![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Al-Qur'an sebagai pedoman hidup umat manusia sepanjang zaman memberikan pelajaran dengan berbagai metode. Satu di antaranya dengan metode kisah. Kisah Iblis, Adam dan Qabil adalah bahan ajar yang tepat dipakai untuk melakukan terapi psikologis bagi mereka yang mengalami gangguan psikologis atau memiliki masalah kesehatan mental. Kisah Iblis, Adam, dan Qabil dalam perspektif psikologis memiliki banyak pelajaran yang dapat diambil terkait sifat manusia, konflik batin, dan konsekuensi dari tindakan tertentu.
Berikut adalah dampak psikologis dari masing-masing tokoh dalam kisah tersebut:
1. Iblis – Kesombongan dan Penolakan.
Iblis menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam karena merasa lebih unggul. Ini mencerminkan sifat kesombongan, ego yang berlebihan, dan ketidakmampuan menerima perbedaan. Dampak psikologisnya bisa berupa dendam dan kebencian terhadap pihak yang dianggap lebih rendah atau tidak pantas mendapatkan keistimewaan. Gangguan narsistik, di mana seseorang merasa lebih baik dari yang lain dan sulit menerima kekalahan. Perilaku destruktif karena dorongan untuk membuktikan bahwa dirinya lebih baik, meskipun harus merugikan orang lain.
2. Adam – Penyesalan dan Penerimaan.
Nabi Adam tergoda oleh Iblis untuk memakan buah yang dilarang, tetapi ia segera menyadari kesalahannya dan bertobat. Ini menggambarkan konsep penyesalan dan pertumbuhan spiritual. Dampak psikologisnya rasa bersalah dan introspeksi, yang bisa mengarah pada perkembangan diri atau malah keterpurukan jika tidak diolah dengan baik. Kemampuan untuk menerima kesalahan dan belajar dari pengalaman, yang dapat meningkatkan ketahanan psikologis (resilience). Motivasi untuk memperbaiki diri, yang membantu seseorang menjadi lebih baik setelah menghadapi kegagalan.
3. Qabil – Kecemburuan dan Agresi.
Qabil membunuh saudaranya, Habil, karena iri terhadap keberhasilannya dalam mendapatkan ridha Allah. Kisah ini menunjukkan bahaya kecemburuan yang tidak terkendali. Dampak psikologisnya rasa iri yang berlebihan dapat memicu agresi dan perilaku destruktif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Konflik batin dan rasa bersalah setelah melakukan tindakan yang salah, yang bisa berujung pada gangguan mental seperti depresi atau kecemasan. Kehilangan kontrol diri, yang sering kali menjadi penyebab utama tindakan kriminal dan kekerasan dalam kehidupan nyata.
Tiga kisah di atas mengajarkan banyak aspek psikologis yang masih relevan dalam kehidupan sehari-hari. Kesombongan (Iblis), penyesalan dan pertobatan (Adam), serta kecemburuan dan agresi (Qabil) adalah emosi dan perilaku yang sering muncul dalam diri manusia. Memahami kisah ini dari sudut pandang psikologi dapat membantu kita mengendalikan emosi, menghindari perilaku destruktif, dan menjadi pribadi yang lebih baik.
GANGGUAN MENTAL ATAU KESEHATAN MENTAL
Manusia dihadapkan kepada keadaan yang membuatnya tidak nyaman, disebut dengan sakit. Ada dua penyakit fisik (badan) dan ada penyakit psikis (jiwa), sering juga disebut sakit yang berhubungan dengan psikologis. Penyakit psikologis, atau gangguan mental, adalah kondisi yang mempengaruhi pikiran, emosi, dan perilaku seseorang, sering kali mengganggu kehidupan sehari-hari.
