![]() |
Ilustrasi |
Oleh: Zainuddin Lubis
Suatu hari di bawah matahari yang terik di Kota Makkah, 'Ash bin Wa'il As-Sahmi, seorang pemuka Quraisy yang keras kepala, melangkah dengan penuh percaya diri menuju Rasulullah saw. Di tangannya, ia menggenggam sepotong tulang yang sudah lapuk, kering dan hampir hancur. Ia berhenti di hadapan Rasulullah, mengayunkan tangannya dan dengan penuh kesombongan, menghancurkan tulang tersebut hingga menjadi serpihan. Debu dari tulang itu beterbangan di udara, seolah menggambarkan ketidakpercayaan yang merasuki hatinya. Dengan nada meremehkan, ia berkata kepada Rasulullah, "Wahai Muhammad, apakah tulang ini akan dibangkitkan kembali setelah hancur seperti ini?"
Rasulullah saw menatapnya dengan tenang, matanya memancarkan keyakinan yang teguh. Tanpa sedikit pun ragu, Nabi menjawab dengan tegas, menekankan kuasa Allah yang tak terbatas. Termasuk membangkitkan tulang-belulang yang telah hancur. Nabi bersabda;
نعم، يبعث الله هذا، ثم يميتك، ثم يحييك، ثم يدخلك جهنم
Artinya, "Ya! Allah akan membangkitkan tulang ini dan menghidupkannya kembali, kemudian Dia akan membangkitkanmu dan memasukkanmu ke dalam neraka."
Kisah di atas, diceritakan oleh Syekh DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Tafsir Munir, jilid XXIII, halaman 54. Kisah ini, menjadi sebab turunnya (sababun nuzul) ayat ke-77 surat Yasin, yang menegaskan kekuasaan Allah dalam menciptakan manusia dari setetes mani, kemudian ia juga kuasa untuk membangkitkan setelah kematian. Allah berfirman:
اَوَلَمْ يَرَ الْاِنْسَانُ اَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ نُّطْفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ ٧٧
Artinya, "Tidakkah manusia mengetahui bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani? Kemudian tiba-tiba saja dia menjadi musuh yang nyata."
Tafsir Thabari
Terkait tafsir ayat, Ibnu Jarir At-Thabari dalam kitab Tafsir Jami'ul Bayan, menjelaskan bahwa surat Yasin ayat 77 mengandung teguran tegas kepada manusia yang meragukan kekuasaan Allah dalam membangkitkan kembali tulang-tulang yang telah hancur menjadi debu di hari kiamat kelak.
Lewat ayat tersebut, Allah mengingatkan bahwa manusia, yang dulunya hanya setetes air mani, kemudian diciptakan menjadi makhluk yang sempurna. Namun, setelah mencapai kesempurnaan fisik dan akal, ada di antara mereka yang justru mempertanyakan kemampuan Allah untuk membangkitkan kembali yang telah mati. Pertanyaan retoris, "Siapa yang akan menghidupkan kembali tulang-tulang yang sudah hancur menjadi debu?" Bukanlah sekadar keraguan, tetapi menunjukkan sikap menentang dan tidak mempercayai kekuasaan Allah, meskipun bukti penciptaan diri mereka sendiri sudah jelas di hadapan mata.
أو لم ير هذا الإنسان الذي يقول (مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ) أنا خلقناه من نطفة فسويناه خلقا سَوِيًّا (فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ) يقول: فإذا هو ذو خصومة لربه، يخاصمه فيما قال له ربه إني فاعل، وذلك إخبار لله إياه أنه مُحْيي خلقه بعد مماتهم، فيقول: مَنْ يحيي هذه العظام وهي رميم؟ إنكارا منه لقُدرة الله على إحيائها
Artinya; "Apakah manusia ini yang berkata, 'Siapa yang akan menghidupkan kembali tulang-tulang yang sudah hancur menjadi debu? Tidak melihat bahwa Kami telah menciptakannya dari setetes air mani, lalu Kami menjadikannya sebagai makhluk yang sempurna?' '[Kemudian, tiba-tiba [dia menjadi musuh], dikatakan, yang tiba-tiba dia menjadi orang yang suka berbantah dengan Tuhan, menentang apa yang dikatakan Tuhan kepadanya, yaitu bahwa Tuhan akan menghidupkan kembali ciptaan-Nya setelah kematian mereka.' Dia berkata, 'Siapa yang akan menghidupkan kembali tulang-tulang ini setelah menjadi debu?' Hal ini menunjukkan penolakannya terhadap kekuasaan Allah untuk menghidupkannya kembali." (Tafsir Jami'ul Bayan, [Makkah: Darul Tarbiyah wa Turats, t.t.], jilid XX, halaman 554).
