![]() |
Pengangkatan tuanku di Pondok Pesantren MTI Batang Kabung, Padang. |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Menobatkan Tuanku adalah satu di antara tradisi dalam pendidikan Islam yang bernama Surau Mangaji Duduk (halaqah). Kini surau mengaji duduk sudah mengalami kemajuan menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah ( MTI) dalam perkembanngan terakhir menambah nomeklatur dengan PONDOK PESANTREN.
Termasuk di antaranya Mangaji duduk yang didirikan oleh Syekh Haji Salif Tuanku Sutan, sejak 13 Januari 1955 lalu. Surau itu kini bertranformasi menjadi Pondok Pessntren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PPMTI) dan hari Kamis, 19 Juni 2025 tengah menobatkan Tuanku untuk 59 kalinya.
Menobatkan Tuanku dalam di Minangkabau adalah sebuah prosesi sakral yang menandai pengukuhan seorang calon ulama atau guru agama. Gelar Tuanku diberikan kepada individu yang telah mencapai tingkat keilmuan agama yang tinggi, memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Islam, serta diakui kemampuannya dalam membimbing masyarakat.
Tradisi surau mangaji duduk sendiri merupakan praktik pembelajaran agama Islam yang telah mengakar kuat di Minangkabau. Surau berfungsi sebagai pusat pendidikan, tempat mengkaji Al-Qur'an, Hadis, fikih, tasawuf, dan berbagai ilmu keagamaan lainnya.
Metode mangaji duduk berarti belajar dengan posisi duduk, seringkali melingkar, di mana murid-murid mendengarkan dan berdiskusi dengan guru.
Proses Penobatan Tuanku.
Penobatan Tuanku bukanlah sekadar seremoni, melainkan pengakuan kolektif terhadap kapasitas keilmuan dan spiritual seseorang. Meskipun detailnya bisa bervariasi antar nagari (desa adat) atau kaum (suku), umumnya proses penobatan melibatkan beberapa tahapan:
Pengakuan dari Masyarakat dan Ulama Senior: Calon Tuanku biasanya telah dikenal luas karena kedalaman ilmunya dan kontribusinya dalam membimbing umat. Pengakuan ini bisa datang dari masyarakat umum, sesama ulama, atau tokoh adat yang melihat potensi kepemimpinan agama dalam diri calon.
Ujian Keilmuan dan Praktik:
Meskipun tidak selalu formal dalam bentuk ujian tertulis, calon Tuanku seringkali diuji kemampuannya dalam berdebat, menjelaskan persoalan agama yang rumit, atau memberikan nasihat spiritual. Ini bisa terjadi dalam forum pengajian, pertemuan adat, atau diskusi keagamaan.
Musyawarah dan Mufakat:
Keputusan penobatan Tuanku biasanya diambil melalui musyawarah antara para pemangku adat, ulama senior, dan perwakilan masyarakat. Kesepakatan bersama (mufakat) sangat penting untuk memastikan legitimasi dan penerimaan terhadap Tuanku yang baru.
Upacara Penobatan:
Upacara penobatan dapat dilakukan di surau atau rumah adat, namun selalu mengandung makna mendalam. Dalam upacara ini, Tuanku yang baru bisa jadi diberikan peci, sorban, atau jubah sebagai simbol status dan tanggung jawab barunya. Biasanya juga ada doa bersama, nasihat dari ulama senior, dan janji kesetiaan dari Tuanku untuk mengemban amanah dengan baik.
Penerimaan Tanggung Jawab: Setelah dinobatkan, Tuanku memiliki tanggung jawab besar untuk melanjutkan tradisi pengajaran agama, membimbing umat, menyelesaikan persoalan keagamaan di masyarakat, dan menjadi teladan dalam perilaku sehari-hari.
Peran Tuanku dalam Masyarakat Minangkabau
Tuanku memegang peran sentral dalam menjaga dan mengembangkan nilai-nilai keislaman di Minangkabau. Mereka adalah pemegang obor ilmu, yang meneruskan warisan intelektual Islam dari generasi ke generasi.
Selain mengajar di surau, Tuanku juga seringkali dilibatkan dalam penyelesaian sengketa, memberikan khotbah Jumat, memimpin upacara keagamaan, dan menjadi rujukan utama bagi masyarakat dalam memahami ajaran agama. Kehadiran Tuanku menjadi jaminan bagi keberlanjutan tradisi keilmuan dan spiritual di Minangkabau.
