![]() |
رِضَى النَّاسِ غَايَةٌ لَا تُدْرَكُ
Bismillāhirrahmānirrahīm
Membaca Shifah ash-Shafwah: Nasihat Abadi Imam asy-Syafi‘ī
Pagi itu, aku membuka lembaran demi lembaran kitab Shifah ash-Shafwah karya Imam Ibn al-Jawzī rahimahullāh. Pandanganku terhenti pada kisah Imam asy-Syafi‘ī rahimahullāh, sang ulama besar dari Ghazza, Palestina, keturunan Quraisy yang perjalanan ilmunya bermula dari Makkah al-Mukarramah.
Pandanganku tertambat pada sepotong kisah Imam asy-Syafi‘ī rahimahullāh yang menyimpan mutiara nasihat abadi. Salah satu murid dekat beliau, Ar-Rabī‘ bin Sulaimān rahimahullāh, menukilkan nasihat emas dari gurunya: Imam asy-Syāfi‘ī berkata kepadaku:
يَا رَبِيعُ، رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لَا تُدْرَكُ، فَعَلَيْكَ بِمَا يُصْلِحُكَ فَالْزَمْهُ، فَإِنَّهُ لَا سَبِيلَ إِلَى رِضَاهُمْ.وَاعْلَمْ أَنَّهُ:مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ جَلَّ فِي عُيُونِ النَّاسِ،وَمَنْ تَعَلَّمَ الْحَدِيثَ قَوِيَتْ حُجَّتُهُ،وَمَنْ تَعَلَّمَ النَّحْوَ هِيبَ،وَمَنْ تَعَلَّمَ الْعَرَبِيَّةَ رَقَّ طَبْعُهُ،وَمَنْ تَعَلَّمَ الْحِسَابَ جَزُلَ رَأْيُهُ،وَمَنْ تَعَلَّمَ الْفِقْهَ نَبُلَ قَدْرُهُ،وَمَنْ لَمْ يَصُنْ نَفْسَهُ لَمْ يَنْفَعْهُ عِلْمُهُ، وَمِلَاكُ ذَلِكَ كُلِّهِ: التَّقْوَى.
“Wahai Rabī‘, mencari ridha (kerelaan) manusia adalah tujuan yang takkan pernah tercapai. Maka peganglah apa yang memperbaiki dirimu dan berpegang teguhlah padanya, karena tidak ada jalan untuk memperoleh keridhaan semua manusia.
Dan ketahuilah bahwa: Barang siapa mempelajari al-Qur’an, ia akan mulia di mata manusia.
Barang siapa mempelajari hadits, hujjahnya akan kuat. Barang siapa mempelajari nahwu, ia akan disegani.
Barang siapa mempelajari bahasa Arab, tabiatnya akan halus. Barang siapa mempelajari hisab (ilmu hitung), pendapatnya akan matang.
Barang siapa mempelajari fiqih, kedudukannya akan mulia.
Dan barang siapa tidak menjaga dirinya, ilmunya tidak akan bermanfaat baginya.
Dan intisari dari semua itu adalah: takwa.”
(Shifat ash-Shafwah karangan Ibn al-Jawzī, tahqīq oleh Maḥmūd Fākihī Qal‘ajī, Dār al-Ma‘rifah, Beirut. Jilid 2 halaman 254)
Ketika bacaanku tiba di sini, aku tertegun. Ungkapan yang menyadarkan diri agar tak terlena dalam menghadapi situasi manusia: “Mencari ridha (kerelaan) manusia adalah tujuan yang takkan pernah tercapai. Maka peganglah apa yang memperbaiki dirimu dan berpegang teguhlah padanya, karena tidak ada jalan untuk memperoleh keridhaan semua manusia.”
Ungkapan ini menyadarkan diriku untuk terus berpegang teguh kepada prinsip hidup yang menyehatkan agama dan akhlak, bukan kepada ekspektasi masyarakat yang berubah-ubah. Terkadang kita terjebak dalam bayangan idealisme yang tak berakar pada kenyataan. Padahal, seperti kata pepatah, "Jika engkau ingin semua orang senang, maka engkau tidak akan pernah selesai menjadi dirimu sendiri."
Betapa dalam kata-kata ini meresap ke sanubari. Aku tidak menyangka, bahwa tak lama setelah membacanya, Allah subhānahu wata’āla mengujiku dengan salah satu peristiwa besar dalam hidupku.
Kabar Duka yang Mengguncang
Rabu 11 Juni 2025 itu, sejak jam 8 pagi aku mengisi pengajian di majelis pengajian rutin Rabu di aula pertemuan Rumah Sakit Tamar Madical Center (RS TMC) Kota Pariaman. Ini adalah pengajian hadits yang aku sampaikan dan informasi kesehatan dari tim dokter rumah sakit. Setiap jemaah diberi kertas makalah penjabaran hadits shahih berserial.
