![]() |
Ilustrasi |
Al-Qur'an sebagai kitab suci telah mengingatkan manusia tentang anjuran mengendalikan amarah. Surat Ali 'Imran ayat 134 menggambarkan karakteristik orang-orang yang dicintai Allah, yaitu mereka yang berinfak dalam keadaan lapang maupun sempit, mengendalikan amarah, serta memaafkan kesalahan orang lain.
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ١٣٤ Alladzîna yunfiqûna fis-sarrâ'i wadl-dlarrâ'i wal-kâdhimînal-ghaidha wal-‘âfîna ‘anin-nâs, wallâhu yuḫibbul-muḫsinîn.
Artinya. "(Yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan."
Tafsir Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengungkapkan, memang tak mudah menangkis godaan untuk menahan emosi dan menjinakkan nafsu amarah dalam diri kita. Bahkan, sekelas Nabi Muhammad saw pernah tersulut amarah.
"Jika Allah menganugerahkan kepadaku kemenangan atas kaum musyrikin Quraisy pada salah satu pertempuran, maka pasti akan kubalas (kematian Hamzah) dengan 30 orang musyrik,” tutur Nabi ketika mendengar kabar gugur paman tercinta, Hamzah bin Abdil Mutthalib. Hamzah, yang dikenal sebagai 'Asadullah' (Singa Allah), telah menjadi perisai bagi Islam dan memberikan kekuatan yang luar biasa dalam setiap pertempuran.
Gugurnya Hamzah bukan sekadar kehilangan seorang paman, tetapi juga kehilangan seorang sahabat yang setia, pelindung yang gagah berani, dan pejuang yang tak kenal lelah. Ketika Rasulullah saw mengetahui perut Hamzah telah dibedah dan hatinya dikunyah oleh Hindun, ia merasakan kepedihan yang tak terperi. Perlakuan keji dan biadab menambah luka di hati Rasulullah saw. Imbalan yang tinggi disediakan Allah bagi orang yang sukses meredam amarah, yaitu masuk dalam golongan orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebajikan.
Bagi Quraish Shihab, orang yang mampu menahan amarah adalah orang yang telah mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Mereka telah melampaui egoisme dan nafsu, dan memilih untuk hidup dalam kedamaian batin. Dalam konteks ini, menahan amarah bukanlah sebuah penindasan, melainkan sebuah pilihan yang bijaksana. Dengan menahan amarah, seseorang tidak hanya melindungi dirinya sendiri, tetapi juga orang-orang di sekitarnya. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid II, halaman 120).
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin jauh hari telah mengingatkan bahaya amarah. Amarah katanya, ibarat percikan api yang menyala-nyala. Yang menyala hebat dalam hati manusia. Amarah tersembunyi di dalam hati seperti bara api di bawah abu, dan dikeluarkan oleh kesombongan yang terpendam di hati setiap orang yang angkuh dan keras kepala, seperti api keluar dari batu besi.
Kata Al-Ghazali lagi, amarah ibarat badai yang menggulung jiwa, menerjang segala benteng akal sehat. Ia bagai api yang membakar habis ladang hati, menyisakan bara kebencian dan iri hati yang membara. Lautan emosi jika tak segera dibendung, akan menenggelamkan perahu kehidupan dalam jurang kehancuran.
Segumpal daging, jantung kita, adalah sumber segala tindakan. Jika ia dipenuhi racun amarah, maka seluruh tubuh pun akan terpapar penyakit. Kebencian dan iri hati, dua anak kandung amarah, akan menghancurkan jiwa dan raga, merenggut kebahagiaan, dan menjauhkan kita dari cahaya kasih sayang.
فإن الْغَضَبَ شُعْلَةُ نَارٍ اقْتُبِسَتْ مِنْ نَارِ اللَّهِ الموقدة التي تطلع على الْأَفْئِدَةَ وَإِنَّهَا لَمُسْتَكِنَّةٌ فِي طَيِّ الْفُؤَادِ اسْتِكْنَانَ الجمر تحت الرماد ويستخرجه الْكِبْرُ الدَّفِينُ فِي قَلْبِ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ كَاسْتِخْرَاجِ الْحَجَرِ النَّارَ مِنَ الْحَدِيدِ
Artinya, "Maka sesungguhnya kemarahan adalah percikan api yang diambil dari api Allah yang dinyalakan, yang naik ke hati manusia. Sesungguhnya ia bersembunyi di dalam lipatan hati seperti bara yang tersembunyi di bawah abu. Kesombongan yang tersembunyi di dalam hati setiap orang yang sombong dan keras kepala mengeluarkannya, seperti batu yang mengeluarkan api dari besi." (Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut: Darul Ma'rifah, tt], jilid III, halaman 164).
Sementara itu Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab At-Tafsirul Munir menjelaskan, pada ayat 134 ini Allah swt menjelaskan sifat-sifat calon penduduk surga. Yatiu orang-orang yang menahan amarah. Maksud mampu menahan amarah dalam ayat adalah dalam menghadapi situasi yang membakar emosi, orang memilih mengendalikan diri dan tidak melampiaskan kemarahan, meskipun memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melakukannya.
