![]() |
مكة، الميراث، والنور الضائع
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Pagi ini, aku tidak shalat di Masjidil Haram karena terbangun hampir jam 4. Aku hanya sempat menunaikan shalat subuh berjemaah di sebuah masjid di salah satu hayy (perkampungan penduduk), sekitar 200 meter dari hotel kami, yang masih dalam tanah haram Makkah.
Subuh tadi, ayat-ayat yang dibaca imam terasa begitu menggugah. Seakan-akan, Allah subhanahu wata'ala sedang mengajarkan sebuah pelajaran besar yang berkaitan dengan curahan hati seorang jamaah umrah kami yang menemuiku setelah shalat sunnah fajar.
Dalam rakaat pertama, setelah membaca Surat Al-Fatihah, imam membaca Surat An-Nur ayat 34 hingga 38, sedangkan dalam rakaat kedua, beliau membaca ayat 39 dan 40 dari surat yang sama.
Ayat yang Dibaca Imam:
وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَمَثَلًا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ٣٤
"Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang memberi penjelasan, contoh-contoh dari orang-orang yang telah berlalu sebelum kamu, dan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa."
اللَّهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِۚ مَثَلُ نُوْرِهِ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبٰاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍ ۖ اَلزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍ يَّكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْٓءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌۚ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَآءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ٣٥
"Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
فِيْ بُيُوْتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهٗ يُسَبِّحُ لَهٗ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ٣٦
"(Cahaya itu bersinar) di rumah-rumah (masjid) yang diizinkan Allah untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya. Di sana bertasbih kepada-Nya pada waktu pagi dan petang."
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَّلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَاِقَامِ الصَّلٰوةِ وَاِيْتَآءِ الزَّكٰوةِۚ يَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْأَبْصَارُ٣٧
"(Mereka adalah) orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang."
لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوْا وَيَزِيْدَهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ٣٨
"(Mereka melakukan itu) agar Allah memberikan balasan kepada mereka dengan balasan terbaik atas apa yang telah mereka kerjakan dan menambahkan kepada mereka karunia-Nya. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan."
وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيْعَةٍ يَّحْسَبُهُ الظَّمْاٰنُ مَآءًۚ حَتّٰىٓ اِذَا جَآءَهٗ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا وَّوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهٗ فَوَفّٰىهُ حِسَابَهٗۗ وَاللَّهُ سَرِيْعُ الْحِسَابِ٣٩
"Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi ketika dia mendatanginya, dia tidak mendapatkan sesuatu apa pun dan mendapati (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal) dengan sempurna. Dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya."
أَوْ كَظُلُمٰتٍ فِيْ بَحْرٍ لُّجِّيٍّ يَّغْشٰىهُ مَوْجٌ مِّنْ فَوْقِهٖ مَوْجٌ مِّنْ فَوْقِهٖ سَحَابٌۚ ظُلُمٰتٌۢ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍۗ اِذَآ أَخْرَجَ يَدَهٗ لَمْ يَكِدْ يَرٰىهَاۗ وَمَنْ لَّمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهٗ نُوْرًا فَمَا لَهٗ مِنْ نُوْرٍ٤٠
"Atau seperti kegelapan di lautan yang dalam, yang diliputi gelombang, di atasnya gelombang (pula), di atasnya lagi awan; kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir saja dia tidak dapat melihatnya. Dan barang siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, dia tidak akan memiliki cahaya sedikit pun."
Setelah ayat-ayat ini dibacakan, aku merenung.
Allah subhanahu wata'ala menggambarkan kehidupan manusia dalam dua keadaan: ada yang disinari cahaya petunjuk, ada pula yang tenggelam dalam gelombang kegelapan. Dua perumpamaan ini begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satunya, kisah yang kudengar pagi ini dari seorang jamaah umrah yang menemuiku pagi ini setelah shalat sunnah fajar. Ia membawa kegelisahan dalam hatinya, yang seolah menjadi cerminan dari ayat-ayat yang baru saja dibacakan. Aku merasakan dua perbandingan dalam ayat-ayat ini punya kaitan dengan curhat berikut ini.
Kemarin sebelum Zhuhur, Bapak Fulan ini mengirim pesan ingin berkonsultasi. Aku menjawab bahwa aku saat itu sedang berada di Masjidil Haram, lalu setelah shalat ashar kami bisa bertemu.
Namun, aku hanya bisa shalat di luar Masjid karena kami, para petugas pembimbing jemaah, melakukan rapat koordinasi di salah satu hotel berjarak 500 meter dari Masjidil Haram dari setelah zhuhur hingga beberapa menit sebelum ashar.
Aku berada di shaf pelataran depan pintu 86, sedangkan beliau di pintu 104, area perluasan Raja Abdullah.
Kami tak sempat bertemu, bahkan setelah Tarawih.
Tadi pagi, selepas shalat sunnah fajar, Bapak Fulan ternyata ada di sebelah kiriku. Sambil menunggu iqamah, ia meminta waktu untuk berbicara.
Betapa sering kita melihat cahaya ilmu yang menerangi sebagian, tetapi kegelapan kejahilan masih menyelimuti sebagian yang lain?
Bapak Fulan merasa sendirian dalam upayanya menegakkan hukum Allah di keluarganya, sebuah ujian yang tak sedikit dialami oleh banyak orang.
