![]() |
لَحَظَاتٌ فِي اسْتِقْبَالِ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Siang ini, aku kembali melangkah menuju Masjid al-Haram, sekitar sembilan puluh menit sebelum adzan shalat Zhuhur. Udara Makkah terasa lebih sejuk setelah hujan ringan sejak pagi. Langit mendung membentang di atas kota suci ini, memberikan keteduhan yang berbeda dibandingkan kemarin, saat terik matahari begitu menyengat.
Kemarin, saat berjalan dalam panas yang membakar, seorang jamaah di belakangku tiba-tiba mengucapkan ayat dengan suara lantang:
يَوْمَ نَقُولُ لِجَهَنَّمَ هَلِ ٱمْتَلَأْتِ وَتَقُولُ هَلْ مِن مَّزِيدٍ
"Pada hari ketika Kami bertanya kepada Jahannam, 'Apakah engkau sudah penuh?' Ia menjawab, 'Masih adakah tambahan?'" (QS. Qaf: 30).
Kata-kata itu menusuk hati. Aku tersentak dan merenung—seolah panas yang kurasakan ini hanyalah pengingat kecil dari kedahsyatan neraka yang jauh lebih dahsyat. Jika panas di dunia saja sudah begitu menyiksa, bagaimana dengan panas di neraka yang apinya berlipat-lipat lebih dahsyat? Aku teringat sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu:
أُوقِدَ عَلَى النَّارِ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى احْمَرَّتْ، ثُمَّ أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى ابْيَضَّتْ، ثُمَّ أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى اسْوَدَّتْ، فَهِيَ سَوْدَاءُ كَاللَّيْلِ المُظْلِمِ
"Api neraka dinyalakan selama seribu tahun hingga menjadi merah, kemudian seribu tahun lagi hingga menjadi putih, dan seribu tahun lagi hingga menjadi hitam pekat. Maka ia adalah hitam pekat seperti gelap malam." (HR. At-Tirmidzi no. 2591).
Perjuangan Ibadah di Sepuluh Hari Terakhir
Hari ini tanggal 20 Ramadhan. Dari tabel nama imam yang dikeluarkan pihak terkait, malam ini, di Masjid al-Haram, shalat tarawih akan dipimpin oleh dua imam: Syaikh Al-Juhani dan Syaikh Balilah. Setelah tengah malam, shalat tahajjud 11 rakaat akan dilanjutkan oleh tiga imam lainnya: Syaikh Badr, Syaikh Yassir, dan Syaikh As-Sudais.
Inilah saat-saat di mana ibadah semakin ditingkatkan hingga akhir Ramadhan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha, selalu lebih bersungguh-sungguh dalam ibadah pada sepuluh malam terakhir dibandingkan malam-malam sebelumnya (HR. Muslim no. 1175).
Beliau membangunkan keluarganya, menghidupkan malam dengan ibadah, dan menjauhkan diri dari hubungan suami-istri demi fokus kepada Allah subhanahu wata'ala.
Sebagaimana sabda beliau:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailat al-Qadr pada sepuluh malam terakhir dari Ramadhan." (HR. Al-Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169).
Lailat al-Qadr, malam penuh keberkahan yang lebih baik dari seribu bulan, bisa terjadi kapan saja di sepuluh malam terakhir. Setiap langkah menuju masjid, setiap rakaat yang dikerjakan, setiap doa yang dipanjatkan, bisa menjadi bagian dari malam penuh kemuliaan itu.
Kebersamaan di Tanah Suci
Ratusan jamaah umrah Ramadhan travel kami yang tersebar di empat hotel, kami—tim pembimbing—selalu mengingatkan mereka untuk menjaga kesehatan. Perjalanan ibadah ini masih panjang hingga Idul Fitri. Bagi yang merasa kurang sehat, sebaiknya beribadah di hotel agar tidak kelelahan, terutama bagi yang telah berusia lanjut.
Aku melangkah masuk ke Perluasan Raja Abdullah, bangunan megah yang disiapkan untuk menampung jamaah dalam jumlah besar. Meski belum sepenuhnya rampung, area ini sudah bisa digunakan untuk shalat dan i’tikaf. Di belakang punggung para petugas, terlihat tulisan:
مَشْرُوع التَّوْسِعَةِ الثَّالِثَةِ
"Proyek Perluasan Ketiga."
Aku membawa sajadah sandar, agar bisa beristirahat di antara waktu-waktu shalat. Lantai dasar telah dipenuhi jamaah. Ada yang duduk bersandar, ada yang membaca Al-Qur’an, ada pula yang berzikir dalam diam.
Tak jauh dari tempatku, beberapa jamaah dengan berbagai etnis dan bahasa bekerja sama memasang karpet. Mereka mengambil karpet yang tersedia dan menggelarnya agar tempat shalat lebih nyaman. Sebuah pemandangan yang menghangatkan hati—persaudaraan yang terjalin tanpa kata-kata, cukup dengan tindakan kecil yang penuh makna.
Namun tak lama kemudian, tim kebersihan datang dengan mesin captor. Mereka meminta jamaah untuk menyingkirkan karpet-karpet itu agar bisa membersihkan lantai. Karena tempat sudah penuh, mereka akhirnya berlalu ke area lain tanpa melanjutkan tugasnya.
Di sepuluh malam terakhir ini, masjid semakin ramai. Setiap orang mencari tempat terbaik untuk beribadah. Ada yang berhasil menempati posisi yang ditinggalkan orang lain, ada pula yang terus berjalan mencari ruang kosong.
Menggapai Keberkahan di Sepuluh Malam Terakhir
Menjelang Ashar, para petugas distribusi iftar mulai bersiap. Di belakang shafku, telah tertumpuk kantong-kantong plastik besar berisi paket buka puasa.
Setelah shalat Ashar, aku merasa perlu ke toilet. Tapi ada kekhawatiran: apakah nanti aku bisa kembali ke tempat ini? Namun karena hal itu mengganggu konsentrasiku, aku titip sajadah kepada orang Afrika di sebelah kiri:
إِلَى الْحَمَّام
"Ke toilet,"
Dia mengangguk.
Aku menuju toilet terdekat. Setelah keluar pintu, aku menoleh untuk menandai pintu, ternyata Pintu Nomor 100.
Ternyata benar, setelah buang air dan berwudhu, aku bisa kembali ke sajadah meski harus melewati jalan yang dialihkan dan sangat padat.
Jamaah semakin banyak memasuki masjid. Semua orang menantikan waktu Maghrib, bukan hanya karena lapar dan haus, tetapi juga karena ingin segera mengisi kembali energi untuk melanjutkan ibadah di malam yang penuh harapan.
Di sini, di tanah suci, aku menyaksikan bagaimana umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul dengan satu tujuan: mencari ridha Allah subhanahu wata’ala. Persis seperti yang tertulis di rambu-rambu berwarna-warni di dinding lobi hotel tempat kami menginap:
رَمَضَانَ يَجْمَعُنَا
"Ramadhan mempertemukan kita."
Mungkin, inilah sebaik-baik perjalanan yang pernah kutempuh—sebuah perjalanan menuju ampunan dan keberkahan.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku berharap dan berdoa: semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan kesempatan untuk meraih Lailat al-Qadr. Salah satu do'a dalam shalat witir imam.
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku."
Masjid al-Haram, Makkah, 20 Ramadhan 1446 H / 20 Maret 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di http://mahadalmaarif.com