membuat Al-Husainiyat (tempat-tempat peringatan kematian Al-Husain) di berbagai desa dan kota. Yaitu di sana mereka mengadakan perayaan-perayaan ratapan pada hari-hari tertentu mereka seperti ‘Asyura’ dan selainnya.
(‘Abdus Sittir Alu Husain, Tahdzir Al-Bariyah min Nasyath Asy-Syi’ah fi Suriyah, hal.10)
9. ‘Ali Mahfuzh:
لقد أحدث الشيطان الرجيم بسبب قتل الحسين رضي الله عنه بدعتين:
الأولي: الحزن والنوح واللطم والصراخ والبكاء والعطش وإنشاء المراثي وما إلي ذلك من سبّ السلف ولعنهم وإدخال البريء مع المذنب وقراءة أخبار مثيرة للعواطف مخيّجة للفتن وكثير منها كذب. وكان قصد من سنّ هذه السنّة السيّئة في ذلك اليوم فتح باب الفتنة والتفريق بين الأمّة , وهذا غير جائز بإجماع المسلين بل إحداث الجزع والنياحة وتجديد ذلك للمصائب القديمة من أفحش الذنوب وأكبر المحرّمات.
الثانية: بدعة السرور والفرح واتخاد هذا اليوم عيدا تلبس فيه ثياب الزينة ويوسّع فيه علي العيال, فكلّ هذا من البدع المكروهة.
Benar-benar syethan terkutuk telah mengada-adakan dua bid’ah, dengan sebab kematian Al-Husain radhiyallaahu ‘anhu:
Pertama: Kesedihan, ratapan, tamparan, jeritan, tangisan, menghauskan diri dan meluap-luapkan ratapan. Serta perbuatan semisal lainnya berupa celaan dan kutukan terhadap generasi salaf, memasukkan orang tak bersalah bersama orang yang melakukan doa, pembacaan kisah-kisah membangkitkan emosi, menyalakan fitnah yang kebanyakan darinya adalah bohong.
Adalah tujuan orang yang memulai kebiasan-kebiasan tersebut pada hari itu ialah membuka pintu fitnah dan memecah-belah antara ummat. Dan ini tidak dibolehkan berdasarkan ijmak (kesepatan) kaum muslimin. Bahkan membuat-buat ratapan dan kesedihan dan memperbaharuinya demi musibah-musibah masa lalu, adalah tergolong dosa paling keji dan perbuatan haram paling besar.
Kedua: Bid’ah membuat kegembiraan, bersenang-senang menjadikan hari ini (‘Asyura) sebagai hari raya, yang padanya dipakai pakaian perhiasan dan belapang-lapang kepada keluarga. Semua ini adalah bid’ah yang tidak sukai.
(Syaikh, Al-Ibdaa’ fi Madharr Al-Ibtida’, Dar Al-Bayan Al-‘Arabiy Kairo, th.2002 M-1421 H, hal.270)
10. Tim Penulis MUI Pusat:
15) Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang memandang akar masalah menjamurnya Syi’ah di Indonesia adalah karena adanya perhatian yang besar dari Pemerintah Iran melalui jalur pendidikan, kebudayaan dan keagamaan.
Dalam kontek ini, MUI meminta Pemerintah RI untuk membatasi kerjasama bilateral itu hanya dalam bidang politil dan ekonomi perdagangan, tidak merambah bidang pendidikan, kebudayaan dan keagamaan. Seperti dimaklumi bahwa perkembangan inflitasi ajaran Syi’ah di Indonesia masuk melalui ketiga jalur tersebut.
Kebijakan politik itu perlu diambil segera oleh Pemerintah RI Cq. Kementrian Luar Negeri RI, Kementrian Agama RI dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI untu