Beberapa jenis utama penyakit psikologis adalah gangguan kecemasan. Gangguan Kecemasan Umum (GAD) yakni kecemasan berlebihan terhadap berbagai hal tanpa alasan jelas. Gangguan Panik berupa serangan panik tiba-tiba dengan gejala fisik seperti jantung berdebar dan sesak napas. Fobia Spesifik berupa ketakutan ekstrem terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak berbahaya, seperti ketinggian atau hewan tertentu. Gangguan Obsesif-Kompulsif (OCD yaitu pikiran obsesif yang menyebabkan perilaku kompulsif untuk meredakan kecemasan.
Ada lagi gangguan mood (Suasana Hati). Depresi yaitu perasaan sedih berkepanjangan, kehilangan minat, kelelahan, dan bisa disertai pikiran untuk mengakhiri hidup. Gangguan Bipolar berupa perubahan suasana hati ekstrem antara mania (energi tinggi, impulsif) dan depresi. Gangguan Psikotik. Skizofrenia, halusinasi, delusi, dan pemikiran yang kacau yang membuat sulit membedakan kenyataan. Gangguan Kepribadian.
Gangguan Kepribadian Antisosial, tidak memiliki empati dan sering melanggar norma sosial. Gangguan Kepribadian Narsistik. Merasa diri sangat penting dan kurang empati terhadap orang lain. Gangguan Kepribadian Borderline. Emosi tidak stabil, ketakutan ditinggalkan, dan impulsif.
Gangguan Makan. Anoreksia Nervosa takut makan dan ingin sangat kurus, meski sudah sangat kurus. Bulimia Nervosa, makan berlebihan lalu memuntahkan makanan atau menggunakan obat pencahar. Gangguan Stres dan Trauma. Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD), trauma akibat kejadian buruk, seperti kecelakaan atau kekerasan. Gangguan Stres Akut. Reaksi langsung setelah mengalami trauma yang bisa berkembang menjadi PTSD.
Gangguan Perkembangan dan Neurokognitif. Autisme, kesulitan dalam komunikasi dan interaksi sosial.
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Sulit fokus, hiperaktif, dan impulsif. Demensia. Penurunan fungsi otak yang memengaruhi ingatan dan kognisi, seperti Alzheimer. Gangguan psikologis bisa diatasi dengan terapi psikologis, obat-obatan, atau kombinasi keduanya, tergantung pada tingkat keparahannya.
Fungsi ajaran Islam lebih focus pada terapi psikologis berbasis nilai, norma dan bimbingan Islam. Terapi psikologis, atau psikoterapi, adalah proses profesional di mana seseorang bekerja dengan psikolog atau terapis untuk memahami, mengatasi, dan meredakan masalah emosional, mental, atau perilaku. Terapi ini bisa membantu individu menghadapi stres, kecemasan, depresi, trauma, gangguan kepribadian, atau masalah hubungan.
Dalam keilmuan psikologis ada berbagai jenis terapi psikologis, di antaranya Terapi Kognitif Perilaku (CBT). Fokus pada cara berpikir dan perilaku yang mempengaruhi emosi. Terapi Psikoanalisis dan Psikodinamis . Mengeksplorasi pengalaman masa lalu dan alam bawah sadar. Terapi Humanistik. Meningkatkan kesadaran diri dan potensi individu. Terapi Sistem Keluarga. Menangani masalah dalam hubungan keluarga. Terapi Eksistensial dan Mindfulness. Membantu memahami makna hidup dan menerima keadaan saat ini.
Terapi bisa dilakukan secara individu, kelompok, pasangan, atau keluarga, tergantung pada kebutuhan klien.
Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan psikologis dan kualitas hidup. Islam juga bertujuan untuk kesejahteraan jiwa (mutmainah) dan kualitas hidup (hasanah fiddunya wal akhirah). Kesamaan tujuan terapi psikologis dengan gool yang hendak dicapai syariat Islam, satu di antaranya puasa, maka beralasan puasa dipromosikan sebagai terapi psikologis.