MERAWAT TRADISI
Penobatan Tuanku adalah bentuk nyata merawat tradisi.
Dalam arus deras modernisasi dan globalisasi, ungkapan "Merawat tradisi, mewariskan legacy" menjadi seruan kultural yang sarat makna dan relevansi. Tradisi bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi identitas kolektif yang membentuk karakter suatu bangsa. Sementara legacy atau warisan nilai, pemikiran, dan karya adalah jembatan antara generasi terdahulu dan yang akan datang.
Merawat Tradisi: Menjaga Akar Budaya
Merawat tradisi berarti menjaga akar budaya agar tidak tercerabut oleh zaman. Tradisi ibarat akar pohon yang menyangga kehidupan sosial dan spiritual masyarakat. Dalam konteks Minangkabau misalnya, tradisi Tuanku, dan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah bukan hanya slogan, tetapi sistem nilai yang mengatur kehidupan manusia secara holistik—dari lahir hingga wafat.
Tradisi bukan sesuatu yang stagnan, namun bisa ditransformasikan tanpa kehilangan ruhnya. Dengan pendekatan kritis dan kreatif, tradisi dapat terus tumbuh dan menyesuaikan diri dalam konteks zaman.
Mewariskan Legacy: Meneruskan Jejak Kejayaan
Legacy bukan hanya peninggalan fisik seperti bangunan atau naskah lama, tapi juga warisan pemikiran, akhlak, dan keteladanan hidup. Para ulama, pemimpin adat, dan tokoh bangsa telah mewariskan semangat keilmuan, perjuangan, dan integritas yang harus diteruskan, bukan hanya diperingati.
Mewariskan legacy berarti menyiapkan generasi penerus yang tak hanya hafal sejarah, tetapi mampu menghidupkannya dalam tindakan dan kebijakan. Ini menjadi tugas pendidikan dan kepemimpinan hari ini: membangun sistem pewarisan yang efektif.
Pilar Peradaban Berkelanjutan
Tradisi yang dirawat dan legacy yang diwariskan adalah dua sayap peradaban. Yang satu menjaga dari kehilangan jati diri, yang lain mengantar menuju masa depan yang berkarakter. Jika satu dilupakan, maka akan tumbuh generasi yang tercerabut dari akar dan kehilangan arah.
Oleh karena itu, merawat tradisi dan mewariskan legacy bukan pilihan, tetapi keniscayaan. Sebab dari sinilah lahir peradaban yang berkelanjutan—berakar kuat dan menjulang tinggi.
Kesimpulan:
Penobatan Tuanku adalah inti dari tradisi surau mangaji duduk di Minangkabau, yang kini satu di antaranya terus berkembang di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) dan Pondok Pesantren. Prosesi sakral ini, seperti yang terjadi di PPMTI Batang Kabung Padang untuk ke-59 kalinya, menegaskan pengukuhan seorang ulama yang memiliki kedalaman ilmu agama dan kemampuan membimbing masyarakat. Gelar Tuanku diberikan berdasarkan pengakuan kolektif dari masyarakat dan ulama senior, melalui serangkaian ujian keilmuan, musyawarah mufakat, dan upacara penobatan yang sarat makna.
Sebagai pemegang obor ilmu, Tuanku mengemban tanggung jawab besar dalam menjaga dan mewariskan nilai-nilai keislaman dari generasi ke generasi. Mereka berperan sentral dalam pendidikan agama, penyelesaian sengketa, dan menjadi rujukan utama bagi masyarakat.
Keberadaan Tuanku memastikan keberlanjutan tradisi keilmuan dan spiritual di Minangkabau.
Dalam konteks yang lebih luas, penobatan Tuanku adalah wujud nyata dari upaya "Merawat Tradisi, Mewariskan Legacy: Pilar Peradaban yang Berkelanjutan." Tradisi adalah akar budaya yang membentuk identitas kolektif, sementara legacy adalah jembatan yang meneruskan nilai-nilai luhur kepada generasi mendatang. Dengan merawat tradisi secara adaptif dan mewariskan legacy secara efektif, masyarakat Minangkabau tidak hanya menjaga jati diri, tetapi juga membangun peradaban yang berakar kuat dan menjulang tinggi, memastikan keberlanjutan spiritual dan kultural di tengah arus modernisasi. DS. 19062025.
*Guru Besar UIN Imam Bonjol, alumni MTI Batang Kabung Padang diangkat Tuanku 20 Juni 1988