Surau Balenggek Balah Hilia Lubuk Alung, tempat Buya Yusuf mengajar dulunya. |
Surau Balenggek di Balah Hilia, adalah sama kedudukannya dengan Surau Gadang di Koto Buruak, Singguliang dan Sungai Abang. Cuma bedanya, di Surau Balenggek tempat mencetak ulama dan intelektual Islam dulunya. Sedangkan di Surau Gadang hal itu tidak ada. Sangat banyak ulama Padang Pariaman yang lahir di Surau Balenggek itu. Mereka belajar agama langsung dengan ulama besar, Buya H. Yusuf namanya. Bahkan, berdirinya MAN Lubuk Alung, yang kini MAN I Padang Pariaman bermula dari Surau Balenggek demikian. Di Surau Balenggek itulah dimulainya sekolah “Persiapan IAIN”, yakni MAN sekarang.
Menurut sejarahnya, Surau Balenggek didirikan tak lama setelah berdirinya Masjid Raya Ampek Lingkuang. Artinya, Surau Balenggek sudah ada paling tidak sejak 80 tahun yang silam. Ikut mewarnai percaturan dunia Islam di zamanya. Buya H. Yusuf dikenal dengan ulama ahli Thariqat Syatthariyah. Beliau bekerja di Mahkamah Syariah (sekarang Pengadilan Agama). Tak heran, asuhan Buya H. Yusuf ini banyak yang jadi pegawai negeri sipil di zamannya.
Buya H. Yusuf adalah orang Ulakan. Lahir pada tahun 1887. Besar dan mengaji di Ulakan. Wafat dan dimakamkan di Surau Balenggek pada tahun 1975, beliau Buya Yusuf sezaman dengan Tuanku Shaliah Kiramaik. Santrinya banyak bedatangan dari berbagai daerah dan wilayah di Padang Pariaman. Di samping diajarkan berbagai kitab kuning, dari berbagai bidang studi, seperti fiqh, tafsir, nahwu, sharaf dan lainnya, para santri Surau Balenggek juga dimatangkan dengan kajian tasawuf, yang dikenal dengan Thariqat Syatthariyah.
Ketua KAN Lubuk Alung, Suharman Datuak Pado Basa melihat fungsi Surau Balenggek sangat besar zaman saisuak. Dinamakan Surau Balenggek, karena surau itu bertingkat dua. Lantai satu untuk shalat berjamaah, dan lantai atas untuk mengaji kitab gundul dan thariqat. "Boleh dikatakan ratusan ulama yang lahir di surau itu. Buya H. Yusuf sendiri sudah merasa orang Lubuk Alung. Sejak dia memulai mengajar, hingga wafat dan dimakamkan di komplek Surau Balenggek itu sendiri," kata dia.
"Hingga kini, Surau Balenggek telah berkali-kali mengalami renovasi. Namun, kondisi pembangunan surau tidak pernah berubah dari berlantai dua. Semua orang tahu, kalau pengaruh Surau Balenggek, Balah Hilia Lubuk Alung sejak dulunya sangat besar. Tetapi, sepeninggal Buya H. Yusuf, nama besar Surau Balenggek pun mulai berkurang. Khalifah Buya H. Yusuf ada. Sebut saja Tuanku Syukur, orang Sungai Asam. Setelah Tuanku Syukur wafat dan dimakamkan di kampungnya, Sungai Asam, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung, Surau Balenggek dikendalikan oleh khalifah berikutnya, Tuanku Malin," kata Datuak Pado Basa.
Setahunya, Tuanku Malin putra Lubuk Alung asli, dan sempat lama mengembangkan kajian thariqat yang dia dapatkan di Surau Balenggek tersebut, dan akhirnya beliau wafat dan dimakamkan di komplek surau itu. Selanjutnya, Tuanku Bonjo. Orang Sungai Limau yang pernah jadi santri Buya H. Yusuf. Tuanku Bonjo sempat kawin dengan orang Lubuk Alung. Tak lama mengembangkan ilmu di Surau Balenggek, akhirnya beliau wafat dan dimakamkan juga di komplek makam Surau Balenggek.
Kini, Surau Balenggek dikendalikan oleh Tuanku Syamsu, orang Pauah, Sicincin yang punya hubungan guru dan murid juga dengan Buya H. Yusuf itu sendiri. Dari sekian banyak khalifah yang mengembangkan ilmunya di Surau Balenggek hingga saat itu, dinilai tak lagi membawa kebesaran nama Surau Balenggek yang dikenal gadang dan hebat pada zaman dulu. Sebab, disamping adanya perbedaan dalam pengembangan kajian, juga pengaruh kebesaran seorang ulama zaman dulu yang tak bisa diturunkan kepada santri atau muridnya.
Menurut Datuak Pado Basa, saat ini Surau Balenggek hanya berfungsi sebagai tempat anak-anak mengaji Quran, dan menjelang serta selama bulan puasa dilakukan acara ritual sembahyang 40 hari. Disamping juga ada acara ritual mingguan, seperti wirid pengajian, dan peringatan hari besar Islam. Kajian kitab kuning tak ada lagi. Pendalaman kajian thariqat mungkin sudah terbatas, dan tak sehebat dulu lagi.