Tafsir Mafatih al-Ghaib
Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi, surat Yasin ayat 77 memberikan peringatan keras kepada orang-orang yang ingkar pada Allah dan hari akhir. Ia mencontohkan tokoh munafik Ubai bin Khalaf untuk menjelaskan bagaimana Allah akan membalas orang-orang seperti itu. Ayat ini juga menegaskan bahwa kebangkitan setelah kematian adalah suatu kenyataan yang pasti dan tidak bisa dibantah.
Lebih lanjut, dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Ar-Razi menerangkan bahwa Allah SWT dalam ayat ini mengajak manusia untuk merenungkan proses penciptaannya, sehingga manusia dapat menyadari asal-usul dan tujuan hidupnya. Penggunaan kata (الإنسان) "manusia" bertujuan untuk menarik perhatian setiap manusia pada eksistensi dirinya sendiri, karena bukti yang berasal dari dalam diri manusia lebih menyeluruh, sempurna, dan mengikat. Dengan demikian, manusia diingatkan untuk selalu merenungkan keberadaannya, yang pada gilirannya memperkuat kesadaran akan Allah dan tujuan penciptaan. (halaman 307).
Ar-Razi menambahkan bahwa manusia mungkin saja lalai terhadap penciptaan makhluk lain, seperti hewan, terutama ketika mereka tidak ada di hadapan manusia. Seperti surat Yasin ayat 71 tentang penciptaan hewan ternak, surat Al-Ghasiyah (88) ayat 17 tentang penciptaan unta, atau suah an-Nahl ayat 7 tentang penciptaan kuda dan keledai sebagai tunggangan. Namun, manusia tidak mungkin lalai terhadap dirinya sendiri, karena kesadaran akan diri ini selalu hadir di mana pun dan kapan pun ia berada. Oleh karena itu, ketika seseorang gagal merenungkan makhluk lain, ia tetap memiliki kesadaran yang kuat terhadap dirinya sendiri, yang memungkinkannya untuk terus merenungkan keagungan penciptaan Allah melalui dirinya sendiri. Pandangan ini menegaskan betapa pentingnya introspeksi dan pengenalan diri sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Terkait penciptaan manusia dari setetes air mani, ini menunjukkan kekuasaan dan kebijaksanaan Allah yang sempurna. Penciptaan manusia dari sesuatu yang tampaknya sederhana dan seragam, namun menghasilkan bentuk yang beragam, adalah bukti jelas dari kemampuan Allah dalam memilih dan menciptakan sesuatu dengan sempurna. Ini juga menegaskan bahwa penciptaan manusia merupakan nikmat yang sangat besar, melebihi nikmat-nikmat lainnya yang diberikan setelah penciptaan manusia itu sendiri. (halaman 308).
Akhirnya, Imam Ar-Razi mengaitkan konsep ini dengan ayat lain, yaitu Surah Ar-Ra'd ayat 4, yang menyatakan bahwa semua ciptaan manusia berasal dari "air yang satu". Ini memperkuat argumen bahwa penciptaan manusia merupakan contoh yang jelas dari kekuasaan Allah dan merupakan bukti bagi keesaan dan kebesaran-Nya. Simak firman Allah SWT berikut dalam surat Ar-Ra'd ayat 4:
وَفِى الْاَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجٰوِرٰتٌ وَّجَنّٰتٌ مِّنْ اَعْنَابٍ وَّزَرْعٌ وَّنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَّغَيْرُ صِنْوَانٍ يُّسْقٰى بِمَاۤءٍ وَّاحِدٍۙ وَّنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلٰى بَعْضٍ فِى الْاُكُلِۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
Artinya; "Di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang. (Semua) disirami dengan air yang sama, tetapi Kami melebihkan tanaman yang satu atas yang lainnya dalam hal rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar (terdapat) tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti."
Tafsir Qurthubi
Dalam tafsir Al-Jami' Li Ahkami Al-Qur'an karya Imam Qurthubi, terdapat perbedaan pendapat mengenai makna kata "manusia" dalam ayat " أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسانُ" [Tidakkah manusia mengetahui?].
Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayat tersebut ditujukan kepada Abdullah bin Ubay, seorang munafik yang sering menentang Nabi Muhammad. Namun, ulama lain seperti Sa'id bin Jubair dan Al-Hasan memiliki pandangan yang berbeda.
