![]() |
يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ
Bismillahirrahmanirrahim
Selasa sore ini, aku melaksanakan shalat Ashar di kawasan mushalla dekat areal thawaf daur tsani dalam Masjid al-Haram. Aku telah berjanji dengan dua orang jamaah untuk mendampingi mereka thawaf sunnah setelah Ashar. Namun, ternyata mereka hanya bisa masuk Masjid dan langsung naik ke suthuh (rooftop), puncak yang langsung beratap langit.
Kami tidak bisa bertemu karena jalan-jalan dikendalikan oleh petugas akibat ramainya jamaah. Akhirnya, melalui komunikasi ponsel, kami sepakat menunda thawaf hingga hari berikutnya.
Aku bertahan di tempat shalat Ashar hingga Maghrib, sebagaimana tradisi jamaah agar bisa mendapatkan jatah ifthar shaim (buka puasa). Setelah berbuka dan shalat Maghrib, aku menikmati salah satu dari dua bungkus nasi dengan potongan kecil rendang daging yang telah kusiapkan dalam tas—satu untuk berbuka, satu lagi untuk sahur.
Ternyata, mereka yang berada di rooftop juga melakukan hal yang sama.
Selesai makan, aku berniat menunaikan shalat Isya yang dimulai pukul 20.30, tetapi ingin ke toilet terlebih dahulu. Mengingat shalat Isya akan bersambung dengan shalat Tarawih hingga sekitar pukul 22.00, aku ingin menyegarkan diri sebelum itu.
Aku membungkus sajadah sandarku dan melangkah menuju toilet yang paling familiar dalam pikiranku, yakni WC 3, melewati jalan keluar Jembatan Ajyad.
Namun, setibanya di sana, aku mendapati bahwa pihak keamanan telah membagi jalan menjadi dua jalur terpisah: satu jalur untuk keluar, satu lagi untuk masuk. Sayangnya, jalur masuk dialihkan ke rute lain dan tidak lagi melalui Pintu Ajyad. Artinya, jika aku keluar, aku tidak bisa masuk kembali ke dalam Masjid.
Aku mempertimbangkan sejenak, tetapi akhirnya memutuskan tetap ke toilet.
Setelah berwudhu dengan penuh kesabaran dalam antrean panjang, aku keluar menuju pelataran Masjid. Namun, di hadapanku, semua akses masuk ke Masjid telah tertutup bagi mereka yang tidak memakai pakaian ihram.
Beberapa pintu Masjid sudah menyalakan lampu merah dengan tulisan:
مُمْتَلِئ / FULL (PENUH)
Aku, bersama ribuan jamaah lainnya yang berada di luar batas blokir, tidak bisa masuk. Aku berjalan dari satu pintu ke pintu lain, tetapi tetap tidak diizinkan masuk.
Beginilah kondisi setelah Maghrib hingga Isya di bulan Ramadhan setelah masa pandemi. Pelataran Ka'bah hanya boleh dimasuki oleh jamaah yang berpakaian ihram.
Aku berjalan bolak-balik, mencari celah, tetapi tetap tidak menemukan jalan masuk. Jika aku berhenti atau mencoba menunggu, terdengarlah seruan tegas dari petugas:
"تَحَرَّكْ يَا حَاجّ! لَا تُوَقِّفْ!"
(Bergerak, wahai Haji! Jangan berhenti!)
Aku sadar bahwa situasi ini akan berubah saat adzan Isya dikumandangkan, apalagi setelah shalat dimulai.