"Kita sangat merindukan peran Surau Balenggek seperti dulu. Waktu dulu orang belum seberapa. Tetapi mampu mengisi kekosongan yang terjadi dalam membangun dunia intelektual Islam. Sekarang malah sebaliknya. Orang semakin banyak. Pertumbuhan penduduk semakin kencang, namun pengaruh ulama semakin redup pula. Agaknya ini perlu jadi kajian tersendiri oleh seluruh pihak dalam Nagari Lubuk Alung. Kini, Surau Balenggek sudah ditinggalkan banyak orang. Bahkan, letaknya saja membuat kita ngeri. Lihatlah, bila musim kemarau, debu memenuhi surau, yang membuat surau kumal dan kotor. Kalau musim hujan, lumpur sampai kehalaman surau, karena letak surau yang berpas-pasan dengan pintu keluar masuk mobil pengangkut galian C," ujarnya.
Adimas Tanjung, tokoh masyarakat Balah Hilia Lubuk Alung yang penah 17 tahun jadi Ketua Surau Balenggek menyebutkan, Surau Balenggek di samping berlantai dua, yang mencetuskan pembangunan surau ini juga bernama Lenggek. “Sewaktu Buya Yusuf Surau Balenggek memang semarak luar biasa. Pengembangan pendidikan semua lapisan masyarakat, kajian anak siak tetap, wirid mingguan menjadi pemicu Surau Balenggek ternama dan disebut banyak orang,” kata Adimas Tanjung.
“Wirid setiap Senin malam dulu itu jadi primadona. Jemaah pada umumnya datang dari darek, Padang Panjang dan Tanah Datar. Sambil mengikuti wirid, jemaah ini sebagiannya bermalam di Surau Balenggek, karena besoknya, Selasa langsung jualan di Pasar Lubuk Alung,” ulas Adimas.
Buya Yusuf orang Ulakan, tetapi sudah merasa orang Lubuk Alung. Itu yang ditanggap masyarakat dulunya. Istrinya orang Pakandangan. Kakinya kecil sebelah, sehingga dalam berjalan tampak dia seperti orang yang pincang. Olehnya istrinya, anak-anak kampung, terutama yang perempuan dididik di Sekolah Keputrian (SKP). Sekolah ini dinilai hebat dulunya. Masyarakat perempuan Lubuk Alung dan sekitarnya banyak yang belajar di SKP itu bersama istri Buya Yusuf.
Di samping itu, Buya Yusuf juga sering mendatangi jemaah. Dia sering memberikan pengaji ke darek. Punya jadwal tertentu dan khusus tentunya. Bisa dikatakan, kian banyak jemaah yang berwirid di Surau Balenggek, dan kian sering pula Buya Yusuf ini keluar mendatangi jemaah. Namun, wirid atau pengajian untuk yang tua-tua setiap Senin malam, tak pernah absen.
Pergerakan NU
Sering didatangi oleh ulama, terutama yang seangkatan dengan beliau Buya Yusuf ini, maka pergerakan secara struktural, Buya Yusuf terkenal sebagai salah satu penggerak Nahdlatul Ulama. “Saya mulai jadi pengurus itu sejak 1950 an, hingga 17 tahun berikutnya. Sering saya ikut dan tahu ada pergerakan NU. Tapi apakah NU kabupaten atau kecamatannya saya tak banyak tahu soal itu,” sebut Adimas Tanjung.
Mungkin lewat pergerakan ini pula, kalau hasil asuhan Buya Yusuf banyak yang berkarir di pegawai, jadi guru, dan bahkan ada yang jadi politisi. Sepertinya, Buya Yusuf, tokoh ulama yang malin fiqh, tasawuf, nahwu, sharaf dan kajian lainnya. “Disebut demikian, Surau Balenggek sering dijadikan sebagai tempat halaqah. Tempat melahirkan pemikiran yang bernas, memutuskan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan yang sedang berkembang dengan landasan yang dicari dalam kitab yang ditulis oleh ulama zaman dulu,” kata Adimas Tanjung.
Nagari Balah Hilia Lubuk Alung
Balah Hilia Lubuk Alung duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan Sungai Abang Lubuk Alung, Singguliang Lubuk Alung, Salibutan Lubuk Alung. Nagari Balah Hilia Lubuk Alung terdiri dari sembilan korong, yakni Balah Hilia Utara, Palayangan, Pasa Kandang, Kampung Tangah, Kampung Ladang, Kampung V Koto, Pasa Jambak, Kabun Baru, dan Kampung Sabalah. Terkenal sebagai nagari yang gemuk alias padat penduduk di Kecamatan Lubuk Alung. (AD)
Referensi:
http://tuankuadamanhuri.blogspot.com/2012/08/surau-balenggek-telah-melahirkan.html
Wawancara dengan almarhum Suharman Datuak Pado Basa, Senin 13 Agustus 2012
Wawancara dengan Adimas Tanjung, Jumat 13 Juni 2015