![]() |
مجلس الحديث النبويّ الشريف
MAJELIS KAJIAN HADITS BERSAMA ZULKIFLI ZAKARIA
DI RUMAH SAKIT TAMAR MEDICAL CENTRE (TMC)
Jl. Basuki Rahmat No.1 Pariaman, Telp (0751) 93277-WA +62823-9204-3467
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
BAHASAN HADITS TENTANG MENGIMANI RASUL
Rabu, 22 Dzulhijjah 1446 H / 18 Juni 2025 M
Teks Hadits:
3445 - حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: سَمِعْتُ الزُّهْرِيَّ، يَقُولُ: أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ عَلَى المِنْبَرِ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لاَ تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ»
Al-Humaidi telah menyampaikan hadits kepada kami, (yang mengatakan bahwa) Sufyan telah menyampaikan kabar kepada kami, yang mengatakan, “Aku telah mendengar Az-Zuhri berkata”, ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah telah menyampaikan kabar kepadaku, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhuma bahwa dia telah mendengar ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu mengatakan di atas mimbar, “Aku telah mendengar Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda,
«لاَ تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ»
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebih-lebihan memuji Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
(Teks HR. Al-Bukhāri no. 3445)
Petikan Pelajaran:
Dalam hadits ini, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam memberikan bimbingan kepada umatnya agar tidak berlebihan dalam memujinya, dan tidak menempatkannya melebihi kedudukannya yang sebenarnya. Beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebih-lebihan memuji Isa putra Maryam.”
Maksudnya: janganlah kalian memujiku dengan cara yang tidak benar atau dengan sifat-sifat yang tidak aku miliki, sebagaimana kaum Nasrani memuji ‘Isa putra Maryam dengan sifat yang bukan miliknya, sampai mereka mengklaim bahwa ia adalah putra Allah — maka dengan itu mereka kafir dan sesat.
Al-Iṭhrā’ (الإِطْراء) adalah: pujian yang berlebihan dan melampaui batas, dan ada pula yang mengatakan maknanya adalah: pujian yang tidak benar dan mengandung kebohongan. Berasal dari akar kata ط-ر-ء yang bermakna memuji secara muluk dan tidak pada tempatnya.
Maka pujian berlebihan (iṭhrāʾ) kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam yang dilarang adalah sikap berlebihan dalam memuji beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam, yaitu dengan memujinya menggunakan sifat-sifat yang merupakan kekhususan Allah subhānahu wata’āla, seperti mengangkat beliau ke derajat keilahian atau memberinya sebagian sifat-sifat Allah subhānahu wata’āla. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh seorang wanita di zamannya ketika memuji beliau:
"Di tengah-tengah kami ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari."
Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam melarangnya, karena ilmu tentang hal ghaib adalah termasuk kekhususan dan sifat Allah.
Sebagaimana Allah subḥānahu wata‘ālā memerintahkan Rasul-Nya untuk mengatakan dalam firman-Nya:
{قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (188)} [الأعراف: 188]
“Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat atau mudarat bagi diriku, kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentu aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak akan ditimpa keburukan. Aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira bagi kaum yang beriman.”
(QS. Al-A‘rāf: 188)
Maka Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui perkara ghaib kecuali apa yang diajarkan Allah kepadanya.
Termasuk dalam larangan ini pula adalah memohon pertolongan kepada beliau, atau berdoa kepadanya selain kepada Allah, atau memujinya dengan kebohongan, sebagaimana sebagian orang memujinya dengan mengatakan bahwa bulan terbelah dan turun untuk memberi salam kepadanya. Memang benar bahwa terbelahnya bulan adalah mukjizat bagi beliau, namun tidak pernah terjadi bahwa bulan turun untuk memberi salam dan tidak ada riwayat shahih dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam yang menetapkan kejadian tersebut.
Termasuk bentuk sikap berlebihan (ghuluw) adalah merayakan hari kelahiran para nabi dan wali, serta menjadikannya sebagai syiar dan sarana pendekatan diri (ibadah) kepada Allah. Padahal, cara yang benar dalam menghormati mereka adalah dengan meneladani perjalanan hidup mereka dan mengikuti sunnah mereka. Karena itu, para sahabat Nabi yang mulia — yang merupakan generasi terbaik, paling mencintai, dan paling memuliakan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam — tidak pernah merayakan hari kelahiran beliau. Jika seandainya perayaan maulid termasuk bagian dari sunnah dan bentuk kecintaan yang disyariatkan, tentu merekalah yang pertama kali akan melaksanakannya.Adapun memuji dan menyanjung beliau tanpa berlebihan, maka hal itu disyariatkan dan dianjurkan. Allah subḥānahu wata‘ālā berfirman:
{إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (8) لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا (9)} [الفتح: 8، 9]
“Sesungguhnya Kami mengutus engkau (wahai Muhammad) sebagai saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan. Agar kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menolongnya, memuliakannya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”
(QS. Al-Fatḥ: 8-9)
Yang dimaksud dengan taʿzīr (التعزير)” adalah menolongnya, sedangkan tawqīr (التوقير) adalah menghormatinya dan menyanjung beliau dengan pujian yang layak.
Kemudian Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya untuk mengatakan tentang dirinya:
“Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Beliau menggabungkan dua sifat: sebagai hamba Allah dan sebagai rasul-Nya — sebagai penyeimbang antara sikap berlebihan dan mengabaikan. Maka beliau menolak sikap berlebihan dan pengagungan yang melampaui batas terhadap dirinya dengan penegasan bahwa beliau hanyalah hamba Allah. Dan beliau menolak sikap meremehkan dan mengabaikan haknya, seperti meninggalkan sunnahnya dan tidak mengikuti jalannya, dengan penegasan bahwa beliau adalah Rasul Allah.
Maka tidak boleh ada ghuluw (berlebihan) dan tidak boleh ada taqṣīr (pengurangan hak) terhadap beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam. Memuji beliau dengan sifat-sifat yang Allah karuniakan dan keutamaan yang Allah berikan adalah hak yang wajib atas setiap makhluk yang Allah utus beliau kepadanya.
Dalam hadits ini juga terdapat:
1. Arahan Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam kepada umatnya untuk bersikap tengah dan adil dalam memuliakan beliau.
2. Dan disebutkannya kesesatan orang-orang sesat berikut penyimpangannya, sebagai peringatan agar tidak terjatuh ke dalam kesesatan yang sama.
Semoga Allah menjaga kita dari sikap berlebihan dan memberikan taufik untuk mencintai Nabi-Nya dengan kecintaan yang lurus dan sesuai petunjuk.
Wallaahu a’lam