![]() |
الصَّلَاةُ وَالْحَجُّ عَنِ الْمَيِّتِ: بَيْنَ رَحْمَةِ الشَّرِيعَةِ وَدِقَّةِ الْفِقْهِ
Bismillāhirrahmānirrahīm
Menjawab Pertanyaan tentang Shalat Ghaib dan Badal Haji bagi Seorang Ibu yang Wafat di Tanah Suci
Sejak Buk Fulanah wafat di Makkah pada hari Ahad lalu, beberapa kali salah seorang puterinya yang berdomisili di Kota Pariaman menghubungiku dengan telepon. Ia mengkonsultasikan beberapa perkara penting seputar kematian ibundanya. Dua pertanyaan mendasar yang ia ajukan adalah seputar hukum shalat ghaib dan badal haji bagi almarhumah.
1. Shalat Ghaib: Perlukah Jika Telah Disalatkan di Masjid al-Haram?
Putrinya mengabarkan bahwa jenazah ibunda mereka telah dishalatkan di Masjid al-Haram pada waktu Ashar. Maka ia bertanya: Apakah kami yang di kampung juga perlu melaksanakan shalat ghaib?
Aku jawab dengan singkat: “Tidak perlu, karena telah dishalatkan oleh sekian banyak kaum muslimin di Masjid al-Haram.”
Jawaban ini merujuk pada salah satu pendapat yang dirinci oleh para ulama dalam bab shalat jenazah secara ghaib.
Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim menulis:
“Para ulama memiliki tiga pendapat dalam masalah ini:
Pertama:
Boleh melaksanakan shalat atas jenazah yang ghaib (tidak berada di tempat), dan ini adalah pendapat Imam asy-Syāfi‘ī serta Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya.
Dasar mereka dalam bab ini adalah bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam mengabarkan wafatnya Raja An-Najāsyi kepada orang-orang pada hari beliau wafat, lalu beliau keluar bersama mereka menuju tempat shalat (lapangan), dan melaksanakan shalat jenazah atasnya dengan empat kali takbir.
Kedua:
Tidak boleh melaksanakan shalat atas jenazah ghaib. Mereka berpendapat bahwa shalat Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam terhadap Raja An-Najāsyi adalah kekhususan (khushūṣiyyah) bagi beliau dan tidak bisa digeneralisasi. Ini adalah pendapat Imam Mālik dan Abu Hanīfah.
Ketiga:
Ada rincian: Boleh melaksanakan shalat jenazah atas orang yang wafat di suatu tempat yang tidak ada seorang pun yang menshalatinya. Namun, jika di tempat wafatnya ia telah dishalatkan oleh kaum muslimin, maka tidak perlu dishalatkan lagi secara ghaib, karena kewajiban (fardhu kifāyah) telah gugur dengan shalat yang sudah dilakukan.
Ini adalah pendapat Syaikh al-Islām Ibn Taymiyyah rahimahullāh, dan juga dipilih oleh al-‘Allāmah Ibn ‘Utsaimīn rahimahullāh.
Dalil mereka: tidak terdapat riwayat bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat atas jenazah ghaib kecuali terhadap Raja An-Najāsyi. Hal itu karena beliau wafat di tengah-tengah umat yang musyrik, bukan ahli shalat. Sekalipun ada yang beriman dari mereka, mereka tidak mengetahui tata cara shalat jenazah.” (Shahih Fiqh As-Sunnah wa Adillatuh , Kairo, Dar at-Taufiq li at-Turats, , 1/572-573)
Dalil pernah dilakukan shalat ghaib tersebut ialah riwayat ini:
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, ia berkata: telah mengabarkan kepada kami Hisyām bin Yusuf, bahwa Ibnu Jurayj telah mengabarkan kepada mereka, ia berkata: telah mengabarkan kepadaku ‘Athā’, bahwa ia mendengar Jābir bin ‘Abdillāh radhiyallāhu ‘anhumā berkata:
Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
«قَدْ تُوُفِّيَ اليَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الحَبَشِ، فَهَلُمَّ، فَصَلُّوا عَلَيْهِ»
“Hari ini telah wafat seorang lelaki shalih dari negeri Habasyah (Ethiopia). Mari, shalatlah kalian untuknya.”
Jābir berkata: “Maka kami pun berbaris, lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam menshalatkannya, dan kami bershaf di belakang beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 1320)
Hadits ini menunjukkan satu-satunya kasus Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam melakukan shalat ghaib, karena Raja An-Najāsyi wafat di tengah kaum musyrikin yang tidak menshalatinya.”
