![]() |
Surau Anjung dan Syekh Tuanku Sidi Talua. Bermula tahun 1925 M, Tuanku Sidi Talua menetap dan tinggal mengabdi di Surau Anjung, Toboh Mandailing, Negari Balah Aie, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman.
Tahun itu pula dia sama berangkat pindah dari Ampalu Tinggi dengan gurunya, Syekh Muhammad Yatim. Dia pindah ke Toboh Mandailing, Muhammad Yatim ke Mudiak Padang, kampungnya sendiri.
Walinagari Balah Aie Jonifriadi menyebutkan, dari riwayat yang diterimanya, Tuanku Sidi Talua ini adalah orang Kabun Cimpago, Nagari Lurah Ampalu bersuku Koto. Dia hanya mengaji dengan beliau Syekh Muhammad Yatim di Ampalu Tinggi.
"Ada dua anak sasian atau anak siak yang diasuhnya di Ampalu Tinggi yang ikut ke Surau Anjung ini kala itu, yakni Tuanku Shaliah Sungai Sariak dan Tuanku Sasak, Pasaman," kata Jonifriadi, Jumat 23 Mei 2025 di Toboh Mandailing.
Ketua Forum Walinagari Kabupaten Padang Pariaman ini menilai, bahwa kiprah Surau Anjung dan Tuanku Sidi Talua zaman dulu itu amat sangat luar biasa. "Para ulama menyebutkan, kalau Surau Anjung tempat keputusan kaji. Dari berbagai belahan negeri para ulama datang ke Surau Anjung, mengaji, berdebat dan bermusyawarah dengan Tuanku Sidi Talua," ulas Jonifriadi yang didampingi tokoh masyarakat setempat Ali bin Yusuf dan Labai Muhammad Nasir.
Syekh Tuanku Sidi Talua terkenal alim, mahir dalam ilmu Mantiq. Syekh Muda Waly Labuhan Haji, Aceh dapat jawaban kenapa banyak kitab Syekh Abdurrauf diserahkan ke Syekh Burhanuddin, di Syekh Tuanku Sidi Talua ini. Pun soal jawaban puasa tidak dibolehkan setahun, di Syekh Tuanku Sidi Talua ini didapatkan oleh Syekh Muda Waly. "Ceritanya begini. Perjalanan spritual Syekh Muda tiba di Ampalu Tinggi. Di tempat Syekh Muhammad Yatim menghadapi banyak anak siak, Kalampaian Ampalu Tinggi sedang menapaki masa jaya, Syekh Muda Waly ini masuk dan ingin pula mengaji di situ," kisah dari mulut ke mulut yang diterima Jonifriadi.
Syekh Muda Waly setiap mengembara selalu membawa seekor ayam. Ayam ini untuk disembelih, manakala kaji yang dicarinya sudah dapat atau paham dia di kaji yang tersangkut itu, di sana pula ayam tadi disembelih. Namun, manakala kaji belum putus, jawaban kaji yang tersangkut belum tuntas, Syekh Muda Waly ini akan terus mengembara, sambil membawa ayam tersebut ke guru dan syekh yang dianggapnya mahir. Nah, sepertinya pengembaraan Syekh Muda Waly ini berakhir di Ampalu Tinggi.
Oleh Muhammad Yatim, untuk menjawab kaji yang ditanyakan Syekh Muda Waly diserahkan ke Syekh Tuanku Sidi Talua, anak siak sedang mengaji di Ampalu Tinggi ini. Sidi Talua sedang mencuci di Batang Mangoi, sungai besar yang dijadikan oleh anak siak Ampalu Tinggi sebagai tempat mandi dan mencuci zaman itu. Didatangi oleh Syekh Muda Waly, dan langsung bertanya dan diskusi soal fadhilah puasa enam hari di bulan Syawal, yang sama dengan puasa setahun.
Oleh Sidi Talua dijawab, bahwa puasa setahun tidak boleh, dan itu dilarang dalam kaji. Contoh, katanya, puasa satu Syawal tidak boleh. Puasa di hari tasyrik juga tidak boleh. Dengan ini, puasa setahun tidak punya dalil dan argumen yang tepat dalam kaji. Syekh Muda Waly terpana. Lama termenung mendengar jawaban Sidi Talua. Sebuah jawaban dengan bahasa gurauan, sekaligus bersilat lidah tentunya.