Ia berkisah tentang keluarganya. Ayah dan ibunya dulu sama-sama menggarap areal pertanian, milik berdua, sehingga mereka memiliki sedikit aset kekayaan. Allah subhanahu wata'ala menganugerahi mereka 13 orang anak: 5 lelaki dan 8 wanita.
Qadarullah, ayahnya wafat. Harta yang mereka miliki diambil alih oleh ibu. Sebagian dijual untuk biaya salah seorang anak masuk ketentaraan. Harta itu tidak dibagi menurut hukum warisan Islam.
Sekitar enam tahun silam, ibunya juga wafat. Tidak lama setelah itu, anaknya yang menjadi tentara pun meninggal dunia. Sisa harta dijual oleh salah seorang anak lelaki tanpa membaginya kepada saudara-saudara yang lain.
Bapak Fulan merasa sedih melihat kondisi saudara-saudaranya yang kurang mendapatkan cahaya agama dan ilmu. Dulu ketika ibu mereka meninggal dunia, saudara-saudaranya tetap melakukan tradisi kendurian dan semacamnya. Bapak Fulan tak bisa mencegahnya dan memilih untuk tidak ikut serta.
Aku mendengarkan dengan saksama dan menganalisis permasalahannya.
Sungguh, ketidakpahaman terhadap hukum waris ini telah menyebabkan banyak orang kehilangan haknya. Padahal, warisan bukanlah sekadar harta benda, tetapi juga amanah Allah yang wajib ditegakkan sesuai syariat-Nya. Seorang anak lelaki memperoleh bagian dua kali lipat dari anak perempuan bukan karena keistimewaan, melainkan karena tanggung jawab yang lebih besar dalam keluarga. Jika hukum ini diabaikan, kezaliman akan terus terjadi, dan keberkahan harta pun hilang.
Harta peninggalan tersebut sejatinya harus dibagi dua: separuh milik ayah dan separuh lagi milik ibu, karena harta tersebut berasal dari kepemilikan bersama mereka berdua.
Saat ayah wafat, bagian ayah menjadi harta warisan, sementara bagian ibu tetap miliknya.
Dari harta warisan, ibu berhak mendapatkan seperdelapan sesuai ketentuan dalam ayat-ayat warisan:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ
"Dan bagimu (suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka mempunyai anak, maka bagimu seperempat dari harta yang mereka tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau setelah dibayar utangnya. Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka bagi mereka seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau setelah dibayar utangmu." (QS. An-Nisa': 12)
Sedangkan sisa tujuh perdelapan dibagikan kepada anak-anak yang 13 orang. Jatah satu anak lelaki adalah seukuran jatah dua orang anak perempuan, sebagaimana ketentuan dalam ayat warisan:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ
"Allah memerintahkan kepadamu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan." (QS. An-Nisa': 11)
Namun, warisan itu tak dibagikan sebagaimana mestinya.
Sementara Bapak Fulan merantau ke provinsi lain. Ia bersyukur Allah telah memberikan kepadanya hidayah dan rezeki sehingga bisa berumrah setiap tahun.
Hari ini, ia mendapat kabar bahwa saudaranya yang dulu menjual aset warisan itu juga sedang berada di tanah suci untuk umrah, tetapi dari kota yang berbeda.
Ia merasa sedih. Aku menasihatinya agar tetap bersikap bijak. Jika memungkinkan, ia bisa menasihati saudaranya untuk memberikan hak warisan kepada anggota keluarga yang lain, sekalipun sedikit. Semoga Allah melembutkan hatinya dan membukakan jalan kebaikan.
Aku menyampaikan kepadanya, "Mungkin ini bukan sekadar kebetulan, tetapi cara Allah mempertemukan kalian di tempat yang paling suci agar engkau dapat menyampaikan kebenaran dengan hati yang jernih. Gunakanlah kesempatan ini dengan hikmah dan kelembutan."
Tanah suci seharusnya menjadi tempat yang semakin menyadarkan kita akan hakikat kehidupan: bahwa dunia ini hanya persinggahan, dan kita semua akan kembali kepada-Nya. Tetapi, tidak semua orang yang datang ke sini mendapatkan cahaya. Sebagian tetap dalam kegelapan meskipun berada di tempat paling mulia.
Semoga Allah subhanahu wata'ala menganugerahkan cahaya pemahaman, agar kita tidak hidup dalam kegelapan, meski berada di tanah suci.
Di antara catatan penting:
1. Cahaya hidayah datang kepada siapa yang dikehendaki Allah, meski berada dalam keluarga yang kurang memahami agama.
2. Kegelapan bukan hanya ketidaktahuan, tetapi juga kelalaian dalam menjalankan amanah, seperti dalam pembagian warisan.
3. Pentingnya tetap bijak dalam menyampaikan kebenaran agar cahaya ilmu bisa diterima oleh hati yang masih tertutup.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا نُوْرًا وَفِيْ أَلْسِنَتِنَا نُوْرًا وَفِيْ أَبْصَارِنَا نُوْرًا وَفِيْ أَسْمَاعِنَا نُوْرًا
"Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam qalbu kami, di lisan kami, di penglihatan kami, dan di pendengaran kami."
Amiin.
Masjidil Haram, Makkah, Rabu, 12 Ramadhan 1446 H / 12 Maret 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di:
http://mahadalmaarif.com