Jam 10 pengajian selesai. Aku mengajak istriku menuju sebuah rumah sakit lain yang berjarak sekitar 20 km untuk menunaikan janji. Aku telah berjanji kepada seorang muridku yang keponakannya yang tengah di rawat dan butuh darah enam kantong. Aku berjanji mendonorkan darahku 1 kantong.
Kami melaju pelan sambil mengingat nasihat tadi tentang kematian dan fana dunia yang baru saja aku sampaikan dalam pengajian. Ketika melewati sebuah jalan sepi sekitar 2 kilometer dari RS TMC, tiba-tiba sepeda motor terhentak seperti ada tersandung sesuatu. Istriku terkejut, lalu aku merendahkan lagi gas sambil melihat ke belakang. Tak ada tanjakan yang berarti. Lalu berdering ponselku, maka aku menepi dan berhenti. Ternyata panggilan telepon dari salah seorang puteri kakakku di Padang, nomor yang sangat jarang mengontak. Pikiranku mulai menduga sesuatu, boleh jadi kakakku dibawa lagi ke rumah sakit karena dia sering bolak-balik rumah sakit karena mengidap masalah jantung.
Setelah 2 kali angkat tak terdengar suara, pada kontak ketika terdengar suara, “Pak Zul, ini suami Indah. Ayah telah meninggal dunia. Dia jatuh di kedai lagi, lalu dibawa orang ke Rumah Sakit Yos Sudarso. Kata orang rumah sakit, dia telah wafat sebelum tiba di rumah sakit.”
Aku pun terhenti sambil bertawakkal dan membaca do’a dapat musibah.
إِنَّا لِـلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ, اَللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِيْ، وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا
“Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita adalah kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah aku pahala di dalam musibahku ini dan berilah aku pengganti yang lebih baik darinya!”
Dunia ini ladang amal, dan kematian adalah pemutus segala rencana. Tapi kematian juga awal dari hakikat hidup yang sesungguhnya.
Ikhtiar Syari‘ dalam Mengurus Jenazah
Lalu aku mengontak nomor ponsel isteri kakakku ini. Setelah jelas berita ini dan jenazah boleh keluar dari rumah sakit setelah dua jam kemudian, aku berpikir bahwa aku harus mengurus penyelenggaraan jenazah ini di Pariaman. Aku tidak jadi mendonorkan darah, maka aku tulis pesan permintaan maaf kepada muridku yang tengah menunggu di Rumah Sakit Daerah Padang Pariaman.
Lalu aku menghubungi nomor ponsel adik perempuanku di rumah orang tua kami di Pariaman agar meminta bantuan petugas terkait untuk mempersiapkan kuburan kakak di pekuburan kaum kami, dengan catatan bahwa kami minta kerelaan bahwa semua proses penyelenggaraan jenazah hanya dilakukan oleh tim Relawan Penyelenggaraan Jenazah (RPJ) Pariaman. Setelah itu aku langsung mengubungi ketua RPJ dengan ponsel, meminta bantuan penyelenggaraan jenazah dan diupayakan shalat jenazah dilakukan pada saat shalat ashar berjemaah di masjid. Setelah itu, aku dan isteri pergi ke rumah seorang kakak lelakiku yang dalam kondisi kurang kuat karena pernah sakit stroke untuk memberitahu musibah ini. Nomor ponselnya tak berhasil dihubungi.
Lalu aku dan isteri pulang. Kulihat, tenda telah dipasang di halaman rumah. Kursi-kursi plastik juga telah disusun. Dikatakan bahwa kuburan sedang digali.
Aku sengaja berpesan kepada adikku agar meminta pengertian orang kampung bahwa pelaksaan penyelenggaraan jenazah tidak melibatkan tim petugas kampung untuk menghindari hal-hal yang bid’ah dalam pelaksanaan. Baik ketika memandikan, mengapani dan lainnya. Karena aku sering melihat demikian. Padahal ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anha mengatakan bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda,
«مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
“Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim no. 1718-18)
Aku kembali menghubungi ponsel isteri mendiang bahwa jenazah diselenggarakan di kampung saja. Tiga orang puterinya di Jakarta tak perlu kita tunggu untuk penyelenggaraan ini karena kemungkian tiba mereka di kampung adalah waktu maghrib.
Ketegasan dalam Sunnah, Keteguhan dalam Takwa
Setelah rampung rencana itu, aku shalat zhuhur di masjid tempat biasa aku shalat. Lalu terpikir, di mana nanti jenazah dishalat. Masjid ini jemaah shalat lebih banyak dan dekat dekat kuburan. Akan tetapi kebiasaan masyarakat kaum kami suku Caniago, jenazah adalah dishalat di masjid yang di depan rumah kami atau masjid raya yang antara rumah kami dengan kuburan.
