![]() |
العلمُ شَرفٌ وَمِيرَاثٌ
Bismillahirrahmanirrahim
Kemarin siang, aku dan istriku menghadiri acara “tamat kaji,” bai’at pelantikan santri di salah satu pesantren yang pengasuhnya adalah teman seangkatanku di pondok dahulu. Aku tiba dan mendapati lokasi pondok telah ramai dengan kendaraan pengunjung, terutama dari keluarga santri dan tamu undangan. Di sana-sini terlihat becak dan sepeda motor milik para pedagang makanan dan minuman. Di lapangan dalam, panggung utama telah berdiri megah dengan latar khusus untuk sesi foto bersama santri dan dewan guru. Beberapa tenda juga telah penuh diisi hadirin; ada yang makan, minum, dan ada pula keluarga santri yang sibuk mengabadikan momen bahagia bersama anak-anak mereka yang akan diwisuda.
Acara bai’at berlangsung di dalam surau gadang (mushalla besar tempat shalat berjamaah pesantren) mulai dari usai shalat zhuhur hingga menjelang waktu ashar. Tiba di acara puncak, suasana hening penuh khidmat. Pengasuh pesantren, sahabatku semasa mondok dahulu, duduk di kursi di meja panjang yang ditempatkan di shaf pertama mushalla, membelakangi kiblat. Di seberang meja, di sisi hadapan kiblat, terdapat kursi yang bergantian diduduki oleh para santri yang akan dibai’at.
Satu per satu, nama santri dipanggil lengkap dengan gelar yang diberikan berdasarkan tradisi dan kesepakatan masyarakat kampung halamannya. Misalnya:
“Fulan bin Fulan, gelar Tuangku Bangindo Sati, berasal dari nagari fulan, usia sekian tahun.”
Dengan penuh khidmat, pengasuh pesantren menjabat tangan santri yang dipanggil. Tangan mereka bertemu erat di atas meja, sementara lafaz bai’at pun diucapkan dengan suara yang menggetarkan hati:
الحمد لله الذي خلق السموات والارض وما بينهما في ستة أيام، وفضّل العلماء بنور العلم والإيمان، والصلاة والسلام علي سيدنا محمد خير الأنام وعلي آله وصحبه أجمعين
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antara keduanya dalam enam hari, dan memuliakan para ulama dengan cahaya ilmu dan iman. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad, sebaik-baik makhluk, serta kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau.”
فقد أجزتك لجميع ما أجازني استاذي ومشائخي لله تعالي، أجزتك
“Sesungguhnya aku telah mengizinkanmu untuk semua yang telah diizinkan kepadaku oleh guruku dan para syeikhku, semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan berkah. Ajaztuka (aku mengizinkanmu).”
“Qabiltu” (aku menerima), jawab santri.
“Ajaztuka,” ulang pengasuh.
“Qabiltu” (aku menerima), jawab santri.
“Ajaztuka,” ulang pengasuh sekali lagi.
“Qabiltu” (aku menerima), jawab santri.
Aku yang duduk di mihrab, tepat di belakang pengasuh bersama undangan khusus lainnya, tersenyum haru menyaksikan momen ini.
Dahulu, sahabat yang kini membai’at adalah teman seangkatan dan se-asrama denganku. Kami pernah makan dari nampan yang sama, tidur di atas tikar yang sama, benar-benar “selapik seketiduran.” Sekarang, dia telah menjadi seorang pengasuh pesantren yang membai’at generasi penerus ilmu.
Ingatan membawaku 35 tahun silam. Saat itu, aku sendiri yang berbai’at di hadapan Buya kami rahimahullah (semoga Allah subhanahu wata’ala merahmatinya). Prosesi yang sama, lafaz yang sama. Hanya saja, karena tradisi bai’at santri mengenakan jas, aku meminjam jas senior karena aku sendiri tidak memilikinya.
Kala itu, aku tidak mendapat gelar tuangku dari keluarga atau kaum sesuku. Bagiku, bukan gelar yang kucari, melainkan ilmu yang kuyakini lebih berharga. Buya kami wafat 29 tahun silam, meninggalkan ilmu yang terus kami lanjutkan.
