![]() |
Oleh: Ahmad Maimun Nafis
Dalam fiqih Islam, konsep gadai memiliki aturan khusus yang mengatur hak dan batasan bagi penggadai (rahin) maupun penerima gadai (murtahin) atas barang gadai. Meskipun barang gadai berada dalam penguasaan penerima gadai sebagai jaminan utang, terdapat beberapa ketentuan terkait hak guna atau pemanfaatan barang tersebut, baik oleh pemilik maupun penerima gadai.
Misalnya, petani yang mengalami kesulitan keuangan menggadaikan sapi kepada seorang pedagang. Setelah akad selesai, muncul keinginan dari pedagang sebagai pihak penerima gadai untuk memanfaatkan sapi tersebut guna mengangkut barang dagangannya. Apakah tindakan ini dibenarkan dalam fiqih? Bagaimana aturan dan batasan terkait hak guna barang gadai menurut hukum Islam?
Hukum Pemanfaatan Barang Gadai oleh Penerima Gadai
Dalam pandangan fuqaha, pihak penerima gadai tidak diperkenankan memanfaatkan barang gadai jika hal itu disyaratkan dalam akad gadai sejak awal. Syarat pemanfaatan barang gadai ini dianggap tidak sah karena bertentangan dengan tujuan utama akad gadai, yaitu sebagai jaminan utang, bukan untuk memanfaatkannya. Syekh Musthafa Al-Bugha dkk menjelaskan:
وهَلْ لَهُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ إِذَا أَذِنَ لَهُ الرَّاهِنُ بِذَلِكَ؟ يَنْبَغِي أَنْ نُفَرِّقَ هُنَا بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الإِذْنُ بِالانْتِفَاعِ لاحِقًا لِعَقْدِ الرَّهْنِ وَبَعْدَ تَمَامِهِ وَدُونَ شَرْطٍ لَهُ، وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ مَعَ العَقْدِ وَمَشْرُوطًا فِيهِ: فَإِنْ كَانَ مَعَ العَقْدِ وَمَشْرُوطًا فِيهِ كَانَ شَرْطًا فَاسِدًا، وَيَفْسُدُ مَعَهُ عَقْدُ الرَّهْنِ عَلَى الأَظْهَرِ، وَذَلِكَ لأَنَّهُ شَرْطٌ يُخَالِفُ مُقْتَضَى العَقْدِ، إِذْ مُقْتَضَى العَقْدِ التَّوَثُّقُ - كَمَا عَلِمْتَ - لاَ اسْتِبَاحَةُ المَنْفَعَةِ
Artinya, "Apakah murtahin berhak memanfaatkan barang gadai jika diizinkan oleh rahin? Kita harus membedakan antara izin pemanfaatan yang diberikan setelah akad selesai tanpa disyaratkan di awal, dan izin yang disertakan saat akad berlangsung dan menjadi syarat. Jika izin tersebut diberikan saat akad dengan syarat, maka syarat tersebut dianggap rusak dan membuat akad gadai batal menurut pendapat yang kuat, karena syarat ini bertentangan dengan tujuan akad gadai, yaitu sebagai jaminan -sebagaimana diketahui- bukan untuk pemanfaatan." (Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], juz VII, halaman 127).
Namun, jika pemanfaatan barang gadai tidak disyaratkan dalam akad, tetapi baru diberikan izin setelah akad berlangsung, maka pemanfaatan barang gadai tersebut dibolehkan. Hal ini karena pemilik tetap memiliki hak untuk mengizinkan pemanfaatan barangnya tanpa melanggar hak pihak lain, selama barang tersebut masih berada di bawah penguasaan murtahin sebagai jaminan utang. Al-Bugha dkk melanjutkan penjelasannya:
وَأَمَّا إِذَا لَمْ يَكُنِ الانْتِفَاعُ لِلْمُرْتَهِنِ مَشْرُوطًا فِي العَقْدِ فَهُوَ جَائِزٌ، وَيَمْلِكُهُ المُرْتَهِنُ، لأَنَّ الرَّاهِنَ مَالِكٌ، وَلَهُ أَنْ يَأْذَنَ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِهِ بِمَا لاَ يُضَيِّعُ حُقُوقَ الآخَرِينَ
Artinya, " Adapun jika pemenfaatan barang gadai oleh murtahin tidak disyaratkan dalam akad maka diperbolehkan, karena rahin adalah pemilik barang dan berhak mengizinkan pemanfaatan barangnya selama tidak merugikan hak pihak lain." (Al-Bugha, dkk., VII/127).