Lalu aku melakukan shalat sunnah istikharah meminta pilihan dan kemudahan kepada Allah subhānahu wata’āla Sang Pemilik takdir, bahwa hati merasa kuat untuk jenazah dishalatkah pada waktu ashar nanti di masjid ini saja. Dengan mobil ambulance dari rumah ke masjid, lalu digotong pakai tandu dari masjid ke pekuburan.
Dada pun lapang sambil bertawakkal, aku mulai mempersiapkan rumah orang tua. Tempat memandikan, tempat mengapani dan lainnya. Satu demi satu pelayat mulai datang ke rumah. Lalu sekitar jam 13.30, jenazah tiba di rumah dibawa mobil ambulance dari Padang, di dampingi sang isteri dan puteri kedua kakakku. Anggota keluarga yang lain datang menyusul dengan beberapa mobil setelah itu.
Sekitar satu jam kemudian, datang tim RPJ Pariaman dengan dua mobil ambulance. Beberapa orang relawan yang akan memandikan dan mengapani jenazah. Mereka membawa alat-alat dan bahan pelaksanaan jenazah secara lengkap. Mereka adalah tim yang telah terlati dan banyak pengalaman. Aku adalah salah seorang pembina dan pelatih mereka.
Kepada keluarga aku beritahukan bahwa kita usahakan jenazah bisa dishalatkan pada waktu waktu ashar di masjid. Karena penyegeraan itu adalah baik sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Nabi shallallāu ‘alaihi wasallam yang telah bersabda,
«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ، فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ»
“Segerakanlah (pemakaman) jenazah. Jika ia orang yang shalih, maka itu adalah kebaikan yang kalian percepat untuknya. Dan jika bukan demikian, maka itu adalah keburukan yang kalian lepaskan dari pundak-pundak kalian.” (HR. Al-Bukhāri no. 1315)
Apalagi anak-anak yang di Jakarta sudah diberi pengertian.
Kita berharap akan banyak yang ikut menyalatkan beliau. Karena ada hadits dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anha, dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam yang telah bersabda,
«مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً، كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ، إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ»
“Tidaklah ada seorang mayit yang dishalatkan oleh suatu kaum dari kaum muslimin yang mencapai seratus orang, semuanya memohonkan syafaat untuknya, melainkan mereka akan diberi izin untuk memberi syafaat kepadanya.” (HR. Muslim no. 947-58)
Sekitar 20 menit sebelum masuk waktu ashar, jenazah telah selesai dimandikan dan dikapani. Salah satu dari tiga kain pembungkusan jenazah, kupakaikan kain ihram yang telah pernah kupakai ke tanah suci dan sering kupakai untuk melatih calon jemaah haji atau jemaah umrah. Kuanggap ini sebagai ganti kain hibarah (bergaris), sebagaimana dalam hadits Jabir radhiyallāhu ‘anhu yang mengatakan bahwa dia telah mendengar Rasululullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda,
«إِذَا تُوُفِّيَ أَحَدُكُمْ فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفَّنْ فِي ثَوْبٍ حِبَرَةٍ»
“Jika salah seorang dari kalian wafat, lalu ia memiliki sesuatu (kemampuan/harta), maka hendaklah ia dikafani dengan kain hibarah.” (HR. Abu Dawud no. 3150)
Ketika jenazah akan dimasukkan ke dalam ambulance untuk dibawa ke masjid, aku menyampaikan sepatah kata mewakili keluarga, berisi permohonan maaf dan ucapan terima kasih atas kehadiran dan doa mereka.
Salah seorang warga yang cukup terpandang di desa membantahku, ketika aku sampaikan bahwa shalat jenazah akan dilakukan di Masjid Nurul Jihad, “Tidak dibuat orang seperti itu. Orang Caniago adalah dishalatkan di Surau Gadang (Masjid Raya). Kalau di Nurul Jihad, terjadi bolak-balik mayat.”
Aku membalas dengan senyum ucapan pedas ini, karena mengharapkan pelaksanaan shalat yang diikuti banyak jemaah.
Ada pula yang berkata, “Kenapa terlalu terlalu cepat dishalatkan. Orang kampung masih sedikit yang datang. Kenapakah tidak ditunggu dulu anak-anaknya yang di Jakarta?”
Aku jawab, “Anak-anaknya sudah diberi tahu tentang ini.”