Inilah salah satu bentuk perjalanan menuntut ilmu di dunia Islam. Tradisi dan modelnya bisa beragam, sesuai zaman, tempat, dan adat. Namun, intinya tetap satu: perjuangan mencari dan mendapatkan ilmu.
Allah subhanahu wata’ala memuliakan insan-insan yang dianugerahi ilmu tentang agama-Nya:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11)} [المجادلة: 11]
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, 'Bersiap-siaplah (agar memberi ruang) di majelis-majelis,' maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberikan kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, 'Berdirilah,' maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan." (Al-Mujadilah: 11)
Dia juga memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar meminta kepada-Nya tambahan ilmu:
{فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا (114)} [طه: 114]
"Maka Maha Tinggi Allah, Sang Raja yang Hakiki. Dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca Al-Qur'an sebelum disampaikan wahyu-Nya kepadamu. Dan katakanlah, 'Ya Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.'" (Thaha: 114)
Sungguh mulia mereka yang dianugerahi pemahaman agama. Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ، لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
"Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Dia akan memahamkannya dalam agama. Dan sesungguhnya aku hanya pembagi, sedangkan Allah-lah yang memberi. Dan umat ini akan terus berdiri tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka orang yang menentang mereka, hingga datang keputusan Allah." (HR. Al-Bukhariy no. 71)
Lihatlah ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang bergelar “Hibrul Ummah” (tinta umat). Ia bagaikan sumber mata air ilmu, khususnya tafsir Al-Qur’an. Suatu hari, ia mengisahkan:
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memelukku seraya berdoa:
اللَّهُمَّ عَلِّمْهُ الكِتَابَ
“Ya Allah, ajarkanlah kepadanya Al-Kitab (Al-Qur’an)!” (HR. Al-Bukhariy no. 75)
Perhatikan pula perjuangan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Ia pernah berkata:
"Orang-orang banyak mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Seandainya tidak ada dua ayat dalam Kitab Allah, niscaya aku tidak akan meriwayatkan satu hadits pun.”
Kemudian ia membaca:
{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ البَيِّنَاتِ وَالهُدَى} [البقرة: 159] ... {الرَّحِيمُ} [البقرة: 160]
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan dari keterangan-keterangan dan petunjuk ... hingga akhir ayat {Yang Maha Penyayang}.” (Al-Baqarah: 159-160)
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:
"Sesungguhnya saudara-saudara kami dari kalangan Muhajirin sibuk dengan perdagangan di pasar-pasar, sedangkan saudara-saudara kami dari kalangan Anshar sibuk dengan pekerjaan mereka di ladang-ladang. Sementara aku, Abu Hurairah, selalu mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, walau sering dalam keadaan lapar. Aku hadir dalam pertemuan yang tidak mereka hadiri, dan aku menghafal apa yang tidak mereka hafal.” (HR. Al-Bukhariy no. 118)
Abu Hurairah juga pernah mengalami kesulitan mengingat hadits. Ia mengisahkan sendiri:
"Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku sering mendengar hadits dari engkau, namun aku lupa.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ابْسُطْ رِدَاءَكَ
‘Bentangkan rida’mu (selendangmu)!’
Maka aku pun membentangkannya. Rasulullah mengambil dengan kedua tangannya lalu bersabda:
ضُمَّهُ
‘Gabungkanlah!’
Aku pun menggabungkannya, dan sejak saat itu aku tidak pernah lupa sedikit pun dari hadits yang kudengar." (HR. Al-Bukhariy no. 119)
Inilah kisah tentang ilmu yang tak sekadar hafalan, tetapi cahaya yang menuntun hidup. Bai’at, sanad, guru, dan murid adalah mata rantai emas yang menyambungkan kita pada ilmu warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Alangkah bahagianya jika kita termasuk yang Allah angkat derajatnya dengan ilmu dan iman.
Pariaman, Senin, 18 Sya'ban 1446 J/17 Februari 2025
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di:
http://mahadalmaarif.com