PUASA DAN DAMPAK PSIKOLOGIS
Diskursus tentang puasa sebagai terapi psikologis berangkat dari pemahaman bahwa puasa tidak hanya berfungsi sebagai ibadah ritual, tetapi juga memiliki dampak signifikan pada kesehatan mental. Dalam konteks ini, ada beberapa perspektif yang bisa dibahas di antaranya puasa sebagai pengendalian diri. Puasa melatih kesabaran, menahan emosi negatif, dan meningkatkan self-control, yang berperan dalam mengatasi stres dan gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi. Puasa dan regulasi emosi dengan menahan diri dari makan, minum, dan hawa nafsu, individu dilatih untuk lebih sadar akan emosinya, sehingga bisa lebih stabil secara psikologis.
Puasa dan dampak psikologisnya dapat dipahami dari kisah dalam Al-Qur'an. Iblis dicap sebagai makhluk terlaknat menunjukkan dampak psikologis dari kesombongan dan penolakan terhadap perintah Allah. "(Allah) berfirman, "Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?" (Iblis) menjawab, "Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.""(QS. Al-A'raf 7: Ayat 12).
Adam walaupun juga pernah melanggar perintah Allah sehingga pindah ke dunia. Sejatinya mengajarkan pentingnya tobat dan pemulihan psikologis setelah melakukan kesalahan."Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang."(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 37).
Qabil anak Nabi Adam as yang membunuh saudaranya, karena tidak puas atas perintah ayahnya dan dengki pada saudaranya sendiri Habil adalah kisah yang mengilustrasikan bagaimana kecemburuan dan amarah yang tidak terkendali dapat berujung pada tindakan destruktif. "Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, "Sungguh, aku pasti membunuhmu!" Dia (Habil) berkata, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.""(QS. Al-Ma'idah 5: 27).
Efek Puasa terhadap Neurotransmitter. Penelitian modern menunjukkan bahwa puasa dapat meningkatkan produksi serotonin dan dopamin, yang berperan dalam meningkatkan suasana hati dan ketenangan pikiran.
Puasa sebagai Terapi Spiritual dan Psikologis. Kombinasi antara aspek spiritual (kedekatan dengan Allah) dan aspek psikologis (kesadaran diri) menjadikan puasa sebagai metode terapi yang komprehensif bagi kesehatan mental.
Diskursus ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan menghubungkan konsep-konsep dalam Islam dengan temuan psikologi modern,( QS. Al-Baqarah: 183). Ayat ini menunjukkan bahwa puasa memiliki tujuan spiritual dan psikologis, yaitu membentuk ketakwaan, yang berkaitan dengan pengendalian diri dan kesehatan mental. Dalam Surat Al-Baqarah: 45..."Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Ulama menafsirkan bahwa "sabar" dalam ayat ini mencakup puasa, karena puasa adalah latihan kesabaran yang berdampak pada ketenangan jiwa.
HR. Bukhari & Muslim, "Puasa itu perisai. Maka janganlah seseorang berkata kotor atau berbuat bodoh. Jika seseorang memusuhinya atau mencacinya, hendaklah ia berkata: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’Hadis ini menunjukkan bahwa puasa adalah metode untuk menahan diri dari emosi negatif, yang berkontribusi pada kestabilan psikologis.
Dalam HR. Ahmad (8858) & Ibnu Majah (1690) berkaitan dengan pengendalian diri...artinya "Barang siapa yang mampu menikah, maka menikahlah. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai baginya.". Ulama menafsirkan bahwa puasa membantu mengendalikan dorongan nafsu dan menjaga keseimbangan emosional.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga mengontrol hawa nafsu, emosi, dan amarah. Ia menekankan bahwa puasa adalah metode efektif untuk membersihkan jiwa dan menenangkan hati.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Zad al-Ma’ad menyatakan bahwa puasa memiliki manfaat spiritual dan medis, termasuk untuk menenangkan jiwa dan meredam gejolak emosional yang dapat menyebabkan gangguan psikologis.
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa puasa adalah cara efektif untuk menjaga kestabilan mental, menghindari tindakan impulsif, dan mendekatkan diri kepada Allah, yang berkontribusi pada ketenangan batin.