Padahal pelayat dari teman-teman pengajian, santri dan lainnya telah banyak yang hadir dan telah bersiap-siap untuk shalat. Karena mereka ini ingin dapat pahala ikut shalat jenazah. Sekalipun penduduk kampung kami belum begitu banyak yang hadir. Boleh jadi karena pelaksanaan jenazah begitu cepat.
Lalu jenazah dimasukkan ke dalam mobil ambulance menuju masjid yang hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari rumah kami.
Sekitar sepuluh menit kemudian, masuk waktu ashar. Jenazah dishalatkan setelah shalat ashar berjemaah. Aku mengimami shalat. Kulihat cukup banyak jemaah yang menyalatkan. Mungkin lebih seratus orang.
Lalu jenazah diangkat dengan tandu ke lokasi pekuburan yang hanya beberapa puluh meter saja dari masjid.
Doa dan Harap: Dari Pinggir Kubur Hingga Malam Tenang
Aku memasukkan mayat ke dalam kubur bersama puteraku dan seorang teman dari tim RPJ. Aku masuk ke kuburan karena merasa yakin dalam kondisi tak berhadats besar sejak tadi malam sebagai tuntunan sunnah bagi orang yang meletakkan jenazah di dalam kubur.
Hanya sebentar rasanya, penguburan telah selesai. Lalu berdiri di pinggir kuburan dengan memegang mikropon khusus milik RPJ menyampaikan kembali beberapa patah kata kepada pelayat serta memohon agar semua pelayat berkenan menghadap kiblat sejenak dan mendoakan ampunan bagi mayat dan ketetapan dalam menjawab pertanyaan malaikat. Berdiri dilakukan secara sendiri-sendiri saja.
Dari ‘Utsman bin ‘Affān radhiyallāhu ‘anhu yang menuturkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam apabila telah selesai dari menguburkan mayat, maka beliau berdiri di atas kuburan tersebut, lalu bersabda,
«اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ، وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ»
“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian, dan mintakanlah keteguhan untuknya, karena sekarang ia sedang ditanya.” (HR. Abu Dawud no. 3221)
Sekitar pukul 17 sore, selesai pelayat bubar dan meninggalkan lokasi pekuburan.
Tak ada ceramah takziah malam hari.
Selesai shalat maghrib dan isya, aku mengumpulkan keluarga kakakku. Yang dari Jakarta telah datang. Aku nasehati agar bersabar menghadapi musibah mendadak ini. Lalu aku suruh semua mengingat orang-orang yang ada kemungkinan mendiang ini berhutang kepada mereka. Lalu langsung kami hubungi beberapa dengan ponsel. Alhamdulillah, ada beberapa orang yang menyatakan kerelaan atas hutang dan dimaafkan. Ada beberapa puluh juta rupiah hutang beliau yang diputihkan.
Aku sengaja tidak mengadakan kegiatan ceramah takziah dengan dihadiri masyarakat banyak karena khawatir karena hadis yang dibawa oleh Jarīr bin ‘Abdillah Al-Bajali radhiyallāhu ‘anhu yang mengatakan,
«كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ»
"Kami dahulu menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuatkan makanan (untuk mereka) termasuk bagian dari niyahah (ratapan yang tercela)." (HR. Ibnu Majah no. 1612)
Penutup: Kerelaan Manusia, Tujuan yang Tak Tergapai
Setelah selesai kegiatan itu, ada warga yang berkomentar: “Kalian tidak pandai bermasyarakat. Tidak membuat acara ceramah takziah malam. Lihatlah tidak begitu banyak masyarakat kampung yang hadir. Kan sedikit infak yang terkumpul.” Padahal aku telah membawa keluarga dalam pelaksanaan jenazah ini sesuatu ajaran syari’at dan memang tak kuizinkan hal-hal yang menurutku itu termasuk bid’ah.
Aku hanya ingin pelaksanaan kewajiban terhadap kaki ini terhindar dari hal-hal di luar tuntunan syar’ah, menenteramkan anggota keluarganya dengan diupayakan pembukaan pintu dari orang-orang yang ada masalah dengan, dan kepergiannya ditutup dalam husnul khātimah. Dan aku sadar, bukan banyaknya pelayat yang menjamin husnul khātimah, tapi keikhlasan amal dan kemurnian niat.
Sebagai penutup, kupanjatkan doa agar segala urusan dunia dan akhirat kami disatukan dalam keberkahan Allah subhanahu wata’ala telah mengajarkan permohonan mustajab dalam Surat Al-Furqan: 74:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan anak keturunan kami penyejuk mata, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Amīn, wahai Al-Muhyī Al-Mumīt (Yang Maha Menghidupkan dan Maha Matikan)
Pariaman, Rabu, 22 Dzulhijjah 1446 H/ 18 Juni 2025 M
Tulisan ini diakses di http://mahadalmaarif.com