2. Badal Haji: Bolehkah Jika Beliau Baru Melakukan Umrah Tamattu’?
Pertanyaan kedua lebih kompleks. Sang ibu wafat dalam keadaan baru selesai melaksanakan umrah tamattu’, dan belum berihram untuk haji. Maka sang anak bertanya, “Apakah perlu kami menggantikannya melaksanakan haji (badal haji)?”
Aku jawab: Boleh, karena secara lahiriah, mendiang itu belum memulai ihram haji. Dalam syariat, kita diperintahkan menilai dari yang tampak, bukan dari batin seseorang.
Dalil dari hadits yang sangat kuat terdapat dalam:
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa: Seorang wanita datang kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam dan berkata:
“Sesungguhnya ibuku telah bernazar untuk menunaikan ibadah haji, namun ia meninggal dunia sebelum sempat berhaji. Apakah aku boleh menghajikannya?”
Beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam menjawab:
«نَعَمْ، حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ؟»
“Ya, hajikanlah dia. Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki utang, apakah kamu akan melunasinya?”
Wanita itu menjawab: “Ya.”
Maka beliau bersabda:
«اقْضُوا اللَّهَ الَّذِي لَهُ، فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ»
“Tunaikanlah (hak) Allah, karena Allah lebih berhak untuk dipenuhi (hak-Nya).” (HR. Al-Bukhari no. 7315)
Dan ada sebuah fatwa dari Syaikh Bin Baz rahimahullāh ketika menjawab pertanyaan:
96 – Hukum Bagi Orang yang Niat Fardhu Haji dan Meninggal di Jalan
Pertanyaan:
“Ayahku telah berniat untuk menunaikan fardhu haji, namun di tengah perjalanan ia meninggal karena kecelakaan, tertabrak mobil. Apakah ia dianggap sebagai seorang haji, atau apakah kita wajib menunaikan haji atas namanya?”
Jawaban:
“Jika ia meninggal sebelum memasuki ihram, maka hajinya tetap sah selama ia mampu menunaikannya. Jika ia meninggal dan meninggalkan harta, maka wajiblah kamu menunaikan haji atas namanya (dari hartanya). Jika semasa hidupnya ia mampu dan termasuk orang kaya, maka kamu wajib menunaikan haji atas namanya. Dan jika sebagian dari kalian menunaikan haji atas nama ayahnya sebagai amal jariah, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan.
Namun, jika kematiannya terjadi setelah ia masuk dalam keadaan ihram untuk haji, maka tidak ada kewajiban apa pun untuknya. Hal ini karena Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wasallam, ketika salah seorang sahabat meninggal di ‘Arafat, beliau bersabda: “Sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengenakan pakaian ihram.” Beliau tidak memerintahkan untuk menunaikan haji atas namanya, melainkan bersabda: “Bersihkanlah (jenazahnya) dengan air dan daun sidr, kemudian kafankanlah dia dalam pakaian ihramnya, dan janganlah kalian mengawetkan jasadnya,” maksudnya, jangan kalian beri wewangian pada tubuhnya, “dan janganlah kalian beri minyak pada kepalanya maupun wajahnya; karena sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengenakan pakaian ihram.”
Ini menunjukkan bahwa dia tetap dalam keadaan ihram dan tidak ada kewajiban bagi orang lain untuk menunaikan haji atas namanya.”(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Al-Syuwa’ir, 17/128)
Namun aku tambahkan pula: pada kondisi saat ini, Pemerintah Arab Saudi memberlakukan aturan yang sangat ketat dalam pelaksanaan haji, termasuk soal izin dan visa badal haji. Maka, jika berhasil menemukan orang terpercaya dan legal untuk melaksanakan badal haji tersebut, silakan dilakukan.
Kematian dalam Perjalanan Ibadah: Apakah Sudah Dicatat sebagai Amal Sempurna?
Sebagai penghibur dan penguat hati sang anak, aku sampaikan pula hadits Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam berikut:
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ خَرَجَ حَاجًّا فَمَاتَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ الْحَاجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ خَرَجَ مُعْتَمِرًا فَمَاتَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ الْمُعْتَمِرِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ خَرَجَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمَاتَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ الْغَازِي إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ»
“Barangsiapa yang keluar (berangkat) untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia, maka Allah akan mencatat baginya pahala haji sampai Hari Kiamat. Dan barangsiapa yang keluar untuk berumrah, lalu ia meninggal dunia, maka Allah akan mencatat baginya pahala umrah sampai Hari Kiamat. Dan barangsiapa yang keluar berjihad di jalan Allah, lalu ia meninggal dunia, maka Allah akan mencatat baginya pahala mujahid (orang yang berjihad) sampai Hari Kiamat." (Musnad Abī Ya‘lā, 11/238, no. 6357)
Sungguh, rahmat Allah tak bertepi. Keberangkatan almarhumah ke tanah suci dalam niat ibadah sudah cukup menjadi sebab pahala besar yang akan terus dicatat oleh Allah subhanahu wata‘ala.
Menilai dari yang Tampak, Serahkan Batin kepada Allah
Akhirnya, aku sampaikan sebuah rambu-rambu penting yang menjadi kaidah dalam menilai amal manusia, yaitu sebuah ungkapan populer ulama fiqih:
نَحْنُ نَحْكُمُ بِالظَّوَاهِرِ وَاللهُ يَتَوَلَّي السَّرَائِرَ
“Kita menetapkan hukum berdasarkan aspek-aspek lahiriah sedangkan Allah subhānahu wata’āla yang mengurus aspek batin (rahasia).”
Ungkapan di atas sesuai dengan riwayat berikut:
Dari ‘Ubaydullāh bin ‘Adiyy bin al-Khiyār: Bahwa ada seorang laki-laki membisikkan sesuatu kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wasallam (berbicara diam-diam dengannya), dan kami tidak mengetahui apa yang dibisikkan, hingga akhirnya Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wasallam mengeraskan suaranya (menjelaskan). Ternyata dia meminta izin kepada beliau untuk membunuh seorang dari kalangan munafik.
Maka Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wasallam bersabda:
«أَلَيْسَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ؟»
“Bukankah dia bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?”
Orang itu menjawab: “Benar.” (Lalu ia berkata): Namun kesaksiannya tidak ada nilainya. (Artinya: Orang yang meminta izin untuk membunuh menganggap bahwa kesaksian dan shalat mereka tidak ada nilainya karena dilakukan atas dasar kemunafikan, bukan karena keimanan yang benar.) Akan tetapi Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wasallam bersabda:
« إِنِّي مُنِعْتُ مِنْ قَتْلِهِمْ، لِأَنَّهُ لَيْسَ لَنَا إِلَّا الظَّاهِرُ مِنْ أَعْمَالِهِمْ، أَمَّا الْقُلُوبُ فَاللَّهُ أَدْرَى بِهَا، وَهُوَ الْمُجَازِي بِمَا فِيهَا»
“Sugguh aku dilarang untuk membunuh mereka, karena kita hanya menilai berdasarkan lahiriah amal perbuatan mereka, adapun isi hati maka itu adalah urusan Allah yang lebih mengetahui dan akan membalas sesuai isi hati tersebut.”
Ini sebagaimana sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wasallam:
“Aku diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan yang tampak, dan Allah-lah yang mengetahui rahasia hati.”)
Kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wasallam bersabda lagi:
«أَلَيْسَ يُصَلِّي؟»
“Bukankah dia juga shalat?”
Dia menjawab: “Benar.” Namun shalatnya tidak ada nilainya.
Maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wasallam bersabda:
«أُولَئِكَ الَّذِينَ نَهَانِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ»
“Mereka itulah orang-orang yang Allah Ta‘ala melarangku dari (membunuh) mereka.” (Musnad Asy-Syafi’i – Tartīb As-Sindī, 1/13–14, no. 8)
Kita hanya menilai berdasarkan lahiriah. Bila seorang muslim wafat dalam perjalanan ibadah, shalatnya ditunaikan oleh kaum muslimin, dan niat hajinya nyata, maka urusan selebihnya serahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui isi hati.
Penutup
Semoga tulisan ini menjadi jawaban ilmiah dan penghibur hati. Bahwa ibu yang wafat di Tanah Suci, dalam suasana ibadah, dan dishalatkan di Masjid al-Haram, adalah tanda husnul khatimah. Dan bila haji belum sempurna, maka niat dan ikhtiar keluarga untuk membadalkan adalah bentuk keshalihan anak yang tak akan sia-sia.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْفَعْ دَرَجَتَهَا فِي الْمَهْدِيِّينَ، وَاخْلُفْهَا فِي عَقِبِهَا فِي الْغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهَا يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، وَافْسَحْ لَهَا فِي قَبْرِهَا وَنَوِّرْ لَهَا فِيهِ
"Yā Allāh, ampunilah dia (perempuan itu), dan angkatlah derajatnya di kalangan orang-orang yang mendapat petunjuk. Berilah pengganti (kebaikan) untuknya pada keturunannya yang masih hidup. Ampunilah kami dan dia, wahai Rabb seluruh alam. Lapangkanlah kuburnya dan terangilah ia di dalamnya."
Āmīn.
Pariaman, 2 Dzulhijjah 1446 H / 29 Mei 2025 M
Tulisan ini diakses di http: //mahadalmaarif.com