Sa'id bin Jubair berpendapat bahwa ayat itu merujuk pada Al-'As bin Wa'il As-Sahmi, sementara Al-Hasan meyakini bahwa yang dimaksud adalah Ubay bin Khalaf Al-Jumahi, keduanya merupakan tokoh kafir Quraisy yang keras menentang Islam. مُبِينٌ قَوْلُهُ تَعَالَ:" أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسانُ" قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: الْإِنْسَانُ هُوَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ. وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: هُوَ الْعَاصُ بن وا السَّهْمِيُّ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ أُبَيُّ بْنُ خَلَفٍ الجمحي.
Artinya; Penjelasan tentang firman Allah Ta'ala: "Dan apakah manusia tidak melihat..." Ibnu Abbas berkata: Manusia yang dimaksud adalah Abdullah bin Ubay. Sa'id bin Jubair berkata: yang dimaksud adalah Al-'As bin Wa'il As-Sahmi. Al-Hasan berkata: yang dimaksud adalah Ubay bin Khalaf Al-Jumahi. (Tafsir Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, [Kairo: Darul Kutub al-Mishriyah, 1964], jilid XV, halaman 57).
Sementera ayat " اَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ نُّطْفَةٍ" [Kami menciptakannya dari setetes mani], menjelaskan asal mula penciptaan manusia dari sesuatu yang sangat kecil dan sederhana, yaitu setetes mani. Dari cairan yang keluar ketika klimaks ini, Allah menjadikan manusia yang utuh, dengan kemampuan luar biasa. Ini menunjukkan kekuasaan Allah yang luar biasa dalam menciptakan kehidupan dari sesuatu yang tidak terlihat dan sangat kecil. "أَنَّا خَلَقْناهُ مِنْ نُطْفَةٍ" وَهُوَ الْيَسِيرُ مِنَ الْمَاءِ، نَطِفَ إِذَا قَطَرَ
Artinya; "Kami telah menciptakannya dari setetes mani," yaitu cairan yang sangat sedikit, yang keluar ketika menetes. Adapun maksud kata َ"ُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ" Kemudian tiba-tiba saja dia menjadi musuh yang nyata], menggambarkan sikap orang munafik yang menolak keyakinan akan hari kiamat. Mereka mengejek Nabi Muhammad dengan pertanyaan tentang bagaimana tulang belulang yang sudah hancur bisa dihidupkan kembali. Namun, Nabi Muhammad dengan tegas menjawab bahwa semua manusia akan dibangkitkan kembali, termasuk orang-orang yang mengingkari hari kiamat. "
فَإِذا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ" أَيْ مُجَادِلٌ فِي الْخُصُومَةِ مُبِينٌ لِلْحُجَّةِ. يُرِيدُ بِذَلِكَ أَنَّهُ صَارَ بِهِ بَعْدَ أَنْ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا خَصِيمًا مُبِينًا. وَذَلِكَ أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَظْمٍ حَائِلٍ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَتَرَى أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي هَذَا بَعْدَ مَا رَمَّ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" نَعَمْ وَيَبْعَثُكَ الله ويدخلك النار"
Artinya; [Kemudian tiba-tiba saja dia menjadi musuh yang nyata]. Artinya seorang yang suka berdebat dalam persengketaan, jelas dalam mengemukakan argumentasinya. Maksudnya adalah bahwa dia telah menjadi penentang yang jelas setelah sebelumnya tidak berarti apa-apa. Dan itu karena dia datang kepada Nabi dengan membawa tulang yang sudah hancur lalu berkata, "Wahai Muhammad, apakah engkau kira Allah akan menghidupkan tulang ini setelah hancur?" Maka Nabi Muhammad bersabda, "Ya, dan Allah akan membangkitkanmu dan memasukkanmu ke dalam neraka." (halaman 58).
Dengan demikian, Allah dalam Surat Yasin ayat 77 menerangkan bahwa manusia, yang awalnya hanya setetes air mani, telah melalui proses yang menakjubkan hingga menjadi manusia sempurna. Namun, ironisnya, banyak manusia yang menyangkal akan adanya hari kebangkitan. Ayat ini turun sebagai jawaban atas tantangan seorang orang munafik yang meragukan kuasa Allah untuk menghidupkan kembali orang mati di Hari Kiamat kelak. Allah ingin menunjukkan kebesaran-Nya dengan mengingatkan kita akan proses penciptaan yang luar biasa dan ketidakmungkinan untuk mengingkari hari akhir. Wallahu a'lam
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Ciputat
Sumber: https://islam.nu.or.id/tafsir/tafsir-surat-yasin-ayat-77-pencerahan-tentang-kebangkitan-setelah-kematian-DqZaP