Pendapat Ilmuwan Dr. Mark Mattson (neuroscientist, Johns Hopkins University) dalam penelitiannya tentang intermittent fasting menemukan bahwa puasa dapat meningkatkan produksi BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor), yang membantu dalam regenerasi sel otak dan mengurangi stres serta depresi. Dr. Yoshinori Ohsumi (pemenang Nobel 2016 di bidang kedokteran) menjelaskan bahwa puasa mengaktifkan proses autophagy yang tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan fisik tetapi juga membantu meningkatkan ketahanan mental dan fokus.
Dr. Habibullah Dashti dalam risetnya tentang puasa Ramadan menemukan bahwa puasa dapat meningkatkan keseimbangan hormon serotonin dan dopamin, yang berperan dalam meningkatkan suasana hati dan mengurangi kecemasan. Dr. Richard J. Davidson (ahli neuropsikologi) menyebutkan bahwa latihan pengendalian diri seperti puasa memiliki efek positif dalam meningkatkan kecerdasan emosional dan ketahanan psikologis terhadap tekanan hidup.
Puasa tidak hanya sebagai ibadah fisik tetapi juga sebagai terapi psikologis yang terbukti dalam Islam dan ilmu pengetahuan modern. Dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis menunjukkan bagaimana puasa dapat membantu mengendalikan emosi dan meningkatkan ketakwaan. Pendapat ulama menegaskan bahwa puasa adalah metode efektif dalam menjaga kesehatan mental, sementara penelitian ilmiah mendukung bahwa puasa dapat meningkatkan fungsi otak, mengurangi stres, dan menyeimbangkan hormon yang berhubungan dengan kesehatan jiwa.
Konklusi: Terapi Psikologis dalam Kisah Al-Qur’an.
Al-Qur'an tidak hanya berfungsi sebagai pedoman hidup, tetapi juga sebagai sumber terapi psikologis yang membantu manusia mengatasi berbagai gangguan mental dan emosional. Salah satu metode yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah kisah-kisah para nabi dan tokoh terdahulu, yang mengandung pelajaran mendalam tentang sifat manusia, konflik batin, dan cara menghadapi berbagai tantangan hidup.
Kisah Iblis, Adam, dan Qabil memberikan gambaran jelas tentang berbagai kondisi psikologis manusia. Iblis melambangkan kesombongan dan ego yang berlebihan, yang dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan narsistik dan perilaku destruktif. Adam mengajarkan penyesalan dan penerimaan, yang penting dalam proses pemulihan psikologis. Sementara itu, Qabil menggambarkan kecemburuan dan agresi, yang jika tidak dikendalikan dapat berujung pada perilaku kriminal dan gangguan mental seperti depresi serta rasa bersalah yang berkepanjangan.
Selain itu, ajaran Islam juga menawarkan terapi psikologis berbasis nilai-nilai agama, seperti puasa, yang terbukti secara ilmiah dapat membantu menstabilkan emosi, meningkatkan self-control, dan mengurangi stres serta kecemasan. Para ulama, seperti Al-Ghazali, Ibnu Qayyim, dan Imam Nawawi, menekankan bahwa puasa bukan hanya ibadah fisik, tetapi juga latihan untuk mengendalikan hawa nafsu dan menjaga keseimbangan emosional.
Temuan ilmiah modern, termasuk penelitian oleh Dr. Mark Mattson, Dr. Yoshinori Ohsumi, dan Dr. Richard J. Davidson, semakin memperkuat bahwa puasa dapat meningkatkan produksi serotonin dan dopamin, yang berperan dalam memperbaiki suasana hati dan mengurangi risiko gangguan psikologis.
Dengan demikian, terapi psikologis dalam Islam bukan hanya sekadar konsep keagamaan, tetapi juga memiliki dasar ilmiah yang kuat. Al-Qur’an dan hadis menawarkan solusi holistik yang mencakup aspek spiritual, mental, dan emosional untuk membantu manusia mencapai ketenangan jiwa (mutmainnah) dan kualitas hidup yang lebih baik di dunia maupun akhirat.ds.10032025.
*Guru Besar dan Dosen Tasawuf dan Psikoterapi Islam Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol