![]() |
مَيْلُ القُلُوبِ إِلَى الْمَعْرُوفِ
Bismillahirrahmanirrahim.
Aku tiba di Masjidil Haram pagi tadi, sekitar pukul sembilan, bersama beberapa jamaah lelaki dari rombongan kami. Kami datang dari Terminal Syi'ib ‘Amir, salah satu terminal shuttle bus jemaah ke Masjidil Haram dari hotel-hotel yang berjarak agak jauh, dan diarahkan langsung ke masjid baru hasil perluasan Raja Abdullah rahimahullah. Rencanaku semula untuk melakukan thawaf ringan menjelang shalat Jumat terhalang, sebab hanya mereka yang berpakaian ihram yang diperbolehkan melewati jalur menuju Marwa atau menyeberang jembatan menuju Shafa, yang berada tepat di tebing istana raja.
Akhirnya, aku menuju mushalla di lantai tertinggi bangunan baru tersebut, menaiki beberapa eskalator hingga tiba di blok shalat paling depan. Di hadapanku, terbentang kaca tebal yang membatasi ruang, meskipun aku bukan berada di shaf pertama. Jamaah tampak sangat ramai di hari Jumat ini, namun belum mencapai titik membludak.
Menjelang azan pertama, pemandangan yang kutemui begitu beragam: ada yang shalat sunnah, ada yang membaca Al-Qur'an, ada yang berdoa, ada yang sekadar termenung, berbicara dengan teman di sebelahnya, atau bahkan tidur bersandar di sajadah lipat. Beberapa yang lain tidur telentang, menikmati istirahat singkat di sela waktu ibadah.
Saat itu, aku tengah mendengarkan ceramah seorang ustadz Mesir melalui kanal YouTube, yang membantah tuduhan bahwa Imam Asy-Syafi'i beraqidah Wahhabi. Suara ceramah mengalun di telingaku melalui headset, hingga tiba-tiba sebuah suara di belakangku menyapa dalam bahasa Inggris, "Where are you from, Sir?"
Aku melepas headset dan menoleh. Seorang pemuda berkulit terang mendekat, melintasi beberapa lelaki Arab.
Seorang pemuda berkulit terang mendekat, melintasi beberapa lelaki Arab. Wajahnya memiliki ciri khas etnis Melayu, meskipun ada kemiripan dengan orang-orang Tionghoa.
"Indonesia," jawabku singkat.
"We same," katanya, lalu ia menyampaikan kepada orang-orang Arab di sekitarnya bahwa kami berasal dari negara yang sama.
Tak lama setelah itu, azan pertama berkumandang, menandai setengah jam sebelum masuk waktu shalat Jumat. Aku belum sempat menanyakan dari daerah mana ia berasal, karena ia telah kembali ke tempat duduknya semula.
Setelah shalat sunnah, doa, dan khutbah yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Abdurrahman As-Sudais hafizhahullah, imam besar Masjidil Haram, shalat Jumat pun ditunaikan. Setelah itu, kami menunaikan shalat jenazah dan shalat sunnah ba’diyah. Aku bermaksud mencari pemuda tadi, ingin sekadar berbincang lebih lanjut. Namun, ia telah tiada di tempat semula. Aku layangkan pandangan ke sekeliling blok karpet itu, tak kutemukan lagi wajah Indonesia.
Barangkali, ia bertanya tadi karena penasaran. Aku yang bertubuh sederhana, duduk di antara orang-orang bertubuh besar, mengenakan jubah dan rompi travel umrah kami. Aku memahami perasaannya.
Pengalaman serupa juga terjadi beberapa hari sebelumnya, seusai shalat Ashar di lantai dua Masjidil Haram. Saat itu, aku duduk menunggu distribusi ifthar. Di depanku dan di sampingku, mayoritas adalah orang-orang bertubuh besar kebanyakan etnis Arab dan Pakistan.
Tiba-tiba, seorang pemuda duduk di sebelah kiriku. Ia mengenakan jubah khas Maghribi (Berber) berwarna kuning muda, mirip dengan yang kumiliki di rumah—hadiah dari anakku yang pernah menempuh studi S1 di Maroko tujuh tahun silam. Sebuah ransel tersandang di punggungnya. Ketika ransel itu dia letakkan di depannya, tampak gantungan kunci bendera Turki tergantung di salah satu resletingnya.
Wajahnya mirip orang Indonesia, dengan kacamata bertengger di hidungnya. Seperti jamaah lainnya, kami larut dalam tilawah Al-Qur'an. Ia memegang mushhaf saku cetakan Madinah, persis seperti yang ada di tanganku. Mushhaf mini seperti yang kami punya ini tidaklah tersedia di rak-rak Al Qur'an dalam Masjidil Haram.
Hingga setengah jam berlalu, ia berbisik kepadaku, "Bisa pinjam power bank, Pak?"
Dari percakapan singkat setelahnya, ternyata ia memang orang Indonesia, sedang menempuh kuliah di Libya, alumni sebuah pesantren di Pulau Jawa. Ia berangkat umrah secara mandiri bersama teman-temannya, dengan transit terlebih dahulu di Istanbul Turki. Hingga sekarang sudah menghabiskan uang sekitar dua puluh juta rupiah.
Kecenderungan Hati kepada yang Dikenal
Demikianlah, di tengah lautan manusia dengan berbagai etnis dan bahasa, ada rasa akrab yang muncul ketika bertemu dengan seseorang dari negeri yang sama. Mungkin inilah salah satu manifestasi dari fitrah manusia sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan:
يٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍۢ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًۭا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۭ
"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat: 13)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menguatkan bahwa hubungan manusia bukan sekadar fisik, tetapi juga ruhani. Sebagaimana sabda beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
النَّاسُ مَعادِنُ كَمَعادِنِ الفِضَّةِ والذَّهَبِ، خِيارُهُمْ في الجاهِلِيَّةِ خِيارُهُمْ في الإسْلامِ إذا فَقُهُوا، والأرْواحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ، فَما تَعارَفَ مِنْها ائْتَلَفَ، وما تَناكَرَ مِنْها اخْتَلَفَ.
"Manusia itu seperti tambang-tambang (logam) sebagaimana tambang perak dan emas. Orang-orang terbaik di antara mereka pada masa jahiliyah adalah yang terbaik pula dalam Islam jika mereka memahami agama. Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang berkelompok, maka ruh yang saling mengenal akan saling mendekat, dan ruh yang tidak saling mengenal akan berselisih." (HR. Muslim no. 2638)
Kedekatan hati bukan hanya didasarkan pada kebangsaan atau etnis, tetapi juga pada kesamaan akhlak, nilai, dan iman. Seorang mukmin akan cenderung merasa dekat dengan mukmin lainnya, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.
Di penghujung tulisan ini, aku memohon kepada Allah agar hati-hati kita selalu disatukan dalam kebaikan:
اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُلُوبِنَا، وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا، وَتُبْ عَلَيْنَا، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ.
"Ya Allah, satukanlah hati kami, perbaikilah hubungan di antara kami, tunjukilah kami jalan keselamatan, keluarkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya, jauhkanlah kami dari segala keburukan yang tampak maupun yang tersembunyi. Berkahilah pendengaran, penglihatan, hati, pasangan hidup, dan keturunan kami. Terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
Amin Ya Rabbal 'alamin.
Masjidil Haram, Makkah, Jumat, 14 Ramadhan 1446 H/14 Maret 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di
http://mahadalmaarif.com