Syekh H Muhammad Yunus Sasak, Pasaman (wafat 1975), adalah salah satu anak siak yang ikut dengan Sidi Talua ke Surau Anjuang Toboh Mandailing ini. “Cerita ini saya dapatkan, beberapa tahun yang lalu, datang orang dari Pasaman ini. Dari jembatan Sampan mereka berjalan kaki, sambil bertanya dimana makam Sidi Talua. Oleh masyarakat, ditunjukkan makam itu, lalu mereka sampai, langsung berziarah,” cerita Jonifriadi.
Setelah berziarah sebentar itu, mereka bicara dan mengutarakan, bahwa kedatangannya ke Toboh Mandaling, adalah menjalankan amanah gurunya, Syekh Muhammad Yunus, agar berziarah ke Sampan, Pariaman ini. Masyarakat yang mengaku murid dari Muhammad Yunus itu rupanya dapat cerita dan kisah langsung dari Sasak, kalau gurunya pernah berguru langsung dengan Sidi Talua ini. Akhirnya, masyarakat sempat dua malam di Toboh Mandailing, menyempurnakan amanah gurunya, yang telah lama pesan itu tak dijalankannya.
Begitu juga dengan Khalifah Syekh Katialo Sijunjung yang pernah pula berziarah ke Toboh Mandailing, mengaku melakukan amanah guru, kalau Syekh Katialo pernah berguru dengan Sidi Talua. “Saya sejak kecil sampai saat ini selalu aktif di Masjid Raya Toboh Mandailing ini, meski sibuk dengan banyak kegiatan di luar sana, yang namanya Shalat Jumat selalu di masjid ini,” ulas Jonifriadi.
Karya dan Keluarga
Masjid Raya Toboh Mandailing bermula dari Surau Anjung yang didirikan Sidi Talua. 1954 Mulai beralih dan bertambah fungsi, dari Surau Anjuang menjadi Masjid Raya Toboh Mandailing. Ada juga yang menyebut Masjid Syekh Haji Tuanku Sidi Talua. Di samping mihrab Masjid Raya Toboh Mandailing ini Sidi Talua dimakamkan pada tahun 1964. Jadi, masjid Raya Toboh Mandailing yang sekarang sudah bangunan besar, permanen, bermula dari Surau Anjuang, tempat Sidi Talua mengajar, menerima banyak tamu dari para alim dan ulama dari berbagai belahan negeri ini.
Musyawarah Ulama Ahlussunah Walhamaah (Muswa), Sumbar, Riau, dan Jambi. Itu nama kesatuan dan organisasi para ulama yang terlibat aktif dulunya di Toboh Mandailing ini. Menurut ceritanya, Muswa ini besar dan banyak ulama hebat dan malin yang tergabung di dalamnya. Muswa itu dipimpin sendiri oleh Sidi Talua, karena permintaan dari ulama yang hadir tiap musiman tersebut.
Menurut Hj. Mirhamah, anak kandung Sidi Talua, Surau Anjuang memang selalu ramai. Di samping anak siak yang mengaji tetap, Surau Anjuang juga sebagai tempat berhalaqah oleh banyak ulama dari berbagai belahan negeri ini. “Hanya ketika beliau telah uzur, para ulama itu mendatangi beliau ke rumah ini, tempatnya beristirahat di hari tua,” katanya.
Sebelum di Sampan, Sidi Talua pernah punya istri dengan orang Sikilie, dengan orang Sungai Rotan, Lubuak Pua, Ambung Kapua, Kampani, dan terakhir beliau kawin dengan Hajjah Darima, dikarunia empat orang anak, yakni Muhammad Nur, Rabiatul Adawiyah, Hj. Mirhamah, dan Hj. Ainul Mardiyah. Di setiap istrinya yang lain itu, Sidi Talua punya keturunan semuanya. Beliau naik haji di usia 61 tahun, pada tahun 1960 berangkat berdua dengan Hj. Darima, istri terakhir beliau.
Referensi:
https://www.mu-online1.com/2025/01/delapan-mimba-vii-koto-satu-terletak-di.html
Wawancara dengan Joniafriadi, Jumat 23 Mei 2025 di Toboh Mandailing
Wawancara dengan Hj. Mirhamah, Rabu 25 Juni 2025