Batasan Hak Pakai Barang Gadai bagi Pemilik
Pemilik barang gadai pada prinsipnya dibolehkan untuk memanfaatkan barangnya selama tidak mengurangi atau merusak nilai barang tersebut. Imam An-Nawawi menyebutkan:
وَلَهُ كُلُّ انْتِفَاعٍ لاَ يُنْقِصُهُ كَالرُّكُوبِ وَالسُّكْنَى لاَ البِنَاءِ وَالغِرَاسِ فَإِنْ فَعَلَ لَمْ يُقْلَعْ قَبْلَ الأَجَلِ وَبَعْدَهُ إِنْ لَمْ تَفِ الأَرْضُ بِالدَّيْنِ وَزَادَتْ بِهِ ثُمَّ إِنْ أَمْكَنَ الانْتِفَاعُ بِغَيْرِ اسْتِرْدَادٍ لَمْ يُسْتَرْدَدْ وَإِلاَّ فَيُسْتَرْدَدُ
Artinya, "Pemilik barang gadai berhak memanfaatkannya selama tidak menyebabkan kerusakan seperti menunggangi atau menempatinya (jika berupa hewan atau rumah), namun tidak boleh membangun atau menanami lahan gadai. Jika ia melakukannya, maka tidak boleh mencabutnya sebelum jatuh tempo." (An-Nawawi, Minhajut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M, juz I, halaman 116).
Dalam hal ini, batasan pemanfaatan bagi pemilik harus menjaga kondisi barang agar tetap layak sebagai jaminan hingga utang terlunasi. Pemanfaatan yang mengakibatkan perubahan permanen seperti membangun atau menanam tanpa persetujuan tidak diizinkan, karena berpotensi menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Apabila pihak penerima gadai memberikan izin kepada pihak penggadai untuk memanfaatkan barang gadaian yang berada dalam penguasaannya, maka pihak penggadai boleh memanfaatkannya dengan berbagai cara sebelum nantinya dilarang. (An-Nawawi, I/116). Ibnul Mulqin menjelaskan:
وَلَهُ بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ مَا مَنَعْنَاهُ، أَيْ مِنَ التَّصَرُّفَاتِ وَالانْتِفَاعَاتِ؛ لأَنَّ الْمَنْعَ لِحَقِّهِ وَقَدْ زَالَ بِإِذْنِهِ، وَلَهُ الرُّجُوعُ قَبْلَ تَصَرُّفِ الرَّاهِنِ، لأَنَّ حَقَّهُ بَاقٍ كَمَا لِلْمَالِكِ أَنْ يَرْجِعَ قَبْلَ تَصَرُّفِ الْوَكِيلِ
Artinya, "Pemilik barang gadai (pihak penggadai) boleh memanfaatkannya seizin dari penerima gadai, sebab larangan pemanfaatan awalnya untuk menjaga hak penerima gadai. Namun, ia tetap memiliki hak untuk menarik izin tersebut sebelum barang digunakan oleh pihak penggadai." (Ibnul Mulqin, 'Ujalatul Muhtaj ila Taujihil Minhaj, [Irbid-Yordania, Darul Kitab: 2001], juz II, halaman 764).
Dengan demikian, adanya izin dari pihak penerima gadai membolehkan pihak penggadai untuk memanfaatkan pada barang gadai selama tidak mengurangi nilai barang tersebut sebagai jaminan. Walhasil, fiqih muamalah memberikan batasan yang tegas dalam pemanfaatan barang gadai untuk memastikan keadilan dan tidak ada pihak yang dirugikan. Penerima gadai dilarang memanfaatkan barang tersebut tanpa izin penggadai, terlebih jika disyaratkan dalam akad.
Sebaliknya, penggadai dapat memanfaatkan barang gadai dengan syarat tidak merusak atau mengurangi nilai barang tersebut. Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga amanah dan keadilan dalam transaksi gadai sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Wallahu a'lam.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah Batuan, Sumenep.
Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/hak-guna-barang-gadai-perspektif-fiqih-muamalah-Kzehi