Saat itu, aku merasakan betapa sulitnya terputus dari tempat yang seharusnya menjadi tujuan ibadah. Aku bertanya dalam hati, bagaimana jika keadaan ini berlangsung bukan hanya beberapa jam, tetapi bertahun-tahun? Pikiranku lalu melayang ke sebuah kisah dalam Al-Qur’an, tentang kaum yang benar-benar kehilangan arah dalam waktu yang lama. Allah subhanahu wata'ala berfirman:
قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ ۛ أَرْبَعِينَ سَنَةً ۛ يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ ۚ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
"Dia berkata: Maka sesungguhnya (negeri itu) diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan bertebaran kebingungan di bumi. Maka janganlah engkau bersedih hati (terhadap) kaum yang fasik." (QS. Al-Ma’idah: 26)
Ayat ini mengisahkan hukuman Allah subhanahu wata'ala kepada Bani Israil, yang menolak memasuki Tanah Suci setelah diperintahkan. Akibatnya, mereka dihukum berkeliaran dalam kebingungan di padang pasir selama 40 tahun.
Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
"Ketika Musa 'alaihissalam berdoa agar Bani Israil dihukum karena keengganan mereka untuk berjihad, Allah subhanahu wata'ala menetapkan bahwa negeri itu diharamkan atas mereka selama 40 tahun. Maka mereka jatuh dalam kesesatan di Padang Tih, berjalan terus tanpa pernah menemukan jalan keluar.
Di tempat itu terjadi banyak keajaiban, di antaranya:
Awan menaungi mereka sebagai perlindungan,
Manna dan salwa diturunkan sebagai makanan,
Air mengalir dari batu keras yang mereka bawa di atas tunggangan. Setiap kali Musa memukul batu itu dengan tongkatnya, keluar 12 mata air, masing-masing untuk satu suku.
Di sana pula Taurat diturunkan, hukum-hukum Allah disyariatkan, dan Tabut Perjanjian (قبة العهد) dibuat.
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa selama 40 tahun, mereka berjalan setiap hari tetapi tidak menemukan tempat tinggal tetap. Kemudian, setelah masa itu berlalu, Allah subhanahu wata'ala mengangkat Yusya’ bin Nun 'alaihissalam sebagai nabi sekaligus pengganti Musa bin 'Imran. Selama masa ini, sebagian besar dari mereka yang membangkang telah wafat di Padang Tih.
Dikatakan bahwa dari mereka yang awalnya menolak memasuki negeri itu, tidak ada yang tersisa kecuali Yusya’ bin Nun dan Kalib." (Tafsir Ibnu Katsir, Kairo, Al-Maktabah al-Islamiah)
Refleksi Diri
Malam ini, aku hanya bisa shalat di salah satu kawasan yang dipagari di pelataran Masjid, setelah azan Isya dikumandangkan. Dan di sana juga aku mengikuti 10 rakaat shalat tarawih.
Namun, pengalaman berjalan tanpa arah tadi menyisakan kesan mendalam dalam hatiku.
Sejenak aku membayangkan, bagaimana jika aku menjadi bagian dari Bani Israil, yang tidak hanya kebingungan selama beberapa jam, tetapi 40 tahun?
Bagaimana jika aku merasakan hidup tanpa kepastian, tanpa tempat tinggal tetap, dan hanya berjalan tanpa arah?
Lalu aku menyadari sesuatu:
Mungkin, inilah salah satu bentuk tarbiyah ilahiyah. Allah subhanahu wata'ala menguji hamba-hamba-Nya dengan keterbatasan, kebingungan, dan kesulitan agar mereka lebih memahami makna ketundukan dan kepasrahan.
Pada akhirnya, bukan jalan yang harus kita cari, tetapi petunjuk-Nya.
Bukan arah yang perlu kita risaukan, tetapi bagaimana hati kita tetap terpaut pada-Nya.
Maka, semoga kita tidak menjadi seperti Bani Israil yang menolak perintah-Nya. Jangan sampai kita dihukum dalam "yatiihuuna fil ardh"—berkeliaran tanpa arah, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
"Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan anugerahkan kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan perlihatkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan, serta anugerahkan kami kemampuan untuk menjauhinya."
Amiin, wahai Rabb Pemilik Negeri yang aman.
Masjid al-Haram, Makkah, Selasa, 25 Ramadhan 1446 H/26 Maret 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di
http://mahadalmaarif.com