والكاظمين الغيظ أي إذا ثار بهم الغيظ كظموه بمعنى كتموا، فلم يعملوه مع القدرة على إمضائه وإنفاذه، لا عن ضعف وعجز
Artinya, "Dan orang-orang yang menahan amarah, yaitu ketika amarah mereka memuncak, mereka menahannya, artinya mereka menyembunyikannya dan tidak mengekspresikannya meskipun mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya dan melaksanakannya, bukan karena kelemahan atau ketidakmampuan." (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir,Beirut, Darul Fikr Al-Mu'ashir: 1991 M], jilid IV, halaman 87).
Rasulullah saw mengingatkan tentang arti menahan amarah. Kata Nabi, orang yang kuat bukanlah karena kekuatan fisiknya, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya saat marah. Kekuatan fisik bisa mengesankan dalam sekejap, namun pengendalian diri membutuhkan kedalaman jiwa dan ketahanan mental yang jauh lebih besar. Mengendalikan amarah adalah sebuah seni yang melibatkan kesabaran, keikhlasan, dan kebijaksanaan, serta kemampuan untuk merenung dan menilai situasi dengan jernih.
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ وَلَكِنَّ الشَّدِيدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Artinya, "Orang yang kuat bukanlah karena kekuatan fisiknya membanting orang, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya saat marah." (HR Imam Ahmad).
Di saat kemarahan melanda, orang yang kuat secara batin tidak akan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan atau mengucapkan kata-kata yang mungkin akan disesali kemudian. Sebaliknya, ia akan menarik napas panjang, menenangkan diri, dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan tenang. Allah memberikan jaminan yang agung bagi orang yang mampu menahan amarah, dengan mengisi hati mereka dengan kedamaian dan keimanan.
Dalam dunia yang sering kali dipenuhi dengan ketegangan dan konflik, kemampuan untuk menahan amarah menjadi sebuah oase yang menyejukkan. Ketika seseorang memilih untuk tidak meluapkan kemarahannya, ia sedang menanam benih-benih keimanan yang kokoh dalam hatinya. Nabi saw bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى إنْفَاذِهِ مَلَأَ اللَّهُ قَلْبَهُ أَمْنًا وَإِيمَانًا
Artinya, "Siapa yang menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan kedamaian dan keimanan." (HR Abu Dawud). Lantas bagaimana mengendalikan amarah dan emosi yang tak terkendali? Cara mengatasi kemarahan telah dijelaskan dengan sangat jelas oleh Rasulullah saw. Amarah berasal dari setan yang diciptakan dari api. Api sebagai elemen yang membakar dan merusak, hanya dapat dipadamkan dengan air. Karena itu, untuk menanggulangi amarah, Rasulullah saw menganjurkan kita untuk berwudhu, yaitu mencuci bagian-bagian tertentu dari tubuh dengan air. Tindakan ini tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga memberikan ketenangan pada jiwa, memadamkan bara kemarahan yang menghangat di dalam diri.
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Artinya, "Sesungguhnya marah itu berasal dari setan dan setan diciptakan dari api. Niscaya api hanya bisa dipadamkan dengan air. Karenanya, jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah berwudhu." (HR Abu Dawud).
Cara selanjutnya dalam mengendalikan amarah adalah dengan mengingat Allah. Imam Al-Mawardi dalam kitab Adabud Dunya wad Din halaman 258 mengatakan, mengingat Allah sebagai salah satu cara efektif meredakan amarah. Cara ini telah terbukti sebagai kebenaran universal yang telah teruji oleh waktu. Ketika amarah membayangi pikiran, kesadaran akan keberadaan Tuhan yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui akan menjadi penyejuk jiwa.
Selain itu, dzikir dan doa menjadi benteng kokoh yang melindungi kita dari gejolak emosi negatif. Dengan merenungkan kebesaran-Nya, kita akan menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana-Nya yang sempurna. Kepercayaan ini akan menumbuhkan kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi segala cobaan. Imam Al-Mawardi menjelaskan:
واعلم أن لِتَسْكِينِ الغضب إذا هجم أسبابًا يُستعان بها على الْحِلْمِ؛ منها: أن يذكر الله عز وجل؛ فَيَدْعُوهُ ذلك إلى الخوف منه، وَيَبْعَثُهُ الخوف منه على الطاعة له، فَيَرْجِعُ إلى أدبه ويأخذ بِنَدْبِهِ؛ فعند ذلك يزول الغضب؛ قال الله تعالى: وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ [الكهف: 24]
Artinya, "Ketahuilah bahwa untuk menenangkan kemarahan ketika datang ada beberapa cara yang bisa membantu kesabaran; di antaranya adalah dengan mengingat Allah swt. Mengingat-Nya akan mengarahkan pada rasa takut kepada-Nya, dan rasa takut akan mendorongnya untuk taat kepada-Nya, sehingga ia akan kembali kepada kesopanan dan mengikuti perintah-Nya. Dengan demikian, kemarahan akan hilang. Allah berfirman: "Dan ingatlah Tuhanmu apabila kamu lupa." (QS Al-Kahfi: 24)." (Al-Mawardi, Adabud Dunya wad Din, halaman 258).
Mengendalikan amarah merupakan perjalanan yang menuntut kesadaran, refleksi, dan usaha yang konsisten. Ketika kita mampu mengatasi kemarahan dengan cara yang konstruktif, sejatinya kita membuka jalan menuju kedamaian batin dan hubungan yang lebih harmonis dengan orang lain.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat
Sumber: https://islam.nu.or.id/tafsir/tafsir-surat-ali-imran-ayat-134-mengendalikan-amarah-dalam-kehidupan-C7kRb